Proses Mencapai
Keimanan Sempurna
Uqdatul Kubro
Disaat manusia mulai beranjak
dewasa, yang ditandai oleh kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia mulai
berpikir tentang 'keberadaan'-nya di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang
beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu, bahkan harus, ia jawab. Jawaban
tersebut haruslah jawaban yang memuaskan akal dan menenangkan jiwanya karena
jawaban itu pula yang akan menjadi landasan kehidupan pada masa-masa
selanjutnya. Maka, selama masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia
tidak akan berjalan di dunia dengan tenang. Tanpa jawaban tersebut, ia ibarat
manusia tersesat tanpa tujuan yang jelas. Karena sifatnya yang demikian,
beberapa pertanyaan pokok dan mendasar ini sering disebut sebagai uqdatul kobro (masalah/ simpul yang
sangat besar).
Pertanyaan mendasar tersebut berupa
pertanyaan "dari manakah asal
manusia dan kehidupan ini?", "mau kemana manusia dan kehidupan setelah
ini?" dan "untuk apa manusia dan kehidupan ini
ada?" Bila pertanyaan ini
terjawab, --terlepas dari jawabannya
benar atau salah-- maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus
tuntunan dan tujuan kehidupannya itu sendiri. Selanjutnya berjalanlah ia di
dunia ini dengan landasan/dasar tersebut; ia berbuat dengan standar
dan nilai yang berdasarkan landasan tersebut. Berekonomi dan berbudaya berdasar landasan tersebut, bahkan ia akan mengajak orang/kaum lain agar mengikuti landasan tersebut.
dan nilai yang berdasarkan landasan tersebut. Berekonomi dan berbudaya berdasar landasan tersebut, bahkan ia akan mengajak orang/kaum lain agar mengikuti landasan tersebut.
Sebenarnya, jawaban tersebut
sekaligus menjadi pemahaman (mafaahim)
orang/ kaum tersebut terhadap kehidupan ini. Seseorang atau suatu kaum yang
menyelesaikan uqdatul kubro tersebut dengan jawaban: “kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/
materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/ benda, sehingga manusia
hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup"; maka
mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar
baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan berbudaya, berekonomi dan berpolitik
untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum
seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dsb),
diluar materi.
Sementara itu seseorang atau suatu kaum yang menjawab: "dibalik alam dan kehidupan ini ada
Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/
amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini,
yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia"; maka mereka akan
hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain,
berdasarkan aturan Sang Pencipta tersebut. Standar baik-buruk berdasar aturan
Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus
dipertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Demikian gambaran ringkas tentang
landasan kehidupan seseorang/ suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban
uqdatul kubro manusia. Hanya saja gambaran tersebut belum menjelaskan tentang
landasan kehidupan mana yang benar dan mana yang salah.
Pemecahan Shohih 'Uqdatul kubro
Dengan berbagai upaya, manusia
mencoba mencari jawaban tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau
akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari
alam semesta (al kaun), manusia (al insaan) dan kehidupan (al hayaat), maka ketiga hal inilah yang
dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap
masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan
menyeluruh tentang alam semesta (al-kaun), manusia (al-insaan) dan kehidupan
(al-hayaat), serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah
kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang
jernih. Jawaban tersebut memuaskan/
sesuai dengan akal, menentramkan jiwa
dan sesuai dengan fitrah manusia.
Karenanya, Islam memberi jawaban
tuntas yang shohih/benar, yang lahir dari proses berpikir jernih dan
menyeluruh. Islam menjawab bahwa dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan
ada Al-Kholiq (Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi
ada. Al-Kholiq itu bersifat Wajibul wujud (wajib/pasti adanya) --karena kalau
tidak demikian maka ia tidak mampu menjadi Al-Khaliq--. Ia pun bukan makhluk
karena sifatnya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu
mengharuskan adanya Pencipta yang
menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu
yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam
semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah
(tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri-red.), serba kurang dan
saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya
karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain,
sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia
bersifat terbatas, mulai dari 'ketiadaannya' sampai batas waktu yang tidak bisa
dilampauinya. Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa-red.), ia bersifat
terbatas pula, sebab penampakan/ perwujudannya bersifat individual semata. Dan
apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti
pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas.
Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam
semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-benda di bumi dan angkasa dimana
setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda
terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun
bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta,
ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir
keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala
hal yang bersifat terbatas, akan
didapati bahwa segala hal tersebut tidak
azali ( azaliy = tidak berawal dan
berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas?
Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya
pencipta yang mengadakannya, atau mewajibkan adanya 'sesuatu yang lain'. Dan 'sesuatu yang
lain' inilah Al-Khaliq, yang menciptakan manusia,
kehidupan dan alam semesta.
Dalam menentukan sifat Al-Khaliq/
Pencipta ini dapat kita temukan adanya tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak
keberadaannya. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami
bahwa: kemungkinan pertama yang mengatakan bahwasanya Ia diciptakan oleh yang
lain adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab
dengan demikian Ia adalah mahluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang
lain untuk mengadakannya. Demikian pula kemungkinan kedua yang menyatakan
bahwasanya Ia menciptakan diri-Nya sendiri adalah kemungkinan yang bathil juga.
Karena dengan demikian Ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang
bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal. Maka dari itu, hanya
kemungkinan yang ketiga-lah yang shohih, yakni Al-Khaliq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya.
Dialah Allah SWT.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang
mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat
diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta
yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda-benda tadi
bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain.
Yakinlah bahwa semuanya hanyalah makhluk. Oleh karena itu untuk membuktikan
adanya Khaliq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati
segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia
itu sendiri.
Dengan mengamati
salah satu planet yang ada di alam semesta, misal saja Bumi, akan kita dapati
betapa teraturnya gerak bumi dan segala kejadian di dalamnya. Jarak bumi dengan
matahari yang sangat 'pas' menyebabkan bumi bisa menjadi tempat kehidupan
manusia. Andai bumi lebih dekat kepada matahari beberapa puluh kilometer saja
suhu bumi akan sangat panas yang menghancurkan kehidupan. Begitu pula andai
jarak bumi lebih jauh beberapa puluh kilometer dari matahari, tentu suhu di
bumi akan sangat dingin membekukan segala kehidupan yang ada. Dengan metode
yang sama kita pun dapat merenungi salah satu gejala kehidupan, atau
menyelami salah satu segi di dalam diri manusia, akan memberikan bukti yang
nyata terhadap adanya Allah SWT, Sang Pencipta
dan Pengatur.
Karena itu kita jumpai bahwa
Al-Qur'an senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di
sekitar manusia sambil mengajak manusia untuk turut mengamatinya serta
mengamati segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya,
agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan
memberikan suatu pemahaman yang menyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang
Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan. Di dalam
Al-Qur'an telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara
lain firman Allah :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang
yang berakal" (QS Ali Imran 190)
Juga Firman-Nya :
"(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna
kulitmu" (QS Ar-Rum 22).
Serta firman-Nya
yang lain seperti QS. Al-Ghasiyah : 17-20, juga QS. Ath-Thariq: 5-7, atau juga
firman-Nya berikut :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa
yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air,
lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia sebarkan
di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan
antar lagit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (Keesaan
dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan"
(QS Al-Baqarah 164).
Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain
yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terhadap
benda-benda alam, serta melihat apa yang ada disekelilingnya dan yang
berhubungan dengannya (dari segi keberadaannya-pen) untuk dijadikan petunjuk
atas adanya Pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya
kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Inilah jawaban shohih secara ringkas
tentang keberadaan Al-Khaliq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Sifat Fitri Keimanan
Memang benar, bahwa iman kepada Yang
Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia.
Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas
belaka. Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta tidak
akan membawa sesuatu ketetapan/keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan
dengan akal-red.). Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah
terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan
mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia
imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan
berhala, khurafat (cerita bohong) dan
kebatilan, tak lain akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak
membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal
seperti ini tidak akan menambah-nambah atas Dzat Allah dengan sifat-sifat yang
bertentangan dengan sifat-sifat Ketuhanan, atau menghayalkan penjelmaan-Nya
dalam benda-benda, atau juga menggambarkan suatu kemungkinan untuk mendekatkan
diri kepada-Nya melalui penyembahan benda-benda yang dapat menjurus ke
kekufuran atau penyekutuan terhadap Allah, atau ke arah dugaan yang salah dan
khurafat yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus. Oleh karena itu Islam
menegaskan penggunaan akal ber-sama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan
atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT
serta melarang bertaklid dalam urusan
aqidah. Untuk ini Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman
kepada Allah. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal" (QS Ali Imran 190)
Oleh karena itu maka wajib bagi
setiap muslim untuk menjadikan imannya betul-betul timbul dari proses berfikir,
penelitian, dan memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada
Allah SWT secara mutlak. Dan ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan
seksama dalam rangka mencari sunnatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk
beriman terhadap Penciptanya. Al-Qur'an telah menyebut hal tersebut dalam
puluhan ayatnya. Semua ini ditujukan terhadap unsur-unsur pemikiran yang
dimiliki manusia agar dapat mengajaknya untuk berfikir serta merenung sehingga
imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti. Hal ini juga memperingatkan manusia untuk tidak mengambil
jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya yang telah merasa puas terhadap
apa yang telah mereka temui tanpa meneliti dan mengujinya lagi untuk mengetahui
kebenaranya.
Inilah iman yang telah diserukan
oleh Islam. Dan iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai
imannya orang-orang yang lemah melainkan inilah iman yang jernih, yang
menyakinkan, yang senantiasa memandang dan berfikir lalu sampai kepada yakin
akan adanya Allah Yang Mahakuasa lewat pengamatan dan perenungannya tersebut.
Batas Akal Dalam Memahami Al-Khaliq
Kendati wajib atas manusia untuk
menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya
untuk memahami apa yang ada diluar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini karena
akal manusia terbatas sifat dan kekuatannya. Betapapun tinggi tingkatannya
tetap saja ia terbatas dan tumbuh dalam batas-batas yang tidak dapat
dilampauinya lagi. Karena itu pemahamannya pun terbatas.
Oleh karenanya, akal tidak mampu
untuk memahami Dzat Allah dan hakekatNya, sebab Allah berada diluar ketiga
unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan
kehidupan). Akal manusia itu sendiri tidak mampu untuk memahami apa yang ada
dibalik dirinya, maka tentu saja ia tidak mampu untuk mencapai Dzat Allah.
Hanya saja tidak dapat dikatakan: "Bagaimana
mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri
tidak mampu memahami Dzat Allah?"
Tidak, tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya iman itu adalah percaya
akan adanya (wujud/keberadaan-Nya)
Allah, dimana wujud Allah ini dapat dipahami melalui wujud makhluk-makhluk-Nya,
yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam
batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu,
orang dapat memahami adanya Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada
adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Berlainan halnya
jika orang hendak memahami Dzat Allah dimana hal ini mustahil terjadi. Sebab
Dzat-Nya berada diluar unsur alam semesta, manusia dan kehidupan. Jadi Ia
berada diluar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin
memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan
keterbatasannya untuk dapat melakukan hal itu. Bahkan keterbatasan itu, menjadi
faktor penguat iman, bukan malah menjadi penyebab keragu-raguan dan syak.
Sesungguhnya apabila iman kita
kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al-Kholiq pun
akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari
fithrah-red.) yang mengatakan
adanya Allah dibarengi oleh akal
maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh.
Kesemuanya ini akan memberikan pada diri kita suatu pemahaman yang sempurna
serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya
hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami
hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya. Selain itu hal
ini juga meyakinkan kita bahwa kita wajib mempercayai segala apa yang dikabarkan Allah tentang
hal-hal yang tidak sanggup dicerna oleh akal atau dipahaminya. Hal ini
disebabkan oleh lemahnya akal manusia untuk memahami apa yang ada diluar
jangkauannya dengan menggunakan ukuran-ukuran nisbi yang serba terbatas
kemampuannya. Padahal untuk memahami hal semacam ini diperlukan ukuran-ukuran
yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki oleh manusia.
Bahkan tidak mampu untuk dimiliki.
Kebutuhan Manusia Terhadap Rasul
Adapun bukti mengenai kebutuhan
manusia terhadap para rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai
makhluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat
dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang fitri dalam diri
manusia, karena ia merupakan salah satu fitrah pen-taqdis-an (pengagungan dan pensucian-red.) manusia. Dalam fitrahnya
itu manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah
yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah,
yang merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan
ini dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah
serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang
sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan
baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia
sendiri tidak mampu memahami hakekat Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya,
apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Khaliq-red.) untuk dapat
meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu aturan
ini harus datang dari Khaliq. Karenanya aturan ini harus sampai ke tangan
manusia, maka tidak boleh tidak harus ada para rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat
manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia
terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan
kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/ nalurinya merupakan hal yang mutlak perlu. Pemuasan
semacam ini apabila dibiarkan berjalan tanpa suatu aturan akan menjurus ke arah
pemuasan yang salah dan berlebihan serta akan menyebabkan malapetaka terhadap
umat manusia. Oleh karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan
kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari
pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan
kebutuhan-kebutuhan jasmani senantiasa menjadi obyek (sasaran) kekeliruan,
perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya. Apabila ia
dibiarkan membuat aturan sendiri, maka aturan yang ia buat pun menjadi subyek
kekeliruan, perselisihan, dan pertentangan yang akan menjerumuskan manusia ke
dalam kenestapaan. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT,
yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul.
Bukti Al-Quran Kalamullah
Adapun bukti -yang sangat mudah-
bahwa Al-Qur'an itu datang dari Allah dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa
Al-Qur'an itu sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan 'dari mana' asal Al-Qur'an
itu, dapat kita jumpai adanya tiga kemungkinan. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab. Kedua,
ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya.
Tidak ada kemungkinan lain selain dari yang ketiga ini. Sebab Al-Qur'an adalah
khas Arab, baik dari segi bahasa maupun sastranya.
Kemungkinan yang pertama, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an
merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab
Al-Qur'an sendiri telah menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang
serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat:
“Katakanlah: 'Maka datangkanlah sepuluh surat yang
menyamainya" (QS. Yunus 105)
"Katakanlah: Kalau benar yang kamu katakan maka
cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya"
(QS Yunus 38)
Bangsa Arab telah berusaha untuk
menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi
Al-Qur'an bukan berasal dari perkataan mereka karena ketidakmampuan mereka
untuk menghasilkan karya yang serupa. Kendati ada tantangan dari Al-Qur'an dan
usaha dari mereka untuk membuat karya yang serupa.
Adapun kemungkinan yang kedua, yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu
karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad
adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang
manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama
bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula
apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya
yang serupa. Jadi jelaslah bahwasanya Al-Quran
itu bukan karangannya.
Hal
tersebut makin diperkuat lagi
dengan banyaknya hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, yang
sebagian malah diriwayatkan lewat cara tawatur yang kebenarannya tidak
diragukan lagi. Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun
dalam Al-Qur'an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub). Padahal Nabi Muhammad
SAW disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, juga dalam
waktu yang bersamaan (selama bertahun-tahun) mengeluarkan hadits pula. Akan
tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun
kerasnya seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam
pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu
dengan gaya bahasa yang lain. Sebab hal ini merupakan bagian dari dirinya. Jadi
karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Qur'an dengan gaya bahasa
hadits maka yakinlah bahwa Al-Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW,
disebabkan terdapat perbedaan yang tegas dan jelas antara keduanya. Oleh karena
tidak seorang pun dari orang Arab yang bisa menuduh bahwa Al-Qur'an itu
perkatan Muhammad atau mirip dengan gaya bahasa pembicaraannya, justru karena
mereka memiliki pemahaman yang begitu dalam akan gaya bahasa mereka sendiri.
Maka terbantahlah kemungkinan
pertama dan kedua. Tinggallah kini tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu
bahwa Al-Qur'an itu disadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani
bernama Jabr. Tuduhan ini ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmanNya:
"(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka
berkata, 'Sesungguhnya Al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar
kepadanya (adalah) bahasa 'ajami (non Arab), sedangkan Al-Qur'an itu dalam
bahasa Arab yang jelas" (QS An-Nahl 103)
Apabila kini telah terbukti bahwa
Al-Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab, dan bukan pula karangan Muhammad SAW,
maka yakinlah bahwa Al-Qur'an itu merupakan perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat
bagi orang yang membawanya (yaitu Muhammad SAW-pen). Tidak ada kemungkinan lain
selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al-Quran itu berbahasa Arab.
Karena Nabi Muhammad orang yang
membawa Al-Qur'an yang merupakan perkataan dan syariat, sedangkan tidak ada
yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul, maka berdasarkan akal
dapat diyakini bahwa Muhammad SAW itu seorang Nabi dan Rasul.
Demikian uraian-uraian singkat namun
jelas dan tegas tentang dalil aqli untuk
beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan
kepada Al-Qur'an, bahwasanya Al-Qur'an itu merupakan kalam Allah.
Konsekuensi Iman Kepada Allah,
Rasulullah SAW, dan Al-Quran
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu
datang dari akal, dan memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang
menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal ghaib dan segala hal yang
dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang
memiliki sifat-sifat Ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman
terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh
akal maupun tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada
hari kebangkitan dan pengumpulan (Ba'ats),
surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan
syaithan, serta apa saja yang telah diterangkan Al-Qur'an dan hadits
muttawatir. Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan 'mengutip' (naql) dan 'mendengar' (sama'), akan tetapi pada dasarnya telah
terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal
atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Karena seorang muslim
wajib mengi'tiqadkan segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang
datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath'i). Yaitu yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur'an dan hadits qath'i (hadits mutawatir). Apa saja yang
tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Qur'an dan
hadits qath'i (mutawatir), haram baginya untuk mengi'tiqadkannya. Sebab, aqidah
tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman
kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan
oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan
setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali
penghubung (silah) antara kehidupan
dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); sekaligus menjadi tali
penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ikhwal manusia terikat oleh
tali penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini
sesuai dengan peraturan Allah dan wajib beri'tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat
atas segala perbuatannya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah
pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan
manusia. Serta telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum
dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat 'tali penghubung' antara dunia
dengan kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah 'masalah
besar' itu secara pasti kebenarannya dengan aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil
memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta
mewujudkan mafahim yang benar (terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran
dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu
prinsip ideologis kehidupan (mabda')
yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda itu pula yang akan
menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya
peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga
menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk
mendirikan negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqah (pola operasional/metode
pelaksanaan) adalah aqidah Islam itu sendiri.
Allah SWT
berfirman :
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada
Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang
mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya dan
hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan"
(QS An-Nisa 136)
Apabila semua ini (Iman kepada
Allah, dst. tadi) telah terbukti kebenarannya, maka wajiblah bagi seluruh kaum
muslimin untuk beriman juga kepada Syariat Islam (sebagaimana ia beriman kepada
Aqidah Islam). Karena seluruh syariat ini telah tercantum dalam Al-Qur'an dan
telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Oleh
karena itu ingkarnya seseorang terhadap hukum-hukum syara secara keseluruhan
atau sebagian darinya secara lebih terperinci, dapat menyebabkan ia menjadi
kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadat, muamalah, uqubat (sanksi),
ataupun math'umat (yang berkaitan
dengan makanan). Maka kufur terhadap
ayat:
"Dirikanlah shalat..".
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat "Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"(QS
Al-Baqarah 275). Atau terhadap ayat :"Laki-laki yang
mencuri dan perempuan
yang mencuri potonglah tangan
keduanya"(QS Al-Maidah 38). Atau ayat "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah" (QS Al-Maidah
3)
Dengan demikian, iman terhadap syari'at sebenarnya
tidak berhenti pada akal semata, tetapi juga harus ada penyerahan mutlak
terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya)
tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus)
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di
hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka
menerima (pasrah) dengan sepenuhnya" (QS
An-Nisa 65)
Kebangkitan Manusia
Bangkitnya manusia
tergantung dari pemikiran (fikrah-nya) tentang kehidupan, alam
semesta, dan manusia; serta hubungan
ketiganya ini dengan alam sebelum kehidupan dunia dan alam setelah kehidupan dunia. Oleh karena itu
harus ada perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia
dewasa ini. Kemudian diganti dengan dengan pemikiran lain agar ia bangkit.
Sebab pemikiranlah yang membentuk mafahim (pemahaman) terhadap segala sesuatu
serta memperkuatnya. Dan manusia mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan
ini sesuai dengan mafahimnya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim
seseorang terhadap orang yang ia cintai akan membentuk tingkah laku tertentu
terhadapnya, yang berlawanan dengan tingkah lakunya terhadap orang yang ia
benci dimana ia akan memiliki mafahim kebencian terhadapnya. Dan akan
berlawanan pula terhadap orang yang tidak dikenalnya dimana ia tidak memiliki
mafhum apapun terhadapnya. Jadi tingkah laku manusia berkaitan erat dengan
mafahimnya. Oleh karena itu apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia
yang rendah menjadi yang luhur maka tidak boleh tidak kita harus mengubah
mafhumnya terlebih dahulu. AllAh SWT berfirman :
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah 'keadaan'
suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri
mereka" (QS Ar-Ra'd : 11)
Satu-satunya jalan untuk mengubah
mafahim adalah dengan membentuk pemikiran tentang kehidupan dunia, agar
dengannya dapat terwujud mafahim yang benar tentang kehidupan dunia. Akan
tetapi pemikiran tentang kehidupan dunia ini tidak akan kuat terpusat hingga
memberi hasil, kecuali jika terbentuk pemikiran tentang alam semesta, manusia
dan kehidupan; tentang alam sebelum dan sesudah kehidupan dunia; dan tentang
hubungan ketiga unsur tadi dengan kedua alam ini. Hal ini dapat dicapai dengan
menyampaikan (kepada manusia-pen) pemikiran yang menyeluruh mengenai ketiga hal
tersebut. Inilah yang merupakan pemecah simpul dalam 'masalah besar' (Uqdatul
Kubro ) dalam diri manusia. Apabila masalah besar ini telah teruraikan, maka
terurai pulalah masalah yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau cabang
dari masalah besar tadi. Namun pemecahan ini tidak akan mengantarkan kita
kepada kebangkitan yang benar kecuali apabila pemecahan itu sendiri juga
merupakan pemecahan yang benar. Yaitu pemecahan yang sesuai dengan fitrah
manusia, memuaskan akal dan memberikan ketenangan hati.
Oleh karena itu bagi mereka yang
menghendaki kebangkitan dan kehidupan berada diatas jalan yang mulia harus
terlebih dahulu memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan yang benar, yaitu
melalui pemikiran yang jernih. Pemecahan inilah yang dinamakan 'aqidah', yang
merupakan landasan berfikir bagi setiap pemikiran cabang yang berhubungan
dengan perilaku serta tata aturan dalam kehidupan.
Islam telah menangani 'masalah
besar' ini. Dipecahkannya untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan
fitrah, memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Dan ditetapkan pula
bahwasanya untuk memeluk agama Islam itu tergantung sepenuhnya pada pengakuan
terhadap pemecahan ini. Yaitu dengan pengakuan yang betul-betul muncul dari
akal. Oleh sebab itu Islam dibangun diatas satu dasar, yaitu aqidah, yang mengatakan
bahwasanya dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat Pencipta
(Khaliq) yang telah menciptakan ketiganya, dan yang telah menciptakan pula
segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang mengatakan
bahwasanya Pencipta ini telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada. Ia
bersifat wajibul wujud (wajib adanya) -karena kalau tidak demikian maka ia
tidak mampu menjadi Khaliq-, Ia bukan makhluk, karena sifat-Nya sebagai
Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa
Ia mutlak adanya. Karena segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya,
sedangkan Ia tidak bersandar kepada sesuatu apapun.o
Tidak ada komentar:
Posting Komentar