Kamis, 05 April 2012

kepemimpinan-manajemen: prakarsa dan budaya


kepemimpinan-manajemen:
prakarsa dan budaya

Prakarsa atau inisiatif adalah salah satu pilar utama dari proaktivitas. Orang yang bersikap proaktif selalu menunjukkan hal itu setelah lebih dulu menyatakan kesediaannya untuk menerima tanggung jawab tertentu atau setelah ia merasa bahwa dirinya ikut bertanggung jawab dan karenanya harus ikut melakukan sesuatu. Dengan kata lain, orang yang enggan menerima tanggung jawab atau suka melempar tanggung jawab (menyalahkan orang atau hal lain di luar dirinya) sulit diharapkan untuk dapat mengambil inisiatif.
Tidak terlalu berlebihan kiranya jika sebagian besar anggota masyarakat bangsa kita ini dikatakan kurang berinisiatif karena memang, entah sejak kapan, para pejabat yang duduk di posisi kepemimpinan sangat kurang memberikan teladan. Mencari kambing hitam dan berkilah atau lempar batu sembunyi tangan telah menjadi suatu kebiasaan yang kita "tiru" dari para pejabat, khususnya di era Orde Baru. Mochtar Lubis di tahun 70-an "menampar" muka kita ketika mengatakan bahwa sebagai bangsa kita ini munafik, enggan bertanggung jawab, malas, dan sebagainya. 
Dan sebagai "hadiah" atas kejujurannya, ia kita biarkan dibungkam oleh pemerintah untuk waktu yang cukup lama. Kita, terutama para pejabat masa itu, memang tidak suka "bercermin". Kita, memang tidak suka "dituduh" bertanggung jawab. Akibatnya kita juga tidak suka mengambil prakarsa untuk memulai proses-proses pembaruan karena hal itu berisiko tinggi. Pada hal, dengan tidak pernah mengambil prakarsa, kita juga harus menanggung risiko yang mungkin lebih buruk di masa depan (seperti para pejabat ABS dan penjilat regim Soeharto yang dipermalukan karena ikut menuntut turunnya Soeharto karena arus reformasi).

Apabila kita mulai belajar merdeka (bebas dari dan bebas untuk), maka soal tanggung jawab atas masa depan kita (organisasi, baik bisnis maupun nonbisnis, sampai bangsa-negara) tidak boleh lagi kita lemparkan kepada pihak lain di luar "diri" kita, tidak juga kepada para pejabat dan "pemimpin". Kita harus terlibat, melibatkan diri dan minta dilibatkan untuk memainkan sejumlah peranan sesuai dengan kapasitas (bakat, potensi, talenta) yang kita miliki. 
Bukan karena kita merasa hebat dan serba bisa, tetapi lebih karena kita mau menerima tanggung jawab. Masa depan sebuah organisasi dan masyarakat merupakan urusan semua konstituennya, baik internal maupun eksternal, dan bukan hanya urusan para pemangku jabatan.
Dalam konteks organisasi bisnis atau perusahaan, maka prakarsa staf dan pegawai sangat penting dalam menunjang keberhasilan mereka yang duduk di posisi manajerial dan kepemimpinan. Celakanya, sebagian besar manajer dan eksekutif perusahaan sangat kurang menghargai staf dan pegawai mereka, terutama ide-ide yang diusulkan dari bawah. Apresiasi terhadap ide-ide, usul-usul, dan inisiatif dari bawah masih lebih merupakan basa-basi, slogan-slogan kosong, dan pidato-pidato hafalan yang tidak dipahami dan dihayati secara mendalam. 
Staf dan bawahan yang banyak ide, banyak inisiatif, acapkali dikatakan "cerewet", "banyak omong", dan "kurang kerjaan". Intinya, staf dan bawahan memang masih sangat kurang dihargai, termasuk prakarsa dan ide-ide mereka, oleh sebagian besar manajer dan eksekutif yang bermental feodal, merasa paling tahu, paling berpengalaman, paling pintar, dan sebagainya. Kebiasaan "memerintah" agaknya memang budaya nasional yang kita warisi sejak lama, juga dalam perusahaan.
Staf dan bawahan yang kurang suka mengambil prakarsa sebenarnya dipengaruhi oleh budaya masyarakat secara umum, khususnya budaya yang ada di sekitar tempat ia dibesarkan. Budaya itu antara lain tercermin alam pepatah, peribahasa, kata-kata bijak yang dianggap baik. Kita tahu bahwa dalam masyarakat ada banyak pepatah dan peribahasa yang memang kurang mendukung lahirnya kaum muda "idealis", yang penuh ide dan suka memprakarsai hal-hal baru. Kebanyakan orang lebih senang menjadi "pragmatis", pengekor, ikut arus, menjauhi "risiko", dan bahkan apatis (cuek bebek).
Mari kita ambil sejumlah contoh. Pertama, diam itu emas. Ini diartikan kalau ada apa-apa, diam saja. Ada yang korupsi-kolusi-nepotisme, diam saja. Ada yang salah, diam saja. Ada apapun lebih baik diam. Kedua, tidak ada kabar berarti kabar baik. Ini tercermin kalau kita mengamati kecenderung anak-anak muda yang menuntut ilmu di perantauan, di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang, misalnya. Kalau mereka berkirim kabar dengan orangtuanya, biasanya hanya dalam rangka minta uang kiriman ditambah atau dipercepat pengirimannya. Kalau lagi punya uang, orangtua di kampung tak pernah diberi kabar. Jadi, orangtua yang menerima surat lama kelamaan hafal isi surat itu sebelum membukanya.
Ketiga, lebih baik hati-hati daripada nanti salah. Nah, karena berusaha untuk selalu hati-hati (ingin menjadi "lebih baik"), maka tak pernah ada prakarsa untuk bertindak. Keempat, pikirkan matang-matang sebelum bicara. Dan lain sebagainya.
Dengan mempertimbangkan aspek budaya tersebut, maka bila dalam upaya membangun budaya organisasi yang lebih kondusif bagi pemekaran ide-ide pemicu proses inovasi dan proaktivitas, para manajer dan pejabat perusahaan harus mengganti peribahasa dan pepatah yang sering mereka gunakan dengan pesan-pesan atau nasehat yang mendorong lahirnya ide-ide kreatif.
Misalnya, harus sering ditegaskan bahwa lebih baik melakukan kesalahan daripada tidak pernah berbuat apa-apa. Atau, langkah seribu mil dimulai dengan langkah pertama. Atau diam adalah emas,tapi bicara bisa berarti berlian. Dan hanya orang yang menabur benih akan menuai hasil. Semua contoh terakhir ini mendorong keberanian berinisiatif, mengambil prakarsa, mencoba bereksperimentasi. Inilah yang memungkinkan perusahaan menjadi inovatif.
Tentu saja harus kita akui bahwa dalam kenyataannya mempraktekkan hal tadi tidaklah mudah. Ada banyak ide, usulan, inisiatif/prakarsa yang diambil oleh staf dan bawahan ternyata tidak brilian, tapi "sampah". Diperlukan sistem seleksi ide atau prakarsa, agar dapat menyaring ide-ide yang bermutu dan yang tidak bermutu. Satu prakarsa atau ide yang brilian mungkin baru muncul setelah seribu ide disaring dengan ketat.
Masalahnya, kita tidak pernah tahu mana ide yang brilian dan mana yang tak bermutu, kalau ide-ide yang muncul dari staf dan bawahan telah dibunuh sebelum dilahirkan. Artinya, kalau staf dan bawahan cenderung pasif dan bahkan apatis karena ide-ide mereka selalu dilecehkan, maka boleh jadi kita telah memperkecil peluang untuk menjadi perusahaan yang inovatif, yang mampu bersaing di era global.
Perlu diingat bahwa kata initiative yang kita terjemahkan menjadi inisiatif atau prakarsa, berasal dari kata Latin initiare yang artinya to begin, memulai. Dan sebuah proses inovasi selalu dimulai dari mana kalau bukan dari ide? Di era knowledge worker, aset perusahaan yang paling berharga boleh jadi adalah ide-ide itu. Jadi, budaya untuk mendorong staf dan bawahan memiliki banyak ide adalah budaya yang memperbesar kemungkinan perusahaan menjadi inovatif, bukan?

Tidak ada komentar: