kepemimpinan-manajemen:
prakarsa dan budaya
Prakarsa atau
inisiatif adalah salah satu pilar utama dari proaktivitas. Orang yang bersikap
proaktif selalu menunjukkan hal itu setelah lebih dulu menyatakan kesediaannya
untuk menerima tanggung jawab tertentu atau setelah ia merasa bahwa dirinya
ikut bertanggung jawab dan karenanya harus ikut melakukan sesuatu. Dengan kata
lain, orang yang enggan menerima tanggung jawab atau suka melempar tanggung
jawab (menyalahkan orang atau hal lain di luar dirinya) sulit diharapkan untuk
dapat mengambil inisiatif.
Tidak terlalu
berlebihan kiranya jika sebagian besar anggota masyarakat bangsa kita ini
dikatakan kurang berinisiatif karena memang, entah sejak kapan, para pejabat
yang duduk di posisi kepemimpinan sangat kurang memberikan teladan. Mencari
kambing hitam dan berkilah atau lempar batu sembunyi tangan telah menjadi suatu
kebiasaan yang kita "tiru" dari para pejabat, khususnya di era Orde
Baru. Mochtar Lubis di tahun 70-an "menampar" muka kita ketika
mengatakan bahwa sebagai bangsa kita ini munafik, enggan bertanggung jawab,
malas, dan sebagainya.
Dan sebagai
"hadiah" atas kejujurannya, ia kita biarkan dibungkam oleh pemerintah
untuk waktu yang cukup lama. Kita, terutama para pejabat masa itu, memang tidak
suka "bercermin". Kita, memang tidak suka "dituduh"
bertanggung jawab. Akibatnya kita juga tidak suka mengambil prakarsa untuk
memulai proses-proses pembaruan karena hal itu berisiko tinggi. Pada hal,
dengan tidak pernah mengambil prakarsa, kita juga harus menanggung risiko yang
mungkin lebih buruk di masa depan (seperti para pejabat ABS dan penjilat regim
Soeharto yang dipermalukan karena ikut menuntut turunnya Soeharto karena arus
reformasi).
Apabila kita mulai belajar merdeka (bebas dari dan bebas untuk), maka soal tanggung jawab atas masa depan kita (organisasi, baik bisnis maupun nonbisnis, sampai bangsa-negara) tidak boleh lagi kita lemparkan kepada pihak lain di luar "diri" kita, tidak juga kepada para pejabat dan "pemimpin". Kita harus terlibat, melibatkan diri dan minta dilibatkan untuk memainkan sejumlah peranan sesuai dengan kapasitas (bakat, potensi, talenta) yang kita miliki.
Bukan karena kita
merasa hebat dan serba bisa, tetapi lebih karena kita mau menerima tanggung
jawab. Masa depan sebuah organisasi dan masyarakat merupakan urusan semua
konstituennya, baik internal maupun eksternal, dan bukan hanya urusan para
pemangku jabatan.
Dalam konteks
organisasi bisnis atau perusahaan, maka prakarsa staf dan pegawai sangat
penting dalam menunjang keberhasilan mereka yang duduk di posisi manajerial dan
kepemimpinan. Celakanya, sebagian besar manajer dan eksekutif perusahaan sangat
kurang menghargai staf dan pegawai mereka, terutama ide-ide yang diusulkan dari
bawah. Apresiasi terhadap ide-ide, usul-usul, dan inisiatif dari bawah masih
lebih merupakan basa-basi, slogan-slogan kosong, dan pidato-pidato hafalan yang
tidak dipahami dan dihayati secara mendalam.
Staf dan bawahan
yang banyak ide, banyak inisiatif, acapkali dikatakan "cerewet",
"banyak omong", dan "kurang kerjaan". Intinya, staf dan
bawahan memang masih sangat kurang dihargai, termasuk prakarsa dan ide-ide
mereka, oleh sebagian besar manajer dan eksekutif yang bermental feodal, merasa
paling tahu, paling berpengalaman, paling pintar, dan sebagainya. Kebiasaan
"memerintah" agaknya memang budaya nasional yang kita warisi sejak
lama, juga dalam perusahaan.
Staf dan bawahan
yang kurang suka mengambil prakarsa sebenarnya dipengaruhi oleh budaya
masyarakat secara umum, khususnya budaya yang ada di sekitar tempat ia
dibesarkan. Budaya itu antara lain tercermin alam pepatah, peribahasa,
kata-kata bijak yang dianggap baik. Kita tahu bahwa dalam masyarakat ada banyak
pepatah dan peribahasa yang memang kurang mendukung lahirnya kaum muda "idealis",
yang penuh ide dan suka memprakarsai hal-hal baru. Kebanyakan orang lebih
senang menjadi "pragmatis", pengekor, ikut arus, menjauhi
"risiko", dan bahkan apatis (cuek bebek).
Mari kita ambil
sejumlah contoh. Pertama, diam itu emas. Ini diartikan kalau ada
apa-apa, diam saja. Ada
yang korupsi-kolusi-nepotisme, diam saja. Ada
yang salah, diam saja. Ada
apapun lebih baik diam. Kedua, tidak ada kabar berarti kabar baik. Ini
tercermin kalau kita mengamati kecenderung anak-anak muda yang menuntut ilmu di
perantauan, di Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, dan Malang, misalnya. Kalau mereka berkirim kabar
dengan orangtuanya, biasanya hanya dalam rangka minta uang kiriman ditambah
atau dipercepat pengirimannya. Kalau lagi punya uang, orangtua di kampung tak
pernah diberi kabar. Jadi, orangtua yang menerima surat lama kelamaan hafal isi surat itu sebelum
membukanya.
Ketiga, lebih
baik hati-hati daripada nanti salah. Nah, karena berusaha untuk selalu
hati-hati (ingin menjadi "lebih baik"), maka tak pernah ada prakarsa
untuk bertindak. Keempat, pikirkan matang-matang sebelum bicara. Dan
lain sebagainya.
Dengan
mempertimbangkan aspek budaya tersebut, maka bila dalam upaya membangun budaya
organisasi yang lebih kondusif bagi pemekaran ide-ide pemicu proses inovasi dan
proaktivitas, para manajer dan pejabat perusahaan harus mengganti peribahasa
dan pepatah yang sering mereka gunakan dengan pesan-pesan atau nasehat yang
mendorong lahirnya ide-ide kreatif.
Misalnya, harus
sering ditegaskan bahwa lebih baik melakukan kesalahan daripada tidak pernah
berbuat apa-apa. Atau, langkah seribu mil dimulai dengan langkah pertama.
Atau diam adalah emas,tapi bicara bisa berarti berlian. Dan hanya
orang yang menabur benih akan menuai hasil. Semua contoh terakhir ini
mendorong keberanian berinisiatif, mengambil prakarsa, mencoba
bereksperimentasi. Inilah yang memungkinkan perusahaan menjadi inovatif.
Tentu saja harus
kita akui bahwa dalam kenyataannya mempraktekkan hal tadi tidaklah mudah. Ada
banyak ide, usulan, inisiatif/prakarsa yang diambil oleh staf dan bawahan
ternyata tidak brilian, tapi "sampah". Diperlukan sistem seleksi ide
atau prakarsa, agar dapat menyaring ide-ide yang bermutu dan yang tidak
bermutu. Satu prakarsa atau ide yang brilian mungkin baru muncul setelah seribu
ide disaring dengan ketat.
Masalahnya, kita
tidak pernah tahu mana ide yang brilian dan mana yang tak bermutu, kalau
ide-ide yang muncul dari staf dan bawahan telah dibunuh sebelum dilahirkan.
Artinya, kalau staf dan bawahan cenderung pasif dan bahkan apatis karena ide-ide
mereka selalu dilecehkan, maka boleh jadi kita telah memperkecil peluang untuk
menjadi perusahaan yang inovatif, yang mampu bersaing di era global.
Perlu diingat
bahwa kata initiative yang kita terjemahkan menjadi inisiatif atau
prakarsa, berasal dari kata Latin initiare yang artinya to begin,
memulai. Dan sebuah proses inovasi selalu dimulai dari mana kalau bukan
dari ide? Di era knowledge worker, aset perusahaan yang paling berharga
boleh jadi adalah ide-ide itu. Jadi, budaya untuk mendorong staf dan bawahan
memiliki banyak ide adalah budaya yang memperbesar kemungkinan perusahaan
menjadi inovatif, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar