Teori Pengetahuan dalam Filsafat Islam:
Dari Ibn Sina Sampai Mulla Sadra
Orang bijak menyadari bahwa ada
pengetahuan melebihi pengetahuannya yang membuatnya menjadi rendah hati,
sementara orang bodoh berpikir bahwa dia memiliki pengetahuan yang tidak
terbatas. (al-Kindi)
Abstrak
Sifat pengetahuan dan pencarian kebenaran adalah
persoalan perennial di dalam filsafat. Bahkan, masalah pengetahuan masih
menjadi teka-teki yang sulit dipahami. Di dalam filsafat Islam, persoalan
epistemologis yang paling mendasar adalah menyangkut penjelasan tentang
persepsi serta hubungan tiga arah antara subjek yang mempersepsi, objek-objek
yang dipersepsi, dan persepsi itu sendiri. Para pengikut mazhab Aristotelian
maupun pengikut Ibn Sina yang memahami pengetahuan sebagai “ilustrasi” dari
realitas objek yang dipersepsi atau kehadiran esensi objek tersebut di dalam
jiwa, telah menyebabkan kebingungan pengkategorian antara substansi dan
aksiden. Oleh karena itu, sebagai perbandingan, penulis akan menjelaskan tiga
teori pengetahuan yang pernah ada: pengetahuan sebagai kualitas korelasi,
pengetahuan sebagai imajinasi bentuk-bentuk, dan pengetahuan sebagai
keinherenan kuiditas-kuiditas objek-objek yang dipersepsi di dalam jiwa.
Pada tulisan berikut, setelah pengenalan singkat
terhadap masalah epistemologi di dalam filsafat Islam, penulis akan melanjutkan
dengan menganalisa setiap teori-teori tersebut, menjelaskan asumsi-asumsinya,
landasan pemikiran dan pengaruhnya, serta kritik yang dialamatkan kepada
teori-teori tersebut sehubungan dengan masalah-masalah dasar seperti
konsistensi, independensi dan kesempurnaan.
***********
Pendahuluan
P
|
emikiran filsafat Islam paska Ibn Sina berfokus pada
isu-isu tentang eksistensi mental, penglihatan terhadap bentuk-bentuk secara
langsung (immediate eidetic vision)
dan kesungguhan dalam menjelaskan masalah-masalah epistemologi. Sebelum itu,
mazhab Aristotelian yang memahami bahwa pengetahuan adalah impressi (kesan)
dari realitas objek yang dipersepsi atau kehadiran kuiditas sesuatu di dalam
subjek yang mempersepsi, lebih berpengaruh walaupun pada saat yang sama
pemikiran ini masih mempunyai masalah sehubungan dengan penjelasan bagaimana
seseorang dapat memahami bentuk-bentuk aksidental dari substansi bentuk-bentuk
tersebut. 1) Karenanya,
mereka menghadapi kebingungan atau kesalahan pengkategorian umum, yakni
bagaimana seseorang dapat mengklasifikasikan sebuah objek dalam dua kategori
yang berbeda, yang pertama sebagai substansi dan yang kedua sebagai aksiden.
Persoalan ini kemudian diselesaikan dengan berbagai
cara. Ibn Sina (m. 1037) mempertahankan pendapat bahwa substansi (jawhar) tidak inheren di dalam suatu
substrat (mawdu’) dan karenanya
manifestasinya di dalam realitas ekstra-mental tidak tergantung pada sesuatu. 2) Syaikh al-Isyraq Suhrawardi (m. 1191) 3) mendekati masalah ini
dengan dua cara: pertama, dengan menggunakan konsep eksistensi mental (al-wujud al-dhihni); dan yang kedua,
dengan membedakan antara individualitas ideal (ideal ipseity, huwiyyah)
dengan padanan kongkritnya. Namun, Suhrawardi tidak menjelaskan perihal
ketidakbergantungan eksistensi mental. Suhrawardi justru menganggap bahwa
eksistensi mental adalah bagian dari konsep tentang unitas dan kemungkinan yang
bagi Suhrawardi sendiri adalah ‘wujud-wujud akal’ (beings of reasons) atau yang hanya menunjukkan virtualitas (i’tibariyyah) saja. 4) Fakhr al-Din Razi (m. 1210) adalah filosof Islam
pertama yang mengemukakan pendapat tentang eksistensi mental sebagai isu yang
independen di dalam filsafat, beliau juga yang mengemukakan teori pengetahuan
sebagai esensi yang berkorelasi (idafah).
5) Dengan membedakan
antara esensi (haqiqah) dan kuiditas
(mahiyyah) sesuatu pada satu sisi
serta gambaran dan bentuknya pada sisi yang lain, Nasir al-Din Tusi (m. 1274), 6) Dabiran Katibi Qazwini
(m. 1276), dan ‘Allama Hilli (m. 1325) 7)
mendefenisikan pengetahuan dan persepsi sebagai gambaran dan bentuk dari
sesuatu yang dipersepsi. Mereka juga menolak isu tentang eksistensi mental dari
pendefenisian pengetahuan sebagai “kehadiran esensi dan kuiditas sesuatu di
dalam subjek yang mempersepsi.” Di dalam teori ini, bentuk-bentuk mental
dianggap sebagai gambaran ekstra-mental dan keduanya adalah eksistensi
ekstra-mental. ‘Allamah ‘Ali Qusyji (m. 1474), Mir Sadr al-Din Dasytaki (m.
1497), Jalal al-Din Dawani (m. 1502), 8)
Mulla Sadra Syirazi (m. 1641), 9)
Abd al-Razzaq Lahiji (m. 1661) semua berpendapat bahwa kuiditas objek-objek
yang dipersepsi benar-benar hadir di dalam subjek yang mempersepsi. Mereka juga
mengemukakan berbagai teori pengetahuan yang didasarkan pada konsep kuiditas.
Akan tetapi, Rajab ‘Ali Tabrizi (m. 1670) menolak keseluruhan teori-teori
tersebut. 10)
Karena signifikansi pemikiran mazhab Mulla Sadra,
banyak pandangan dan komentar yang telah ditulis sehubungan dengan
pikiran-pikirannya, suatu upaya dalam mengembangkan posisi dan doktrin di dalam
filsafat Mulla Sadra. Hanya saja, teori-teori pokok masih saja sama dan
dominan. Oleh karena itu, analisis kami tentang perkembangan teori filosofis
pengetahuan akan merunut perbincangan epistemologi di dalam filsafat Islam dari
Ibn Sina sampai Mulla Sadra.
Perkembangan
Epistemologi di dalam Filsafat Islam
Di dalam pemahamannya tentang kategori kualitas (kayf) dan bagian-bagiannya, Al-Farabi
(m. 950) membagi pengetahuan di dalam kategori kualitas psikis (kayfiyyah nafsaniyyah). 11) Oleh karena itu, Al-Farabi
menganggap pengetahuan sebagai aksiden yang inheren di dalam jiwa manusia. Ibn
Sina pada satu sisi menganggap pengetahuan terjadi di dalam jiwa manusia, dan
pada sisi yang lain dia memahami pengetahuan sebagai kehadiran gambaran
realitas sesuatu (dan bukan esensi realitas sesuatu itu) di dalam subjek yang
mempersepsi. 12)
Karenanya, Ibn Sina dihadapkan pada masalah tentang aksidentalitas
bentuk-bentuk yang dipahami dari suatu substansi. 13) Dia menganggap bahwa defenisi substansi yang
meliputi substansi intelligible (yang dapat dipahami), seperti halnya
kuiditas, yang jika termanifestasi di dalam eksistensi ekstra-mental, adalah bebas
dari suatu substrat.14)
Dengan cara ini, Ibn Sina menyelesaikan masalah aksidentalitas yang disebutkan
di atas. Dia tidak menerima adanya substansi intelligible yang mewujud di alam
eksternal sebagai pengecualian pada defenisi ini. Yakni, dia tidak sependapat
dengan independensi substansi intelligible dari suatu substrat sebagai bagian
penting dari defenisi substansi. 15)
Suhrawardi menganggap inteleksi sebagai kehadiran
sesuatu yang immaterial, atau kehadiran sesuatu di dalam suatu esensi yang
bebas dari materi. 16)
Teori mazhab Ibn Sina membedakan antara eksistensi dan individuasi. Namun,
Suhrawardi menganggap individuasi sebagai salah satu aspek dari eksistensi.
Objek yang dipahami dan intellijible kehilangan keterhubungan karena bagi
Suhrawardi eksistensi tidak terhubung tetapi pada saat yang sama
terindividukan, intelligible hadir di dalam pikiran. 17) Suhrawardi menganggap bentuk-bentuk persepsional
sebagai individualitas ideal (huwiyyah)
dan merupakan penampakan “bersifat bayang-bayang” dari sesuatu yang
ekstra-mental. Suhrawardi menegaskan bahwa ide tentang sesuatu berbeda dengan
sesuatu itu dalam semua aspek. Juga, Suhrawardi membedakan antara ilustrasi (matsal) dan ide (mitsl) sesuatu. Dengan cara ini, Suhrawardi berusaha memecahkan
masalah yang cukup pelik tentang asosiasi antara aksiden dan substansi.
Menurutnya, objek mental, misalnya ‘kuda’, adalah ide tentang sesuatu yang
ekstra-mental dan karenanya berbeda dengan sesuatu yang ekstra-mental dalam
semua aspeknya. Sesuatu yang ekstra-mental benar-benar ekstrinsik terhadap
pikiran. Jika objek yang diketahui oleh pikiran sama dengan objek
ekstra-mentalnya, maka hal ini akan meniadakan realisasi bentuk-bentuk mental
di dalam pikiran. 18)
Fakhr al-Din Razi memberikan bukti-bukti keberadaan
eksistensi mental dengan menggunakan argumen keharusan persistensi kuiditas
yang dibedakan di dalam pikiran, 19)
serta dengan merujuk kepada permissibilitas pemberian predikat tidak mungkin
(kepada sesuatu). Dalam meresponi kritik terhadap konsep tentang eksistensi
mental melalui analisa lokus warna putih dan warna hitam, Razi menjelaskan
perbedaan kedua eksistensi tersebut, yakni mental dan ekstra-mental. Realisasi
keberlawanan antara warna putih dan warna hitam tergantung kepada eksistensi
eksternal. Perbedaan efek kedua warna tersebut disebabkan oleh perbedaan
wadahnya. Dengan demikian, ‘panas’ pada benda korporeal mempunyai sifat-sifat
tertentu, sementara ‘panas’ di dalam pikiran, yang terbebas dari ruang dan
kuantitas, mempunyai sifat-sifat yang lain. 20) Bagi mereka yang menolak eksistensi mental, sifat
warna hitam dan warna putih diketahui secara independen karena kita (telah)
mengetahui bahwa hitam berlawanan dengan putih tanpa (perlu) mengetahui
eksistensinya. Artinya, kedua warna tersebut diketahui secara a priori di dalam pikiran. Namun,
pendapat ini tidak konsisten dengan asumsi bahwa pengetahuan adalah suatu
kualitas, dan bahwa pengetahuan tentang keberlawanan antara warna putih dan
warna hitam juga adalah salah satu bagian dari pengetahuan itu sendiri. Oleh
karena itu, menjadi jelas bahwa orang-orang yang menolak (keberadaan eksistensi
mental) meragukan argumen bahwa pengetahuan adalah kualitas murni dan
menganggapnya hanya sebagai kualitas karena korelasi. 21) Juga, Razi menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah murni karena korelasi, karena bagaimana mungkin sesuatu yang
tidak eksis secara eksternal di dunia objektif dapat diketahui. 22)
Nasir al-Din Tusi berusaha membuktikan keberadaan
eksistensi mental melalui proposisi-proposisi analitis. Dalam meresponi argumen
yang menolak adanya eksistensi mental yang mendasarkan penolakannya pada
keharusan persesuaian antara dua hal yang diperlawankan ketika keduanya
dipikirkan, misalnya panas dan dingin, Tusi mengatakan bahwa pengetahuan tidak
identik dengan kuiditas objek ekstra-mental, pengetahuan adalah bentuk dan ide
dari objek ekstra mental tersebut. 23)
Dengan membedakan antara sesuatu dan bentuk sesuatu itu, Katibi Qazwini menolak
asumsi keharusan kesesuaian antara dua hal yang diperlawankan, dia juga menolak
argumen yang mengatakan bahwa efek dari eksistensi ekstra-mental pasti
disebabkan oleh eksistensi mental. 24)
Dalam memperjelas pandangan Tusi ini, ‘Allama Hilli mengatakan bahwa penolakan
adanya eksistensi mental yang telah disebutkan di atas, disebabkan oleh tidak
adanya pembedaan antara sesuatu dan muasal (cognate)
sesuatu itu. Hilli mengatakan bahwa objek yang diketahui di dalam pikiran
adalah sebuah bentuk, ide, dan muasal sesuatu; objek tersebut bukanlah esensi
dan realitas sesuatu itu. 25)
‘Allama ‘Ali Qusyji, yang merupakan salah satu
komentator Tajrid al-I’tiqad,
berpendapat bahwa ketika kita mengetahui suatu objek yang substansial di dalam
pikiran, maka ada dua elemen yang muncul dari objek ini. Pertama adalah objek
yang diketahui di dalam pikiran, yang universal dan substansial, dimana
substansi itu adalah kuiditas yang jika terealisasi di dunia eksternal, ia
tidak memerlukan suatu substrat. Yang kedua adalah pengetahuan, yang karena ia
muncul di dalam jiwa, maka ia bersifat partikular dan merupakan kualitas psikis
yang tergantung pada objek ekstra-mental. Menurut Qusyji, pendapat yang
mendefenisikan pengetahuan sebagai kehadiran kuiditas sesuatu hanya
mempertimbangkan elemen pertama di atas; sedangkan pendapat yang menganggap pengetahuan
sebagai bentuk, ide dan muasal sesuatu, hanya mempertimbangkan elemen yang
kedua saja. 26)
Komentator Tajrid
al-I’tiqad yang lain, yakni Sadr al-Din Dasytaki yang dikenal sebagai
Sayyid al-Sanad, menganggap pandangan Qusyji di atas tidak dapat dibuktikan.
Dasytaki menafsirkan pandangan para filosof tentang pemahaman bentuk-bentuk di
dalam pikiran sebagai pemahaman kuiditas. Kuiditas ini, yang tidak menyebabkan
efek-efek, disebut ‘image’ (gambaran, syabah).
27) Oleh karena itu,
Dasytaki tidak membedakan antara pemahaman kuiditas sesuatu di dalam pikiran
dengan pemahaman image di dalam pikiran. Dasytaki menegaskan bahwa menurut para
filosof, bentuk bukanlah suatu image atau suatu ide, tetapi sesuatu yang muncul
di dunia eksternal dalam materi eksternal, yang juga muncul dalam pikiran di
dalam fakultas rasional. Dasytaki kemudian menyebutkan ketidaksesuaian
kategoris antara bentuk mental yang diklasifikasikan sebagai suatu kualitas
dengan bentuk ekstra-mental yang digolongkan sebagai suatu substansi. Dengan
mempersamakan bentuk unik dengan materi prima yang mengalami transformasi
berdasarkan pada bentuk yang berada di dalamnya, Dasytaki kemudian
menyelesaikan masalah ini. Dia berkata,
Materi prima juga berubah
menjadi aksiden atau substansi, tergantung pada eksistensi mental atau
eksistensi ekstra-mental; dan karenanya dalam menjelaskan kuiditas sebagai
substansialitas atau aksidentalitas, sangat tergantung pada mode eksistensinya.
28)
Dasytaki juga mendiskusikan ketidakjelasan materi
prima dalam hubungannya dengan pemahaman terhadap bentuk-bentuk yang beragam,
juga menjelaskan determinasi bentuk dalam dirinya sendiri; dan sebagai respon,
Dasytaki mengatakan eksistensi sebagai suatu kondisi bagi determinasi itu
sendiri. 29)
‘Allamah Dawani memperjelas pendapat filosof terdahulu
yang mengelompokkan pengetahuan dalam kategori kualitas sebagai suatu analogi.
Kuiditas-kuiditas yang ada dalam pikiran adalah aksiden, tetapi kuiditas yang
ekstra-mental adalah substansi; inilah permasalahannya. Jika kuiditas yang ada
dalam pikiran adalah aksiden, maka kuiditas tersebut pasti berubah berdasarkan
sifat-sifatnya, suatu asumsi yang ditolak sebagian besar filosof Muslim. Oleh
karena itu, Dawani menganggap bahwa kuiditas yang ada dalam pikiran memiliki
kategori yang sama dengan kuiditas ekstra-mental. 30)
Dalam hal eksistensi mental, Mulla Sadra terinspirasi
oleh pendapat Dasytaki, dan untuk menjelaskan pendapat Dawani di atas, Sadra
mengatakan bahwa realisasi sesuatu ditentukan oleh baik eksistensi mental
maupun eksistensi ekstra-mentalnya. 31)
Menurut Mulla Sadra, yang ada di dalam subjek yang mempersepsi adalah konsep
saja, bukan individual atau penjelasnya dan juga bukan esensi atau realitasnya
yang terealisasi di dalam pikiran; maksudnya, jiwa memahami bentuk sensual,
bentuk imajinatif dan bentuk rasional sesuatu.32) Untuk mengantisipasi kesalahpahaman terhadap
teorinya yang dapat dianggap merujuk pada teori ‘image’ (syabah), Mulla Sadra menekankan argumen bahwa menurut penganut
teori ‘image’ tersebut, apa yang terealisasi di dunia ekstra-mental adalah
kuiditas dan esensi, sedangkan yang terealisasi di dalam pikiran adalah
image-nya. Akan tetapi, menurut Mulla Sadra, kuiditas dan realitas sesuatu
terjadi baik di dalam pikiran maupun secara ekstra-mental. Dalam menjelaskan
cara dimana sifat-sifat esensial dapat tetap dipertahankan, Mulla Sadra
mengatakan,
Ketika mengimajinasikan
sesuatu, pikiran memaksudkan bentuk-bentuk mental, bukan untuk eksistensi
mental sesuatu itu, tetapi untuk eksistensi ekstra-mental objektifnya yang
menjadi dasar dalam kategori dan karakteristik realitas objektif sesuatu yang
dipahami, wadah dimana esensialitas sesuatu yang eksternal diabstraksikan. 33)
Selanjutnya, Mulla Sadra menjelaskan masalah asosiasi
antara aksiden dan substansi, atau setidaknya Sadra memberikan komentar yang
lebih tepat, yakni masalah pencakupan objek yang sama dalam dua kategori
sebagaimana pandangan beberapa orang yang menganggap semua kategori yang dapat
diterapkan pada sesuatu dalam semua aspek adalah esensial terhadap sesuatu itu.34) Di samping itu, seperti
yang terlihat dalam penjelasan-penjelasan Mulla Sadra, bentuk yang dipahami
yang sama dengan objek yang diketahui oleh dirinya sendiri, selain melalui
predikasi primer (al-haml al-awwali
al-dhati) seperti halnya sesuatu yang ekstra-mental, juga melalui predikasi
teknis yang umum (al-haml al-sya’i
al-sina’i) seperti halnya kualitas psikis. 35)
Abd al-Razzaq Lahiji justru menggunakan istilah
‘image’ (syabah) untuk bentuk-bentuk
kuiditas dalam pikiran yang figuratif (bersifat perlambang), dimana kuiditas
dalam pikiran tersebut tidak menunjukkan efek yang sama dengan efek dari
kuiditas ekstra-mental. Karenanya, Lahiji menolak pandangan para filosof yang
menjelaskan eksistensi mental dalam dua cara. Beberapa filosof mengelompokkan
bentuk-bentuk mental ke dalam kategori kuiditas ekstra-mental, sementara yang
lain menganggapnya sebagai image dari kuiditas dan realitas. 36)
Akhirnya, Rajab ‘Ali Tabrizi, salah seorang murid Mir
Findiriski (m. 1641), tetap menolak adanya eksistensi mental. Untuk membuktikan
pendapatnya, dengan berdasarkan pada dua premis, yang pertama dianggapnya
sebagai bukti diri (self-evident) dan
yang kedua sebagai premis spekulatif dan masih diperdebatkan, Rajab ‘Ali
Tabrizi berargumen seperti berikut.
Jika pengetahuan diperoleh
melalui pemahaman bentuk sesuatu di dalam pikiran, maka bentuk mental sesuatu
haruslah salah satu bentuk dari sesuatu yang ekstra-mental. Sebabnya adalah,
tidak mungkin menyimpulkan suatu substansi dari aksiden dan tidak mungkin
mengetahui bentuk ‘manusia’ melalui bentuk ‘kuda’.
Untuk realisasinya, setiap bentuk material memerlukan
materi partikular yang dapat menampung bentuk tersebut.
Oleh karena itu, jika bentuk mental api terealisasi di
dalam pikiran, maka bentuk ini haruslah; pertama, merupakan jenis bentuk
ekstra-mental api, dan yang kedua adalah, bentuk tersebut terealisasi di dalam
suatu materi partikular yang dapat menampung bentuk api tersebut. Dengan
demikian, bentuk mental harus mempertahankan semua karakteristik bentuk
ekstra-mental api. Kedua bentuk tersebut tidak boleh berbeda dalam
karakteristiknya apakah sebagai realitas ataupun sebagai materi pahaman.
Karenanya, karakteristik api yang membakar juga harus ada di dalam bentuk
mental api. Tidak dapat diterima bahwa (hanya) eksistensi ekstra-mental yang
dapat membakar karena kesamaan-kesamaan kuiditas dapat dipisahkan dari sesuatu
yang tidak eksis di dalam pikiran ataupun di dalam realitas ekstra-mental. Oleh
karena itu konseptualisasi pengenalan bentuk-bentuk segala sesuatu tidak
tergantung pada eksistensi mental. 38)
Analisa dan
Penjelasan
Tingkat kebenaran setiap teori sangat tergantung
kepada validitas asumsi-asumsinya, argumen-argumennya, konsistensi antara
setiap elemen internalnya serta konsistensi sistem pemikirannya, kapasitasnya
dalam meresponi pertanyaan-pertanyaan serta memberikan pemecahan setiap
permasalahan, dan kekuatannya dalam menghadapi setiap kritik dan sanggahan.
Dengan standar-standar inilah kita dapat menilai setiap pemikiran di dalam filsafat
Islam.
Kebanyakan filosof Muslim mendefenisikan filsafat
sebagai pengetahuan tentang realitas segala sesuatu, sehingga melalui
pengetahuan tentang realitas dan tatanan objektif alam inilah manusia dapat
menyadari dirinya sebagai suatu tatanan rasional mikrokosmos yang berpadanan
dengan dunia objektif. 39)
Defenisi ini beralasan hanya jika kita mengenal tiga asumsi: korespondensi
persepsi dengan dunia eksternal, bahwa persepsi merepresentasikan dunia
eksternal, dan kemungkinan pengenalan esensi dan realitas segala sesuatu.
Asumsi adanya suatu hubungan kuiditatif antara persepsi dan objek yang dipahami
lahir dari pemahaman tentang representasi dan pencerminan persepsi terhadap
realitas eksternal. Dalam membicarakan tentang eksistensi mental, para filosof
Muslim menyebutkan dua klaim. Pertama, di dalam proses belajar, sebuah fenomena
mewujud di dalam pikiran manusia dan hal ini tidak menjelaskan bahwa
pengetahuan hanyalah sebuah hubungan korelatif antara subjek yang mengetahui
dan objek yang diketahui. Kedua, sesuatu yang mewujud di dalam pikiran, di
dalam istilah esensi dan kuiditas, adalah sama dengan apa yang mewujud di dunia
ekstra-mental. Setelah penampakan bentuk sesuatu yang tertentu, dari sinilah
kita mulai memberikan perhatian terhadap dunia eksternal. Dengan cara ini,
dapat dijelaskan secara rasional bahwa pengetahuan menampakkan apa-apa yang
diketahui dan menjelaskan korespondensi esensial antara pengetahuan dan yang
diketahui.
Sebuah analisis terhadap teori-teori epistemologis di
dalam filsafat Islam mengungkapkan bahwa teori-teori tersebut berdasarkan pada
suatu korespondensi kuiditatif antara objek mental dan ekstra-mental. Tidak ada
satupun bukti independen yang menjelaskan fenomena pengetahuan. Dengan kata
lain, seperti yang telah kita lihat, bahwa di dalam mendefenisikan pengetahuan
filosof-filosof tersebut dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang disebutkan di
atas. Bahkan, para filosof yang menolak relasi kuiditatif pun tidak menunjukkan
suatu argumen untuk mendukung defenisi mereka tentang pengetahuan. Meskipun
demikian, mereka tetap memberikan defenisi pengetahuan ketika meresponi kritik
dan sanggahan.
Analisis kesempurnaan maupun ketidaksempurnaan
teori-teori para filosof Muslim juga tergantung pada perluasan wilayah
perbincangan teori-teori tersebut. Persepsi manusia tidak dibatasi hanya di
dalam intelligibilia primer (ma’qulat awwaliyyah) dan konsep-konsep
kuiditatif. Oleh karena itu, jika salah satu dari defenisi-defenisi di atas
hanya dapat menjelaskan persepsi manusia di dalam wilayah intelligibilia primer dan tidak dapat menjelaskan persepsi manusia
dalam wilayah intelligibilia sekunder
(ma’qulat tsaniyyah) baik secara
filosofis maupun logis, maka teori tersebut tidak bisa dianggap sempurna. 40) Namun jika teori
tersebut dapat mencakup wilayah persepsi manusia secara keseluruhan baik intelligibilia primer maupun sekunder,
barulah dapat dikatakan bahwa teori tersebut cukup sempurna.
A.
Teori Ibn Sina
Ibn Sina adalah filosof Muslim pertama yang
mendefenisikan pengetahuan sebagai ilustrasi realitas sesuatu bagi subjek yang
mempersepsi. Ibn Sina juga yang mendiskusikan masalah yang cukup terkenal
tentang asosiasi antara substansi dan substrat. Untuk alasan inilah, Ibn Sina
memiliki nilai yang sangat penting.
Ibn Sina tidak memberikan argumen dalam defenisinya
tentang pengetahuan. Dia menganggap aplikasi substansi pada objek yang dipahami
dan objek yang diketahui secara esensial adalah permisibel dan pada saat yang
sama bersifat aksidental. Dengan menghilangkan dependensi substansi pada
substrat untuk realisasi mental, Ibn Sina menolak asosiasi substansi dan
substrat. Oleh karena itu, Ibn Sina mencoba mempertahankan relasi kuiditatif
antara persepsi dan objek yang dipersepsi. Melalui cara inilah, Ibn Sina
menjelaskan asumsinya tentang korespondensi antara persepsi dan dunia eksternal
serta kemungkinan pengenalan sifat-sifat esensial sesuatu. Dengan demikian,
validitas teori Ibn Sina tergantung pada validitas asumsi-asumsi ini. Teori Ibn
Sina memperkenalkan teori tentang kuiditas yang dengan memahami teori inilah
korespondensi pikiran dengan dunia objektif mempunyai sandaran.
Ibn Sina dan pengikut Peripatetiknya mempercayai bahwa
intelek aktif atau Pemberi bentuk-bentuk (dator formarum, wahib
al-suwar) memberikan bentuk yang sama kepada fakultas rasional dan materi
sampai semua materi mendapatkan kuiditas kemateriannya. 41)
Dengan cara ini, kuiditas dapat dipahami melalui pengertian (cognition).
Itulah karenanya intelek manusia yang sebelumnya kehilangan bentuk-bentuk
kognitif tetapi kemudian dapat mengetahuinya kembali disebut intelek material (al-‘aql
al-hayulani).42) Teori pengetahuan Ibn Sina tetap
konsisten dengan psikologi dan kosmologi yang dianutnya.
Dalam menilai kesempurnaan teorinya, terlebih dahulu
harus dipahami bahwa wilayah analisis Ibn Sina adalah intelligibilia
primer. Adapun defenisinya tentang pengetahuan tidak mencakup wilayah analisis
filosofis dan logis dari intelligibilia sekunder. 43)
B. Analisis
Teori Suhrawardi
Suhrawardi juga tidak memberikan argumen dalam teori-teorinya.
Pendekatan inovatifnya mencakup penjelasan bentuk persepsional sebagai
individualitas ideal serta menjelaskan perbedaan antara ide dengan bentuk
sesuatu dan bahwa ide tersebut merujuk pada bentuk sesuatu itu, yakni
penjelasan yang sebenarnya sudah tercakup dalam defenisi bahwa bentuk
persepsional adalah penampakan bayang-bayang objek ekstra-mental. Suhrawardi
kemudian menjelaskan unitas dan dualitas bentuk persepsional dan objek
ekstra-mental. Dia juga berasumsi bahwa ada korespondensi antara persepsi dan
objek yang dipersepsi.
Suhrawardi mempunyai sumbangan yang penting karena
dialah yang pertama kali menggunakan istilah “eksistensi mental” di dalam
karya-karyanya, sebuah istilah yang justru banyak digunakan oleh mazhab
Peripatetik. 44) Juga harus diingat bahwa dalam karya
terakhirnya tentang pengetahuan, Suhrawardi memunculkan teori tentang iluminasi
jiwa yang sangat bertentangan dengan teori eksistensi mental. 45)
Karenanya, teorinya tidak konsisten.
Untuk menilai kesempurnaan defenisi Suhrawardi, maka
defenisinya tidak boleh dibatasi hanya dalam wilayah intelligibilia
primer karena penampakan bayang-bayang objek ekstra-mental adalah suatu konsep
universal, juga bahwa defenisinya adalah suatu defenisi yang aplikasinya pada intelligibilia
sekunder tetap mempunyai arti meskipun aplikasinya pada wilayah yang pertama
lebih bersifat konvensional. Harus diingat bahwa, mungkin saja penggunaan
istilah “ilustrasi” (tamatstsul) yang digunakan oleh Ibn Sina untuk
menjelaskan pengetahuan, yang membuat Suhrawardi mengasumsikan adanya identitas
ideal dalam suatu persepsi.
C. Analisis
Teori Razi
Razi menganalisis sifat-sifat eksistensi mental dengan
mempertimbangkan keberlawanan sifat-sifat ‘warna hitam’ dan ‘warna putih’. Pada
satu sisi, Razi menghadapi masalah dalam mengasumsikan suatu lokasi yang unik
bagi sifat putih dan sifat hitam ketika mempertimbangkan keberlawanan antara
kedua sifat tersebut sementara kita tahu bahwa eksistensi ekstra-mental
seharusnya mengikuti eksistensi mental secara kognitif. Pada sisi yang lain,
Suhrawardi menghadapi masalah bahwa pengetahuan tentang keberlawanan antara
sifat putih dan sifat hitam memerlukan pengetahuan tentang sifat putih,
pengetahuan tentang sifat hitam, bahkan pengetahuan tentang keberlawanan
keduanya yang sebenarnya tidak konsisten dengan anggapan bahwa pengetahuan
tentang keberlawanan sifat putih dan sifat hitam hanyalah kualitas, yakni suatu
aksiden. Karena, jika pengetahuan adalah kualitas, maka pluralitas pengetahuan
tentang sifat putih, pengetahuan tentang sifat hitam, dan pengetahuan tentang
keberlawanan keduanya tidak bisa dijustifikasi lagi. Untuk memecahkan masalah
ini, setelah membuktikan eksistensi mental, Razi selanjutnya menjelaskan
perbedaan antara eksistensi mental dan ekstra-mental. Razi menganggap
pengetahuan tentang keberlawanan sifat putih dan sifat hitam adalah wujud yang
terkondisikan di atas eksistensi ekstra-mentalnya. Eksistensi mental tidak
menunjukkan efek yang sama dengan eksistensi ekstra-mental karena mode dan
“wadah” keduanya juga berbeda. Untuk menjawab masalah kedua, Razi meragukan
bahwa pengetahuan adalah kualitas murni, Razi menganggap pengetahuan adalah
kualitas melalui korelasi. Korespondensi kuiditatif ‘menyimpan’ hubungan antara
persepsi dan ke objek yang dipersepsi. Razi juga mengasumsikan kemungkinan
pengenalan sifat-sifat esensial sesuatu. Namun di dalam argumennya, hanya
eksistensi mental yang mempunyai bukti. Sementara itu, korespondensi kuiditatif
hanya tinggal sebagai asumsi saja.
Teori Razi tentang pengetahuan secara internal bisa
disebut konsisten. Namun, kesempurnaan dan kekuatan argumen dalam defenisinya
tentang pengetahuan masih dipertanyakan. Titik lemah Razi dalam hal ini adalah
bahwa defenisinya tidak mencakup intelligibilia
sekunder.
D. Analisis
Teori Tusi, Katibi dan Hilli
Tusi, Katibi dan Hilli mendefenisikan pengetahuan dan
persepsi sebagai suatu bentuk atau ide dari objek yang dipersepsi di dalam jiwa
subjek yang mempersepsi, seperti bayangan pada sebuah tembok atau seperti
gambar pada secarik kertas. 46)
Dengan demikian, hubungan antara bentuk dan objek yang dipersepsi hanyalah
relasi kesamaan saja. Bentuk mental adalah image dari eksistensi ekstra-mental
dimana bentuk mental tersebut merujuk pada eksistensi ekstra-mental dikarenakan
kesamaan, mirip dengan kata-kata yang juga menunjukkan objek-objek tertentu.
Satu-satunya perbedaan antara kata-kata dengan bentuk mental dalam hal ini
adalah, bahwa acuan dari kata-kata ke objek bersifat konvensional (biasa)
sedangkan acuan bentuk-bentuk mental bersifat natural (dasar). 47) Itulah karenanya, acuan
kata-kata ke objek hanya digunakan untuk orang-orang yang sudah memahami
kebiasaan, sementara acuan bentuk-bentuk mental bersifat universal.
Para tokoh ini tidak memberikan pembuktian lain dalam
menjelaskan teori mereka tentang pengetahuan, tetapi dengan menggunakan konsep
eksistensi mental, mereka mengajukan bukti semu untuk menjawab kritikan yang
sangat populer. Karena pengetahuan adalah suatu image dari objek ekstra-mental,
maka korespondensi kuiditatif tidak diperlukan. Artinya, pengetahuan tak lebih
dari suatu aksiden dan kualitas psikis saja. Meskipun kelihatannya teori ini
cukup konsisten, namun teori ini tidak cukup sempurna karena hanya mencakup
wilayah intelligibilia primer saja.
Sementara itu, intelligibilia
sekunder tidak memiliki ‘image’ karena ia bukanlah bentuk-bentuk. Dengan
demikian, teori ini tidak menjelaskan pengetahuan sebagai kunci dalam memahami
konsep-konsep metafisis seperti eksistensi itu sendiri.
E. Analisis
Teori Qusyji
Qusyji membedakan antara realisasi sesuatu di dalam
pikiran dan ketergantungannya terhadap pikiran. 48) Dalam hal ini, Qusyji membedakan kedua hal ini
menjadi dua kategori yang terpisah. Dia mempersamakan pikiran manusia dengan
sebuah cermin dan memperbandingkan bentuk-bentuk kognitif dengan pantulan pada
cermin tersebut. Seperti halnya bayangan yang ada di dalam cermin yang
mempunyai bentuk dan apa yang tergantung kepada cermin hanya merupakan esensi
dari suatu bentuk, maka di dalam pikiran muncul pula dua hal. Pertama, objek
yang diketahui di dalam pikiran yang bersifat universal dan merupakan
substansi. Kedua, pengetahuan yang bersifat partikular, aksidental, merupakan
kualitas psikis, yang mewujud melalui objek ekstra-mental dan tergantung kepada
jiwa.
Teori ini menyebutkan adanya prinsip korespondensi
antara persepsi dan dunia eksternal, kemungkinan pengenalan esensi dan
sifat-sifat esensial, serta adanya korespondensi kuiditatif. Meskipun teori ini
mampu menjawab masalah yang berhubungan dengan asosiasi substansi dan substrat,
namun teori ini tidak memberikan teori pengetahuan yang cukup koheren dan
rasional. Teori ini juga tidak memberikan argumen tehadap asumsi adanya
realisasi dua hal di dalam pikiran ketika terjadi sebuah persepsi.
Dengan demikian, seperti pada analisis sebelumnya,
teori ini juga kurang konsisten. Dalam hal ini, kesempurnaannya masih dapat
dipertanyakan karena teori ini tidak menjelaskan wilayah intelligibilia sekunder.
F. Analisis
Teori Sadr al-Din Dasytaki
Dasytaki menolak interpretasi bahwa bentuk adalah
image dan bahwa ide bukanlah kuiditas sesuatu. Melalui permisalan bentuk dengan
materi primer, Dasytaki menganggap eksistensi sebagai kondisi determinasi, dia
juga menjelaskan perbedaan kategoris antara bentuk mental yang merupakan
kualitas dengan bentuk ekstra-mental yang merupakan substansi. Menurut
Dasytaki, apa yang dipahami di dalam pikiran ketika terjadi persepsi hanyalah
esensi bentuk-bentuk sesuatu. Namun sekali bentuk tersebut diketahui, ia akan
mengalami perubahan-perubahan tertentu yang bisa menjadi aksiden-aksiden.
Eksistensi dan realisasi kuiditas tergantung kepada eksistensi itu sendiri,
sehingga kuiditas sesuatu tidak akan mewujud kecuali eksistensi sesuatu itu
mewujud terlebih dahulu. Dengan memahami perbedaan antara eksistensi mental dan
eksistensi ekstra-mental, maka bentuk yang tergantung kepada eksistensi
ekstra-mental berbeda dengan bentuk yang tergantung kepada eksistensi mental.
Sekali objek eksternal mewujud di dalam pikiran, maka objek tersebut berubah
menjadi kualitas psikis.
Teori ini mengetengahkan prinsip-prinsip korespondensi
antara persepsi dan dunia eksternal serta kemungkinan pengenalan sifat-sifat
esensial. Namun, tak ada satupun argumen yang mendukung anggapan bahwa yang
dimaksud dengan image oleh para filosof bukanlah bentuk dan bahwa ide itu
bukanlah kuiditas sesuatu.
Juga, walaupun Dasytaki memberikan alasan dalam
prinsipnya tentang transformasi kuiditas objek eksternal menjadi kualitas
psikis, namun Dasytaki mempercayai prinsipalitas kuiditas (asalat al-mahiyya). 49)
Akan tetapi, pendapat yang
mempertahankan asumsi bahwa ada fakta objektif yang menggabungkan sesuatu yang
substansial dengan sesuatu yang aksidental tidaklah konsisten dengan asumsi
‘virtualitas’ eksistensi. Karenanya, Dasytaki kembali mengaburkan penjelasannya
sendiri yang menjadi indikasi kekurangsempurnaan sistem filosofisnya. Teorinya
juga menjadi tidak lengkap karena dibatasi hanya pada wilayah intelligibilia primer dan tidak mencakup
wilayah intelligibilia sekunder.
G. Analisis
Teori Dawani
Karena mengira bahwa perubahan di dalam suatu kuiditas
adalah tidak mungkin, Dawani menganggap deskripsi bentuk-bentuk kognitif
sebagai kualitas hanya untuk penggunaan analogis saja. Dawani malah tidak
membedakan antara kuiditas mental dengan kuiditas ekstra-mental. Adapun garis
besar teori ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, teori ini mengasumsikan prinsip korespondensi
antara persepsi dan realitas, prinsip kemungkinan pengenalan esensi dan
realitas sesuatu, serta prinsip korespondensi kuiditatif.
Kedua, korespondensi kuiditatif antara persepsi dan
objek yang dipersepsi belum dapat dibuktikan. Hal itu belum dibuktikan sebagai
suatu kualitas. Kalaupun sekiranya pembuktian itu sudah ada, maka perubahan di
dalam kuiditas menjadi satu keharusan. Namun argumen ini juga masih
dipertanyakan karena penggunaan istilah ‘kualitas’ pada bentuk-bentuk kognitif
tidak analogis, justru tidak bisa dipungkiri bahwa jiwa manusia mampu
mengabstraksikan intelligibilia dari
entitas-entitas ekstra-mental, bentuk-bentuk imajinatif dan image ideal.
Akhirnya tidak bisa dibantah bahwa jiwa manusia, ketika mengabstraksikan intelligibilia ini, adalah di bawah
pengaruh kualitas psikis yang pada hakikatnya adalah pengetahuan jiwa terhadap
intelligible tersebut. Sehingga ketika konsep ini dikaji lebih mendalam,
ternyata jiwa mempunyai kualitas yang berasal dari jiwa itu sendiri.
H. Analisis
Teori Mulla Sadra
Dalam membicarakan masalah eksistensi mental, mengikut
Dasytaki, Mulla Sadra juga menjelaskan determinasi sesuatu yang tergantung pada
eksistensi mental atau eksistensi ekstra-mentalnya. Dengan mempercayai adanya
realisasi konsep ini, dan bukan objek individual atau esensi dan realitas
sesuatu di dalam pikiran, Sadra memberikan penjelasan baru bahwa sifat-sifat
esensial tetap melekat pada objek yang dipahami dalam pikiran. Kemudian, dengan
menjelaskan kembali teorinya tentang predikasi, Sadra menyebutkan bentuk
persepsional dalam hubungannya dengan eksistensi ekstra-mental sebagai objek
aksidental yang dipahami, dan dalam hubungannya dengan eksistensi mental
sebagai kualitas psikis aksidental. 50)
Disini, mungkin Sadra agak dipengaruhi oleh Qusyji. Satu-satunya perbedaan
diantara mereka adalah bahwa Qusyji mempercayai realisasi dua hal di dalam
pikiran, sementara Mulla sadra mempercayai realisasi satu hal saja yang dapat
ditafsirkan dalam dua cara dari dua sudut pandang.
Menurut para filosof, kuiditas unik mempunyai sifat
permanen dan memiliki manifestasi yang bermacam-macam di alam eksistensi yang
berbeda-beda khususnya di dunia manusia. Karena itu kuiditas unik tersebut
mewujud di dalam setiap domain wujud yang proporsional terhadap kualitas
ontologis domain tersebut. Ketika kuiditas ini mempunyai manifestasi yang
beragam di dalam penampakan-penampakan wujud, maka pada saat yang sama ia juga
adalah esensi dan realitas unik. Realitas unik ini mewujud di dunia eksternal
melalui eksistensi ekstra-mental dan mewujud di dalam pikiran melalui
eksistensi mental.
Jika kita membandingkan teori Mulla Sadra tentang
eksistensi metal dengan interpretasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
teori Mulla Sadra tentang kuiditas lebih beralasan ketika teorinya ‘tersentuh’
oleh intuisi mistis. Teori ini mengasumsikan adanya korespondensi persepsi
dengan realitas serta kemungkinan pengenalan terhadap esensi dan realitas
segala sesuatu. Di samping itu, teori ini juga mengasumsikan korespondensi
kuiditatif dengan adanya interpretasi Mulla Sadra dalam hal predikasi esensial
primer dan predikasi teknis yang umum. Sadra mungkin terinspirasi oleh teori
Dasytaki, ‘Allama Qusyji, dan yang lebih penting adalah pengaruh kaum mistik.
Oleh karena itu, validitas teorinya tergantung kepada asumsi-asumsi dan teori
yang dikembangkannya.
Meskipun Mulla Sadra tidak memberikan argumen yang
independen dalam mendefenisikan pengetahuan sebagai kehadiran sesusatu di dalam
subjek yang mempersepsi, namun Sadra mencoba memecahkan inklusi objek yang sama
yang berada di dalam dua kategori, yakni melalui predikasi esensial primer dan
predikasi teknis yang umum. Karena alasan ini, teori Sadra mempunyai nilai
yanga sangat penting.
Mulla Sadra menjelaskan persoalan persepsi dalam dua
cara, sebagai sebuah diskusi perihal eksistensi mental yang berhubungan dengan
persepsi dan objek yang dipersepsi; dan sebagai sebuah diskusi terhadap isu
Porphyrian tentang penyatuan antara pengetahuan, subjek yang mengetahui, serta
objek yang diketahui yang di dalamnya Sadra juga menjelaskan masalah persepsi
itu sendiri.
Bagi Sadra, pengetahuan hanyalah suatu eksistensi dan
suatu tingkatan jiwa rasional. Keberadaan pengetahuan sebagai wujud adalah
keberadaan effusional (qiyam fayadi) dan bukan keberadaan emanatif (qiyam
suduri), karenanya pengetahuan seharusnya dianggap sebagai salah satu
manifestasi pelaku (agent). Dengan demikian, Mulla Sadra menganggap
realitas pengetahuan dan persepsi sebagai eksistensi.
Pandangan ini sangat tidak konsisten dengan konsep
Mulla Sadra tentang eksistensi mental. Karena, menurut teori eksistensi mental,
relasi antara persepsi dan yang mempersepsi adalah hubungan aksidental, dan
menurut pandangan Mulla Sadra tentang kesatuan antara pengetahuan, subjek yang
mengetahui dan objek yang diketahui, kesatuan antara persepsi dan yang
mempersepsi adalah relasi kesatuan. Juga, menurut pandangan Mulla Sadra tentang
eksistensi mental, objek yang diketahui di dalam pikiran adalah kualitas dari
predikasi umum. Namun, menurut penjelasan Sadra tentang kesatuan pengetahuan,
subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, objek yang diketahui di dalam
pikiran pada tingkat-tingkat persepsional yang berbeda-beda disatukan dengan
tingkatan manifestasi jiwa. Dengan demikian, eksistensi pengetahuan berada di
luar kategori-kategori ini.
Sebaliknya, di dalam teori Sadra tentang eksistensi
mental, kuiditas adalah sumber pembagian substansi dan aksiden. Bentuk-bentuk
kognitif yang mengada melalui eksistensi mental dan tergantung kepada jiwa,
diklasifikasikan sebagai kualitas dan dianggap sebagai jenis-jenis aksiden yang
menjadi bagian dalam pengelompokan kuiditas. Karena bentuk-bentuk kognitif tersebut merujuk kepada realitas
ekstra-mental, maka bentuk-bentuk tersebut diklasifikasikan sebagai objek
aksidental yang dipahami. Teori Sadra tentang eksistensi mental kemudian
disesuaikan dengan prinsipalitas quiditas, namun menjadi tidak konsisten dengan
teori metafisiknya tentang prinsipalitas eksistensi. Dengan demikian, teori
Mulla Sadra menjadi kehilangan konsistensi internalnya.
Dalam menilai kesempurnaan teori Mulla Sadra, jelas
bahwa persepsi manusia tidaklah dibatasi hanya dalam wilayah intelligibilia primer dan sekunder saja.
Karenanya, defenisi pengetahuan sebagai “kehadiran sesuatu di dalam yang
mengetahui” bisa mencakup kedua wilayah tersebut. Sayangnya, teori ini kurang
lengkap dalam memberikan penjelasan yang menyeluruh.
I. Analisis Teori
Rajab ‘Ali Tabrizi
Pengenalan terhadap objek-objek yang dipahami
mensyaratkan suatu kesatuan formal antara objek yang dipahami di dalam pikiran
dan padanan ekstra-mentalnya. Realisasi bentuk-bentuk material memerlukan
materi yang mampu menerima bentuk-bentuk tersebut. Berdasarkan premis-premis
ini, Tabrizi mengklaim bahwa jika kondisi-kondisi tersebut terpenuhi, maka
objek yang dipahami di dalam pikiran seharusnya mempunyai semua karakteristik
objek yang dipahami di dalam eksistensi ekstra-mentalnya. Namun karena asumsi
itu tidak benar, maka Rajab ‘Ali tabrizi menyimpulkan bahwa terjadinya persepsi
tidak bisa dijelaskan melalui eksistensi mental dan premis-premis di atas. Dia
kemudian menolak adanya eksistensi mental tersebut.
Di dalam teorinya, Tabrizi memberikan sebuah argumen
untuk memperkuat penolakannya terhadap keberadaan eksistensi mental. Sayangnya,
argumen tersebut secara filosofis masih dipertanyakan karena tiga alasan:
Pertama, di dalam argumennya, Tabrizi mengidentifikasi
persamaan sifat-sifat eksistensi dengan kuiditas, juga efek yang secara
langsung mengikuti kuiditas tersebut.
Namun, menurut prinsipalitas eksistensi, kuiditas adalah sebuah konsep
virtual dan universal yang tidak mempunyai efek tanpa adanya eksistensi.
Konsekuensinya, sifat-sifat eksistensi yang sama, seperti halnya eksistensi itu
sendiri, adalah sifat-sifat ekstra-mental dan melahirkan efek-efek tertentu
walaupun kuiditas tersebut bersifat virtual.
Kedua, realitas setiap hal yang bersifat material
tergantung kepada bentuk, bukan materi. Karenanya, prinsip individuasi adalah
bentuk. Sebabnya adalah, materi merupakan sesuatu yang non-eksistensial dan
efek dari bentuk sesuatu yang pada akhirnya ditentukan oleh spesiesnya.
Ketiga, dalam hubungannya dengan esensi konsep melalui
predikasi primer, konsep dapat ditafsirkan dalam satu cara; sedangkan esensi
konsep melalui predikasi umum ditafsirkan dengan cara yang lain. 51)
Kesimpulan
Pertama,
independensi dan kekuatan beberapa teori epistemologis telah dijelaskan oleh
asumsi-asumsinya. Beberapa asumsi tersebut mencakup kemungkinan pengenalan
sifat-sifat esensial sesuatu, korespondensi kuiditatif antara subjek dan objek,
dan lain-lain.
Dalam membicarakan pengetahuan sebagai realitas
sesuatu, Ibn Sina berkata:
Manusia tidak dapat mengetahui
realitas segala sesuatu dan tidak mampu mengenal apapun kecuali
karakteristik-karakteristik, persamaan-persamaan, dan aksiden-aksidennya. 52)
Ibn Sina berargumen seperti berikut:
Manusia tidak mengetahui
realitas segala sesuatu karena pengetahuannya tentang segala hal hanyalah
pahaman melalui indra. Dengan alasan, manusia mengelompokkan
persamaan-persamaan antara sesuatu dengan yang lainnya, demikian pula
perbedaan-perbedaannya. Dan, hanya dengan cara ini manusia dapat mengetahui,
melalui alasan tentang persamaan-persamaan dan efek-efek sesuatu.53)
Ibn Sina mengatakan bahwa esensi dan realitas segala
sesuatu tidak dapat diketahui:
Pengetahuan adalah pemahaman
bentuk-bentuk segala sesuatu yang diketahui di dalam jiwa; pengetahuan bukanlah
untuk mengatakan bahwa esensi-esensi segala sesuatu itu mewujud di dalam jiwa,
yang hadir hanyalah efek-efeknya.54)
Suhrawardi juga mempercayai bahwa mustahil mengetahui
segala sesuatu. 55) Dia
menganggap bahwa “defenisi-defenisi” umum sama dengan deskripsi. 56) Suhrawardi menyebutkan
bahwa dalam kurun waktu tertentu yang merupakan periode terburuk dalam sejarah
kehidupan manusia, adalah masa ketika kekuatan berpikir dikungkung dan jalan
untuk membuka dan menyingkapnya ditutup. 57)
Suhrawardi tidak berpikir bahwa pengetahuan hanya menjadi milik kelompok
tertentu, dia justru menyalahkan siapa saja yang mencegah para pemikir untuk
melakukan penelitian untuk mengembangkan pemikirannya. 58)
Kedua,
pengaruh beberapa teori terhadap beberapa filosof Muslim, misalnya pengaruh
kaum mistik dalam menjelaskan ketidakrealitasan kuiditas dan manifestasinya di
dalam tingkatan-tingkatan dan jenis-jenis alam eksistensi, telah membuat
teori-teori kelompok yang datang belakangan sangat resesif dibanding kelompok
terdahulu.
Ketiga,
tidak ada argumen independen yang diberikan untuk menjelaskan defenisi
pengetahuan sebagai realisasi sesuatu atau kehadiran kuiditas sesuatu di dalam
subjek yang mengetahui. Dengan mencetuskan beberapa defenisi untuk memecahkan
berbagai permasalahan, hal itu justru menghilangkan nilai-nilai rasional
argumen tersebut, mengurangi nilainya menjadi sekedar klaim saja. Para filosof Muslim mencoba menjelaskan permasalahan
pengetahuan secara a priori namun
kemudian lupa dengan sejarah epistemologi. Ini juga menjadi suatu permasalahan.
Keempat,
kondisi konsistensi internal harus terpenuhi antara komponen-komponen dalam
satu teori, maupun antara satu teori dengan teori lainnya di dalam sistem
filsafat yang sama. Dalam hal ini, beberapa inkonsistensi seperti yang telah
kita lihat dalam analisis-analisis sebelumnya, telah mengurangi nilai teoritis
teori-teori tersebut.
Kelima,
defenisi pengetahuan yang diberikan oleh para filosof Muslim dibatasi hanya di
dalam wilayah perbincangan intelligibilia
primer dan intelligibilia sekunder.
Padahal, persepsi manusia tidak terbatas hanya dalam dua wilayah perbincangan
ini saja. Hal inilah yang membuktikan ketidaksempurnaan teori-teori dan
defenisi-defenisi tersebut.
Saya kemudian menyimpulkan tulisan ini dengan sebuah kutipan
tentang wilayah persepsi manusia menurut Mulla Sadra:
Persepsi tidak dibatasi dalam
apa yang telah saya pahami, bahkan persepsi itu tidak terbatas oleh apapun.
Pengetahuan yang hakiki tidak terbatas dalam apa yang saya “defenisikan”
melalui penjelasan. Kebenaran terlalu luas sehingga tidak ada satupun alasan
yang mampu menjelaskannya, pun tak satupun batasan yang dapat membatasinya. 59)
Catatan
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang posisi-posisi yang
berbeda dalam defenisi pengetahuan, lihat Mulla Sadra, al-Hikma al-Muta’aliya fi
al-Asfar al-‘aqliyya al-‘arba’a, editor R. Lutfi dkk, edisi ketiga,
Beirut: Dar ihya al-Turath al-‘Arabi 1981, Vol III, hal. 284.
2. Ibn Sina, al-Syifa’: al-Ilahiyyat, edisi I.
Madkur dkk, Kairo: al-hay’a al-‘amma 1960,
hal 25.
3. Lihat Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq (The Philosophy of Illumination),
editor/penterjemah H. Ziai dan J. Walbridge, Islamic Translation Series,
Provo, UH: Brigham Young University
Press 1999, hal. xv-xxx.
4. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, hal. 45-51
5. Razi, al-Mabahith al-Masyriqiyya, Hyderabad: Osmania
Oriental Publications 1343 qamari,
vol. I, hal. 331. Lihat kritik Mulla Sadra, al-Asfar, vol. III, hal.
344-45. Tentang Razi, lihat S.H. Nasr, "Fakhr al-Din Razi," dalam A History of Muslim Philosophy, editor.
M.M. Sharif, Wiesbaden:
Otto Harrassowitz 1966, vol. I, hal. 642-56.
6. Lihat H. Dabashi, "Khwajah Nasir al-Din al-Tusi:
the philosopher/vizier and the intellectual climate of his times," in History of Islamic Philosophy,
editor. S.H. Nasr & O. Leaman, London: Routledge 1996, vol. I, hal. 527-84;
Mudarris-i Radawi, Ahwal wa athar-i ustad…Khwaja
Nasir al-Din, Tehran:
Tehran University Press 1955.
7. Lihat Sabine Schmidtke, The theology of al-‘Allama al-Hilli, Stuttgart: Franz Steiner Verlag 1991.
8. Untuk pengenalan singkat terhadap beberapa tokoh
setelah Tusi dan sebelum Mulla Sadra, lihat John Cooper, "From al-Tusi to
the school of Isfahan," in History of Islamic philosophy, vol. I, hal. 585-96. Khusus
untuk Dawani, see John Cooper "Jalal al-Din al-Dawani," Routledge Encyclopaedia of Philosophy
vol. 2, hal. 806-7, dan Bakhtyar Husain Siddiqi, "Jalal al-Din
Dawwani," in A History of Muslim
Philosophy, vol. II, hal. 883-8.
9. Studi yang terbaik tentang Mulla Sadra adalah Fazlur
Rahman, The philosophy of Mulla Sadra,
Albany: State
University of New York Press 1975.
10. Tentang dinasti Safawi yang terakhir, lihat Henry
Corbin, Histoire de la philosophie
Islamique, Paris:
Gallimard 1974, hal. 472-73.
11. Al-Farabi, Al-Mantiqiyyat, editor M.T.
Danishpazhuh, Qum: Maktabat ayatullah Mar’asyi
Najafi 1408 qamari, vol. I, p. 51. bandingkan dengan Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol. I, hal. 323.
12. Ibn Sina, Al-Isyarat wa al-Tanbihat ma syarh lil Tusi,
editor M. Syihabi, Qum: Daftar-i nasyr-i kitab 1403 qamari, Vol II, hal. 308.
13. Ibn Sina, al-Syifa’: al-Ilahiyyat, edisi I.
Madkur dkk, Tehran:
Nasir-i Khusraw 1363 syamsi, hal 140.
14. Ibn Sina, al-Mabda’ wa al-Ma’ad, editor ‘A.
Nurani, Tehran:
Tehran University Press bekerja sama dengan the McGill Institute of Islamic
Studies 1363 syamsi, hal. 105.
15. Ibn Sina, al-Syifa’, hal. 140.
16. Suhrawardi, al-Talwihat di dalam Opera Metaphysica
et Mystica tome I, editor H. Corbin, Istanbul: Maarif matbaasi 1945, Tehran: Mu’assasa-yi
mutali’at va tahqiqat-i farhangi 1373 syamsi, Vol. I, hal. 72.
17. Lihat penjelasan Shahrazuri, Syarah Hikmat
al-Ishraq, ed. H. Żia’i, Tehran:
Institute of Cultural Studies and Research 1993, hal.
182.
18. Suhrawardi, al-Talwihat di dalam Opera Metaphysica
et Mystica tome II, editor H. Corbin, Tehran: Institut Franco-Iranien
1951, Tehran: Mu’assasa-yi Mutali’at wa Tahqiqat-i Farhangi 1373 Syamsi, Vol.
II, hal. 256-57.
19. Razi, al-Mabahith al-Masyriqiyya, Qum: Intisyarat-i Bidar 1411 qamari, Vol. I, hal. 41
20. Razi, al-Mabahith al-Masyriqiyya, Vol. I,
hal. 319-22.
21. Razi, al-Mabahith al-Masyriqiyya, Vol. I,
hal. 321-22 dan 327.
22. Razi, al-Mabahith al-Masyriqiyya, Vol. I,
hal. 326-37
23. Tusi, Tajrid al-I’tiqad, Qum:
Mu’assasa-yi mutali’at-i dini 1366 syamsi, hal. 10-11 dan Talkhis al-Muhasal,
Kairo: al-Matba’a al-Husainiyya 1323 qamari, hal. 156-57.
24. Katibi, Hikmat ayn al-Qawa’id, editor ‘A.
Munzawi, Tehran:
Tehran University Press 1327 syamsi, hal. 16.
25. Hilli, Idah al-Maqasid fi Syarh Hikmat ‘ayn
al-Qawa’id, editor ‘A. Munzawi, Tehran:
Tehran University Press 1327 syamsi, hal. 17.
26. Qusyji, Syarh al-Tajrid, litograf Tehran, Isfahan: Danisykada-yi Adabiyyat tanpa tahun,
hal. 13-14
27. Dasytaki, Hasyiya bar Syarh al-Tajrid, MS
Majlis-i Syura Vol 14.
28. Dasytaki, Hasyiyah, MS Majlis Vol 13r – 14v.
29. Dasytaki, Hasyiyah, MS Majlis Vol 14r.
30. Dawani, Hasyiya bar Syarh al-Tajrid,
litograf, Isfahan:
Danisykada-yi adabiyyat tanpa tahun, hal. 14
31. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 322.
32. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 291-92.
33. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 292, 323.
34. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 298-99.
35. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 295-96.
36. Lahiji, Syawariq al-Ilham fi Syarh Tajrid al-Kalam,
litograf Tehran,
Isfahan:
Intisyarat-i Mahdawi, tanpa tahun, hal. 51-2.
37. Bandingkan dengan Tabrizi, Usul-i Asafiyya, MS
Majlis-i Syura.
38. Salah satu kritik terhadap penolakan ini, lihat Mulla
Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 275-76.
39. Bandingkan dengan Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 21
40. Suatu intelligible primer merujuk pada suatu substansi
primer seperti halnya “manusia” merujuk kepada Zaid. Intelligible sekunder
adalah suatu konsep abstrak dengan tingkatan yang lebih tinggi yang mungkin
saja mempunyai rujukan umum. Oleh karena itu “eksistensi” atau “substansi”
merujuk kepada kelas yang lebih luas dari objek-objek mungkin. Jika seseorang
berpikir tentang Zaid, maka pada contoh pertama, orang tersebut mungkin
berpikir bahwa dia (Zaid) adalah seorang manusia sehingga dia akan
mengasosiasikan Zaid dengan intelligible primer yang ada dalam pikirannya. Dan
pada contoh kedua, orang yang berpikir tersebut akan memikirkan bahwa Zaid itu benar-benar
ada, lalu menisbatkan “eksistensi” intelligible sekunder pada Zaid tersebut.
Intelligibilia sekunder yang logis adalah konsep murni yang digunakan dalam
logika seperti halnya “keharusan logis.”.
41. Ibn Sina, al-Mabda’, hal. 98, 102-3
42. Ibn Sina, al-Mabda’, hal. 97, 100
43. Intelligibilia sekunder tida dapat merujuk kepada
bentuk-bentuk material.
44. Suhrawardi, al-Muqawamat dalam Opera,
Vol. I, hal. 163.
45. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq dalam Opera,
Vol. II, hal. 15.
46. Bandingkan dengan Mulla Hadi Sabzawari, Syarh
Ghurar al-Fara’id Ma’ruf bih Syarh Manzuma-yi Hikmat, editor M.
Moghagheh dan T. Izutsu, Tehran:
McGill University Institute of Islamic Studies 1969, hal. 60-1; M. Mohaghegh
& T. Izutsu, The Metaphysics of
Sabzavari, Tehran:
Iran University Press 1983, hal. 58.
47. Yaitu, ada hubungan alamiah di dalam bentuk suatu
kuiditas antara bentuk mental “kuda” dengan bentuk ekstra-mental “kuda”
tersebut ketika seseorang menyebut objek “kuda” menurut kebiasaan, bukan karena
adanya sesuatu yang esensial terhadap bentuk dan makna “kuda” yang menunjukkan
kesamaan dengan kuda tersebut (equinity).
48. Yakni, Qusyji membedakan antara keberadaan (subsistence) dan kehadiran (presence) di dalam pikiran. Lihat
Sabzawari, Syarh-i Manzuma, hal. 60; M. Mohaghegh & T. Izutsu, The Metaphysics of Sabzavari, hal. 57.
49. Bandingkan dengan Sabzawari, Syarh-i Manzuma, hal. 61;
M. Mohaghegh & T. Izutsu, The
Metaphysics of Sabzavari, hal.
58-9.
50. Bandingkan dengan Sabzawari, Syarh-i Manzuma, hal.
62-65; M. Mohaghegh & T. Izutsu, The
Metaphysics of Sabzavari, hal.
61-65.
51. S.J. Asytiyani, Muntakhabati az athar-I hukama-yi ilahi-yi Iran, Tehran: Institute
Franco-Iranien 1972, Tehran,
Mu’assasa-yi mutali’at va tahqiqat-I farhangi 1363 syamsi, Vol. I, hal. 263-64.
52. Ibn Sina, al-Ta’liqat, editor ‘A. Badawi,
Kairo: GEBO 1973, hal. 34.
53. Ibn Sina, al-Ta’liqat, hal. 82.
54. Ibn Sina, al-Ta’liqat, hal. 82.
55. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, hal. 8-11.
56. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq dalam Opera,
Vol. II, hal. 31-36.
57. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq dalam Opera,
Vol. II, hal. 17.
58. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, hal. 1
59. Mulla Sadra, al-Asfar, Vol. I, hal. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar