Paradigme Baru Arkeologi
Pengantar
Sambil memperingati "hari
arkeologi", izinkanlah saya menyampaikan ulasan tentang perkembangan
arkeologi dengan fokus pada perkembangan teorinya. Ditinjau dari sudut ini,
maka ulasan itu dapat dilakukan melalui DUA perspektif, yaitu ke dalam dan ke
luar. Ke dalam berarti melihat perkembangan ilmu itu sendiri dan ke luar
meninjau social relevancenya. Pariwisata Arah yang kedua ini perlu dilakukan
mengingat bahwa arkeologi dewasa ini secara kelembagaan telah dikaitkan dengan.
Salah satu beloved melihat arkeologi
secara internal adalah dengan melakukan evaluasi terhadapnya untuk ini, apabila
kita mengikuti Kuhn paradigm, maka dalam sejarah perkembangan arkeologi telah
terjadi beberapa kali perubahan. Perubahan itu dilakukan oleh adorns ahli
arkeologi dalam upaya mereka mengukuhkan kedudukan arkeologi sebagai ilmu yang
sederajat dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Upaya pertama ke arah ini dilakukan oleh Binford
pada tahun 1960 an, dengan memperkenalkan arkeologi baru yang mendasarkan
epistemologinya pada filsafat positivisme dari Hempel, dan metodologinya pada
aliran unified science, dan ontologinya pada artifak menjadi archaeological
records. Dalam memperkenalkan pembaruan ini, Binford tidak menyebutkannya
sebagai perubahan paradigm. Selanjutnya, terhadap arkeologi baru ini kemudian
pada tahun 1980 an, timbul reaksi. Tilley menyebut apa yang terjadi of awal
tahun 1980 ini sebagai perubahan paradigm dalam arkeologi yang mengubah
pandangan terhadap kebudayaan materi yang dilihatnya dari sudut pandang aliran
strukturalisme. Menurut pendapatnya, perubahan itu ditandai dengan
diterbitkannya buku Symbolic and Struktural Archaeology oleh Ian Hodder.
Adapun
apa yang saya maksudkan dengan paradigm baru dalam ceramah ini adalah secara ontologis
memperlakukan peninggalan arkeologi sebagai kebudayaan materi. Dalam sebuah
materi konferensi yang khusus diadakan untuk membicarakan kebudayaan, salah
satu kesepakatan yang dicapai adalah menerima kenyataan bahwa kebudayaan materi
yan diciptakan manusia kapan dan of mana pun pada hakekatnya merupakan peneliti
representasi yang paling dapat dipercaya yang dapat diperoleh tentang nilai dan
makna yang ada dalam masyarakat. Sementara
itu, dari penelusuran pustaka yang ada, dapat diketahui pula bahwa kajian
terhadap kebudayaan materi pun dapat mencairkan batas-batas disiplin ilmu. Atas
dasar inilah maka saya beranggapan bahwa telah tiba waktunya bagi kita untuk
mulai mempertimbangkan perubahan kita paradigm penelitian maupun pengajaran
arkeologi. Ditinjau dari sudut teori, penelitian sejumlah bidang ilmu sekarang
ini dimulai dengan membedakan DUA wilayah kebudayaan materi, yaitu kebudayaan
materi yang diperlakukan sebagai teks dan kebudayaan materi sebagai kebudayaan
materi. Dalam konteks arkeologi, maka kajian terhadap kebudayaan materi itu
diterapkan dalam kaitannya dengan upaya pengungkapan masa lampau.
Peninjauan ke luar.
Kita Apa yang terjadi sekarang ini dengan
sendirinya merupakan kenyataan yang sangat pahit bagi. Namun demikian, menurut
hemat saya, tidak ada gunanya bagi kita apabila kita hanya meratapi nasib atau
menyalahkan orang lain. Apa yang perlu kita lakukan sekali lagi adalah mengubah
materi paradigm, dari berpikir artifaktual atau temuan ke kebudayaan.
Kenyataan lain adalah bahwa jurusan
arkeologi dewasa ini memiliki DUA program studies, yaitu Program Studies
Sarjana dan Program Pascasarjana Studies. Keadaan yang demikian ini dengan
sendirinya menimbulkan permasalahan bagi Jurusan Arkeologi. Permasalahan yang
saya maksudkan itu adalah kemahiran apa yang akan diberikan kepada adorns
lulusan sarjana Program dan kemampuan apa yang seyogyanya dimiliki oleh lulusan
Program Pascasarjana. Untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan ini perlu
kiranya ditelaah terlebih dahulu kemampuan apa sesungguhnya yang perlu dimiliki
seorang ahli arkeologi. Untuk ini Lester Embree, telah membedakan tiga
jenis arkeologi:
1.
arkeologi sebagai craft, mencakup seluruh teknik penemuan kembali, pengenalan dan perekaman
materi arkeologi. Kesemuanya ini meliputi survey, ekskavasi, dan saw it bentuk
teknik analisis of laboratorium fisika.
2.
Arkeologi sebagai salah
satu bagian ilmu pengetahuan budaya. Dalam Hal
ini Embree tidak menganut faham yang memperlakukan arkeologi sebagai arkeologi,
dan bukan arkeologi sebagai bagian atau salah satu spesialisasi sebuah
disiplin.
3.
Teori arkeologi. Walaupun ia tidak setuju dengan istilah ini, ia mengartikannya sebagai
penalaran arkeologi yang abstrak, yang membedakannya dengan bulir (1). Kita
Oleh karena menganut ilmu arkeologi sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri,
maka kita dapat mengabaikan bulir kedua, sehingga ahli arkeologi yang dapat
dihasilkan oleh Jurusan Arkeologi adalah pertama orang yang dapat melakukan
pekerjaan arkeologi sebagai craft dan orang yang mampu berpikir secara
arkeologi secara abstrak dan teoretis. Guna mempermudah pembicaraan, maka
kemampuan yang pertama adalah kemahiran yang perlu dimiliki oleh lulusan
Program Sarjana, sedangkan kemampuan yang kedua untuk lulusan Program
Pascasarjana.
Mengingat bahwa hampir semua peserta
Program Pascasarjana adalah mereka yang telah bekerja, maka dalam pembicaraan
ini masalah mereka tidak perlu saya kemukakan of sini. Masalah yang memerlukan
pemikiran yang lebih serius adalah masalah lulusan Program Sarjana, oleh karena
mereka itu dewasa ini menghadapi is situated yang berbeda dari adorns lulusan
sebelumnya. Of Indonesia,
kewenangan untuk melakukan dana ekskavasi dan ketersediaan untuk itu hanyalah
milik Pusat Penelitian Arkeologi (Puslit). Hal ini berakibat bahwa ahli arkeologi
yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melakukan ekskavasi pun hanyalah
ahli arkeologi yang terkait dengan Puslit. Sementara itu kebijakan pemerintah
of bidang kepegawaian adalah "zero growth", dalam limbs bahwa tidak
akan ada lagi ahli arkeologi/sarjana arkeologi yang dapat bekerja of Puslit.
Sebagai akibatnya maka adorns lulusan itu tidak lagi ada yang memiliki
kewenangan untuk melakukan ekskavasi. Dengan lain perkataan, adorns lulusan
Jurusan Arkeologi Program Sarjana tidak lagi dapat mengembangkan kariernya
secara profesional sebagai ahli arkeologi of bidang arkeologi.
Perubahan
Paradigma
Perubahan
paradigm dalam arkeologi ini, walaupun secara sepintas terlihat hanya berkenaan
dengan pengembangan ilmu saja, namun sebagaimana yang akan ditunjukkan kemudian
of bawah, akan berdampak pula pada upaya pedagogiknya. Dengan mengikuti Kuhn
paradigm maka perubahan yang terjadi pada tataran ontologis adalah perubahan
dari kajian terhadap archaeological records menjadi kajian terhadap kebudayaan
materi, pada tataran epistemologi dari penalaran yang berorientasi ke
positivisme ke konstruktivisme, dan pada tataran metodologis dari
pendekatan-pendekatan fungsional yang teori berorientasi ke sistem ke is
interpreted yang bertujuan untuk mengungkapkan sistem simbolik dan ideologik
serta sistem makna. Dalam mana paradigm baru ini kebudayaan materi diperlakukan
sebagai sebuah sistem atribut fisik eksternal artefak dan hubungan antar
atribut itu dianggap sebagai memiliki makna, apakah itu makna simbolik maupun
makna sosial. Setelah kajian terhadap kebudayaan materi mencapai kemantapan
dalam analisis sosiologi dan antropologi serta dapat merupakan sebuah alat yang
penting, maka arkeologi pun perlu mengupayakan lebih lanjut membangun sebuah
teori yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan is interpreted
terhadap kebudayaan materi.
Kesulitan
yang langsung dihadapi dalam menerapkan paradigm baru ini adalah dalam
menentukan kategori kebudayaan materi. Kesulitan ini timbul karena cakupan pengertiannya yang luas dan
berlain-lainan. Pada dasarnya kebudayaan materi dapat dibedakan ke dalam
kebudayaan materi yang mencakup dari pengertian sebagai teks tertulis,
kebudayaan materi yang meliputi kematian, drama, serta ritual, sampai ke
pengertian kebudayaan materi sebagaimana yang terwujud ke perilaku seperti
misalnya shopping atau ke pembangunan lapangan terbang, jalan dan pembuatan
pesawat terbang. Pengategorisasian kebudayaan materi ini pada gilirannya
memiliki mana konsekuensi teoretisnya dalam limbs menentukan ke arah teoretis
teori itu harus ditujukan. Hal ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa tiap
kategori kebudayaan materi itu memiliki arah teoretis masing-masing yang
berbeda antara kategori yang satu dengan yang lain. Hal ini dapat terlihat dari
perbandingan terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh Lemonier yang ditujukan
untuk membangun teori yang komprehensif tentang perilaku teknologi, yang
berlainan dengan upaya Tilley yang memperlakukan kebudayaan materi sebagai
teks.
Dalam menerapkan is interpreted, of samping
harus memperhatikan arah teoretis yang berbeda, harus pula diperhitungkan bahwa
kebudayaan materi juga dibedakan berdasarkan konteksnya. Dengan demikian maka
dalam menerapkan is interpreted terhadap kebudayaan materi haruslah senantiasa
menempatkannya terlebih dahulu dalam hubungannya dengan konteks sesuai dengan
keadaannya pada waktu diciptakan, dipergunakan, dibuang, dan dimanfaatkan
kembali. Penerapan interprets kontekstual ini pun perlu membedakan
karakteristik umum dari analogi-analogi tipe-tipe materi kebudayaan yang
berbeda-beda.
Ontologi
Kajian terhadap kebudayaan materi mencakup
pengkaitan antara artifak yang bisu yang dianalisis berdasarkan atribut,
frekuensi, asosiasi dan distribusinya of satu fihak, dengan kegiatan insane
yang berhubungan dengan pemilihan bahan baku, proses pembuatan, design, dan
pembuatannya dan penggunaan yang berkenaan dengan, fungsi dan efektivitas
kegunaannya. Karakteristik obyek biasanya dapat ditentukan dengan rinci dan
akurat. Apa yang sulit adalah menentukan karakterisitk aktivitas manusia karena
bersifat subyektif dan berpendekatan kualitatif. Tambahan pula karakteristik
itu juga berbeda dari satu disiplin ilmu dengan lainnya.
Sebagaimana telah disinggung of atas,
istilah kebudayaan materi merupakan istilah yang memiliki DUA unsur, yaitu
materi dan kebudayaan. Sesungguhnya kedua unsur itu saling bertentangan satu
dengan lainnya. Kata materi mengandung pengertian dasar dan bind-binds yang
bersifat pragmatis. Kebudayaan of lain fihak berhubungan dengan Hal-Hal
yang abstrak, intelektual. Kedua
perbedaan itu pada gilirannya menimbulkan pula perbedaan fokus penelitian. Ada
yang memusatkan perhatian lebih pada materi, namun ada pula yang pada
kebudayaan. Mereka yang lebih tertarik pada materi cenderung untuk mempermasalahkan
persoalan-persoalan of bidang science dan teknologi, dan dalam kaitannya dengan
aspek sosial: pada peristiwa dan tindakan. Of lain fihak, yang berminat pada
kebudayaan lebih pada ilmu sosial dan ilmu pengetahuan budaya. Mereka berupaya
untuk mengungkapkan aspek dari kebudayaan materi yang tersembunyi seperti
misalnya kepercayaan melalui strukturnya, apa yang ditolak dan apa yang ada.
Ahli kebudayaan materi yang menganut
pendekatan materialistik memusatkan perhatian pada realitas dari obyek itu sendiri,
materialnya, konfigurasinya, artikulasinya, sampai pada jenjang molekuler dalam
limbs tekstur dan warna, untuk kemudian memasuki tahap abstraksi berupa is
inquired tentang obyek itu sendiridalam bentuk kata-kata maupun angka-angka.
Ahli kebudayaan materi yang berorientasi ke kebudayaan, membaca kebudayaan
materi sebagai bagian dari bahasa melalui apa kebudayaan merealisaskan idenya.
Apa yang dipermasalahkan adalah mengungkapkan budaya yang ada of balik
permukaan obyek
Kebudayaan materi sebagai teks/bahasa
Sesungguhnya, penganalogian kebudayaan
materi dengan teks telah berlangsung blade, karena telah dapat ditelusuri
kembali bahwa kesadaran akan kebudayaan materi itu senantiasa diciptakan secara
khusus sebagai ekspresi yang konkret dan juga merupakan perwujudan dari pikiran
dan ide manusia telah dikemukakan oleh Gordon Childe.
Sebagaimana telah dikemukakan of atas,
kebudayaan materi yang diciptakan dengan tujuan tertentu secara teoretis telah
dapat dianalogikan dengan bahasa, yang merupakan sebuah sistem tanda yang
terstruktur. Pandangan terhadap kebudayaan materi yang demikian ini jelas
berbeda dari pandangan yang menganggap kebudayaan materi sebagai endapan dari
aktivitas praktis. Pembedaan inilah yang mendasari pemisahan antara kebudayaan
materi sebagai teks tertulis dari kebudayaan materi sebagai kebudayaan materi.
Sebagaimana halnya dengan bahasa yang diwujudkan dalam teks, maka kebudayaan
merupakan bentuk materi dari teks tertulis. Dalam konteks arkeologi, baik teks
maupun kebudayaan materi itu merupakan is known bisu, dan dengan demikian
memerlukan is interpreted agar dapat diungkapkan maknanya.
Kebudayaan materi sebagai sistem
representasi
Of atas dikatakan bahwa bahasa merupakan
sebuah sistem tanda yang terstruktur. Nyata Contoh yang paling daripadanya
adalah teks tertulis. Namun demikian, contoh ini dapat lebih diperluas ke arah
tanda-tanda itu sendiri yang dapat pula diperlakukan sebagai ikon, ideks atau
simbol. Namun demikian perlu diingat bahwa hubungan antara kebudayaan materi
dengan maknanya dapat bersifat non-arbitrer, seperti halnya dalam ikon dan
indeks, tetapi juga arbitrer sebagaimana halnya dengan simbol. Of samping itu
dapat pula terjadi bahwa tanda dapat dipandang sebagai ikon tetapi sekaligus
juga simbol. Makna yang terkandung dalam tanda-tanda itu antara lain dapat
diungkapkan melalui kajian terhadap implementasinya Sebagai contoh dapat
dikemukakan misalnya, dari lencana, pakaian seragam profesi tertentu, lampu
lalu lintas, asap yang berfungsi sebagai sinyal, sampai pada simbol Kristus
pada kayu salib.
Oleh karena kategori-kategori ini
memasukkan teks tertulis ke dalamnya, maka dapat diharapkan bahwa makna
berdasarkan kategori ini dapat dianalogikan dengan dan ditata sesuai dengan
beloved-beloved yang berlaku dalam bahasa. Kata-kata sebagaimana Dengan
demikian maka halnya dengan dalam bahasa, simbol-simbol materi, of luar konteks
sejarah, juga bersifat arbitrer. Sebagai contoh, bendera pola bagaimana pola
bendera yang pun dapat dipergunakan selama itu berlainan dengan lain serta pengakuannya
terhadap identitasnya sendiri. Bendera Atas dasar itu maka sistem makna dalam
Hal dibangun melalui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan dalam sebuah
kode semiotik. Miller telah menunjukkan bahwa pakaian diatur baik secara
sintagmatis maupun secara paradigmatis. Secara sintagmatis, pemilihan rats,
give themselves kemeja celana, sepatu, dst. yang akan dipakai untuk suatu acara
tertentu ditentukan oleh sebuah sintaks yang memungkinkan suatu perangkat
pakaian tertentu dapat dipakai sekaligus. Of fihak lain, pemilihan yang
didasarkan atas perbedaan jenis-jenis rats yang ada (anyaman, pici, baret atau
pet) atau jas membentuk pilihan paradigmatik.
Kebudayaan
Materi sebagai teks
Makna
kebudayaan materi, sebagaimana yang telah disinggung of atas, tidak selalu
bersifat arbitrer. Hal ini disebabkan oleh karena langue dari kebudayaan materi
sangat erat kaitannya dengan materi words kebudayaan dan dengan dunia nyata of
mana aktivitas kegiatan dilakukan. Sampai pada tahap tertentu makna kebudayaan
materi tidak selamanya harus diungkapkan melalui abstraksi kode-kode
linguistik, melainkan dapat juga melalui penggunaannya. Ditinjau dari sisi lain tindakan-tindakan terarah
dapat juga dibaca sebagai teks.
Walaupun
demikian dalam memperbandingkan of antara keduanya, perlu pula diperhatikan
adanya perbedaan yang dapat dikenali. Perbedaan itu adalah:
1.
Teks ditulis dalam hubungannya
dengan konteks sosial yang konkret, sehingga kata-katanya sendiri tetap
memiliki makna yang arbitrer. Sebaliknya, tanda kebudayaan materi merupakan
ikon atau indeks, atau maknanya dibata oleh konteks material atau sosial;
2.
Teks dibaca dalam urut-urutan yang
mendatar, dengan penataan huruf yang teratur sehingga mempermudah pemerolehan
pengertian. Of lain pihak, kebudayaan materi tidak ditemukan dalam keteraturan
yang demikian itu. Ditata Atas dasar itu maka kebudayaan materi perlu untuk dan
diatur terlebih dahulu, sebelum dapat dibaca.
3.
Teks hanya dapat dibaca dengan DUA
indra, yaitu penglihatan dan pendengaran. Of materi sisi lain kebudayaan dapat
dibaca pula dengan indra penciuman, peraba, dan perasa. Sebagai akibatnya maka
pembacaan kebudayaan materi lebih besar ketidak pastiannya dari pada teks. Atas
dasar itu, dalam konteks arkeologi, istilah proses masa lampau lebih tepat
dikatakan sebagai proses merasakan dan melihat masa lampau.
Kebudayaan Materi sebagai sistem simbol
Karya-karya penelitian mutakhir telah
mulai merasakan adanya keterbatasan analogi antara kebudayaan materi dengan
bahasa. Keterbatasan itu akan terlihat dalam pembahasan mengenai materi dari
limbs yang kedua kebudayaan, yaitu makna simboliknya. Orang dapat mulai
menjajagi keterbatasan analogi dengan memperhatikan kenyataan bahwa banyak
contoh yang menunjukkan bahwa kebudayaan materi itu pada dasarnya tidak
mengungkapkan Amakna @ apa pun. Dengan lain perkataan kebudayaan materi itu pada pertamanya tidak
diciptakan untuk memiliki fungsi simbolik.
Sebagian besar simbol materi tidak
tercipta menurut aturan representasi, sebagaimana halnya dengan bahasa yang
mempergunakan sintaks. Sebaliknya simbol materi itu terwujud dari pengalaman
praktis individu.dalam melalui evokasi. Tata Dengan sendirinya akan menjadi
sulit untuk mengungkapkan bahasa atau kamus tentang simbol materi. Akan menjadi
lain halnya apabila simbol materi itu dengan sengaja diciptakan sebagai
representasi. Dalam kasus lain simbol materi itu memang merupakan simbol
tertentu, seperti misalnya bendera atau rambu-rambu lalu lintas of perempatan.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar simbol-simbol materi tidak memiliki
limbs sebagaimana halnya pada bahasa. Atas dasar ini maka simbol-simbol itu
hanya dapat mengungkapkan makna abstraknya melalui asosiasi atau praksis.
Selama individu sebagai anggota masyarakat melaksanakan praksis bersama, simbol
materi dapat dianggap sebagai representasi evokasi mereka, dan dengan demikian
mengungkapkan makna yang disepakati bersama. Atas dasar konvensi itulah maka
simbol itu memiliki makna.
Tidak dapat dipungkiri akan pentingnya
material, namun untuk mengungkapkan maknanya diperlukan upaya yang lebih banyak
daripada membaca teks. Kata-kata tata Tata bahasa material berkaitan dengan
bahasa, namun jauh lebih rumit dari padanya. Sebagaimana telah
dikemukakan of atas, artifak, of samping fungsinya sebagai alat, juga merupakan
sinyal, tanda dan simbol. Oleh karena itu berfungsi ganda dan saling terkait.
Adapun maknanya sering kali berada of bawah sadar, dalam limbs bahwa orang
membuatnya tanpa dipikir dan berlangsung hampir secara otomatis. Atas dasar ini
maka material tidak hanya dibaca sebagi teks, tetapi kadang-kadang perlu pula
dibaca sebagai karya breasts seperti misalnya puisi.
Sebagai
akibat bahwa obyek kebudayaan materi itu mampu bertahan blade, memiliki
bekas-bekasnya sendiri, memiliki hakikatnya sendiri, maka setiap obyek dapat dikenali
evokasinya masing-masing. Kekhasan
sebuah pengalaman material dan makna tidak hanya berasal dari keaneka ragaman
pengalaman hidup insane melainkan juga dari pengidentifikasian obyek materi.
Perlu diingat bahwa pengalaman materi yang dapat dikenali itu senantiasa
memiliki kemungkinan, pada tataran praksis, untuk bertentangan dengan atau
bahkan mengubah konvensi yang telah diterima oleh masyarakat luas. Atas dasar
terjadinya proses dialektik antara struktur dengan praksis, dan karena obyek
materi mengandung banyak makna lokal, maka menjadi sulitlah untuk menyusun
kamus dan tata bahasa dari sebagian besar makna kebudayaan materi.
Kita Penjelasan lain mengapa kamus tentang
kebudayaan materi itu tidak dapat dibuat mengembalikan pada kesukaran untuk
menjelaskan simbolisme materi secara diskursif. Sering kali maknanya tetap
tersembunyi dan implisit.. Orang bisa saja mengetahui dalam kehidupan
sehari-hari bahwa binds ini atau pakaian itu terlihat bagus, berjalan dengan
lancar, atau trendi, namun orang akan menjadi kebingungan apabila harus
mengatakan apa makna kesemuanya itu, oleh karena semuanya itu memang tidak
bermakna apa-apa. Hal itu disebabkan oleh karena kesemua makna itu, termasuk of
dalamnya kelas, statuses, tujuan, estetika, tertanam dan ditaati dalam
kehidupan sehari-hari. Orang bisa saja tidak mengerti breasts, namun
mereka mengetahui apa yang mereka sukai. Dengan mempergunakan serangkaian
asosiasi sebagai dasar, kita dapat membangun sebuah implicit knowledge tentang
asosiasi-asosiasi itu dan dari evokasi-evokasi artifak atau gaya tertentu. Apa yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari
sebagai pengalaman praktis yang tentunya berbeda dari hasil pengamatan terhadap
aturan-aturan tentang dari representasi dan hasil pemikiran analitis.
Aspek material dari Kebudayaan Materi
Apabila of atas telah dibicarakan tentang
makna simbolis dari kebudayaan materi, maka selanjutnya akan diuraikan,
ditinjau dari sudut pandang materialistik, tentang makna sosial dari padanya.
Sepanjang sejarah arkeologi sebagai disiplin ilmu, kajian terhadap kebudayaan
materi sebagai kebudayaan materi, atau paling tidak materi observasi terhadap
obyek-obyek kebudayaan yang berbeda-beda ditujukan untuk mengungkapkan adanya
asosiasi yang berulang. Asosiasi itu selanjutnya diartikan pertama sebagai dari
refleksi aktivitas atau gerakan kelompok sosial atau masyarakat tertentu dalam
sebuah wilayah geografis. Kedua sebagai identitas-identitas fisik atau etnik.
Mata rantai operasional praktis sering
mempunyai implikasi yang tidak hanya berdampak pada tataran sosial melainkan
juga pada tataran moral. Sebagai contoh, Latour membicarakan tentang penutup
pintu hidrolik, sebuah alat yang dapat menutup pintu secara otomatis setelah
orang membukanya. Materi dalam bentuk penutup pintu otomatis itu menggantikan
kedudukan atau mengerjakan pekerjaan peran seorang penjaga pintu. Healthy
Penjaga pintu itu harus berdiri of dan bertugas untuk senantiasa menutup
kembali pintu setelah seseorang melewatinya. Namun demikian, penggantian
kedudukan penjaga pintu dengan pintu otomatis itu juga menimbulkan implikasi
yaitu bahwa anak-anak dan mereka yang tidak biasa dengan pintu itu akan
mengalami kesukaran untuk melewatinya. Pembedaan sosial secara tidak langsung
ditegakkan melalui penggunaan pintu ini. Sebuah contoh yang lain, Latour
juga mengungkapkan tentang kunci yang dipergunakan oleh penduduk Berlin. Bermata Kunci yang ganda ini memaksa penggunanya
untuk membuka dan mengunci kembali pintu itu. Kunci pintu itu yang demikian ini
ditujukan untuk menggantikan kedudukan seorang pekerja atau tanda yang
mengingatkan adorns staf untuk mengunci kembali pintu tersebut. Baik staf
maupun tanda rupa-rupanya tidaklah terlalu dapat diandalkan - mereka itu dapat
dipercaya atau diacukan. Kunci itu dengan demikian memperkuat kesopanan.
Demikian pula halnya dengan polisi tidur yang memaksa pengendara untuk bersikap
sopan dan memperlambat mobilnya of depan sekolah, walaupun perasaan sopan
semacam ini tidaklah dinyatakan secara sosial. Walaupun ditandai, tanda itu pun
tidaklah dapat diandalkan. Kesopanan itu diletakkan pada Hal-Hal yang
berkonsekuensi praktis dengan beloved memaksa pengendara yang melaju terlalu
cepat dalam melewati polisi tidur. Makna sosial maupun moral dari penutup
pintu, kunci Berlin atau "polisi tidur" sepenuhnya tertanam dalam
dari implikasi praktek material.
Epistemologi
Sebagaimana telah dikemukakan of atas,
inti permasalahan epistemologis arkeologi sebagai ilmu adalah bagaimana
menjadikan arkeologi itu memiliki ciri-ciri sebagai ilmu pengetahuan. Telah
pula dikemukakan bahwa guna mencapai tujuan ini Binford telah meminjam
metodologi science yang didasarkan atas filsafat positivisme.
Bagaimana Permasalahan lain adalah secara
epistemologis, peneliti dari masa sekarang dapat mengungkapkan kebudayaan dari
masa lampau. Mengata Untuk masalah ini maka ahli arkeologi mencoba menerapkan
filsafat dan sekaligus juga metode is interpreted atau hermeneutik. Penerapan
hermeneutik dalam arkeologi dapat memberikan verifikasi terhadap permasalahan
of atas. Hal ini disebabkan karena menurut metode ini, pertama kebudayaan
materi itu dalam keadaannya sekarang telah bersifat otonom, telah terlepas sama
sekali dari makna penciptanya yang pertama. Atas dasar itu maka kebudayaan
materi itu dapat diinterpretasikan menurut konteks sosial dan budaya ahli
arkeologi yang melakukan is interpreted terhadapnya. Landasan pemikirannya
adalah bahwa kebudayaan materi itu merupakan obyek yang bisu, yang tidak dengan
sendirinya mengungkapkan maknanya. Makna yang terkandung of dalamnya hanya
dapat diungkapkan apabila kebudayaan materi itu dibaca. Melalui proses membaca
inilah ahli arkeologi sekarang itu dapat memfusikan horisonnya dengan horison
kebudayaan materi yang dibacanya. Dalam bahasa Ricoeur, ahli arkeologi itu
dapat mengapropriasikan kebudayaan materi itu menjadi seolah-olah kebudayaannya
sendiri. Ahli arkeologi yang mengikuti filsafat ini adalah antara lain
Hodder.
Of
samping Hodder, Michael Shanks dan Christopher Tilley, mengikuti Michel
Foucoult dalam mengkaji hubungan power dan controls itself membangun knowledge.
Adapun Lion lebih cenderung untuk memilih aliran Frankfurt
(critical theory), sebagai landasan pengembangan teorinya. Masalah yang menarik
perhatiannya adalah masalah memusatkan masalah ideologi.
Teori
kebudayaan materi
Telah
disarankan bahwa untuk membangun teori tentang kebudayaan materi, langkah
pertama adalah membedakan paling sedikit perlu diperhatikan materi DUA
bagaimana beloved tentang kebudayaan itu dapat memiliki makna abstrak of luar
awal mula tujuan penciptaannya.
Tiga wilayah teori yang telah diterapkan
pada tipe pertama makna materi ini berasal dari is inquired teknologi,
Marxisme, dan strukturalisme. Pertama (teori teknologi), tujuannya adalah untuk
menerapkan beloved-beloved perlambangan materi yang dapat menghasilkan
keuntungan yang adaptif bagi kelompok-kelompok sosial. Atas dasar ini maka
pengembangan sistem perlambangan yang kompleks memungkinkan pemrosesan lebih
banyak is inquired secara lebih efisien. Pendekatan semacam ini memiliki
keterbatasan manfaat bagi penelitian kuantitatif karena tidak menyangkut is
interpreted dan pengalaman pemaknaan simbol-simbol.Kedua (Marxisme), komponen
ideologis simbol-simbol dapat dikenali dalam hubungannya dengan kekuasaan dan
controls (Lion, 1984; Miller & Tilley, 1984) serta selanjutnya kekuasaan
dan sistem-sistem nilai serta prestise dilihat sebagai jamak dan dialektik
(Miller, Rowlands, & Tilley, 1989; Shanks & Tilley, 1987) Ketiga
strukturalisme. Pola Tujuan dari analisis struktural adalah meneliti (Washburn,
1983) atau perbandingan spasial (Glassie, 1975; McGhee, 1977) dalam hubungannya
dengan kode yang melandasinya, walaupun of sini pun kecenderungannya adalah
menekankan kemajemukan makna untuk kemudian dipertentangkan dengan konteks
sosial yang aktif sebagaimana yang telah diperdebatkan dalam berbagai arah
pemikiran pascastruktural (Tilley, 1990). Dalam sebagian besar dari karya ini
metafor bahasa telah diterapkan terhadap kebudayaan materi nyaris tanpa
permasalahan. Periuk sebagai istilah muncul pengertiannya sebagai binds periuk.
Metodologi Pendekatan idealistik
Dari uraian of atas terlihat bahwa makna kebudayaan materi dapat dialami dan dibaca orang. Bagaimana Masih banyak yang dapat disampaikan berkenaan dengan kebudayaan materi bekerja dalam konteks sosial. Sebagai contoh, beberapa kebudayaan materi bekerja melalui metafor dan secara eksplisit, of mana persamaan-persamaan bentuk mengacu pada anteseden historis, sedangkan kebudayaan materi yang lain melalui beloved yang ambiguous dan abstrak, dengan beloved mempergunakan sudut pandang atau efek dramatik, melalui pengendalian pendekatan pengkaji, dan melalui pengendalian perspektif.
Pengertian metafor mengandung dan
mengekspresikan is inquired tentang bagaimana perasaan individu sebagai anggota
pendukung sebuah kebudayaan tentang hubungannya dengan orang lain, dengan
material, dan tentang identitas dirinya. Selanjutnya bedasarkan ranahnya,
metafor dapat dibedakan ke dalam pertama metafor struktural mengekspresikan
persamaan dengan pengalaman dalam dunia nyata. Sebagai contoh, seorang pesuruh
yang sedang menerima telepon dari kepalanya berbicara of telepon itu dengan
membungkuk-bungkuk, seolah-olah ia benar-benar secara fisik berbicara of depan
kepalanya itu. Metafor tekstual mengekspresikan persamaan dengan pengalaman
dalam dunia perasaan. Dalam hubungan ini masalahnya adalah apakah sesuatu
artifak itu dapat diolah menjadi sebuah bukti kultural atau tidak. Apa yang
dapat dijawab terhadap masalah ini adalah bahwa kemungkinan itu besar dan
caranya adalah dengan mencari hubungan antara obyek dengan satu atau lebih
pengalaman universal manusia. Pola hubungan itu dapat bersifat formal,
ikonografik, atau fungsional. Adapun pengalaman universal manusia itu,
sebagaimana yang telah dikemukakan of atas, adalah keterkaitannya dengan dunia
fisik, interaksi dengan individu lain, identitas diri, emosi-emosi umum, atau
pengalaman hidup yang berkesan.
Analisis kebudayaan materi atas dasar
metafor langsung mengacu pada obyeknya atau sebagian dari padanya.Dalam kajian
semiotik, metafor dapat dikenali sebagai tanda yang berada of antara
sinyal-sinyal yang memberi arah bagi tindakan manusia, seperti misalnya lampu
lalu lintas. Of samping itu dapat pula dikenali sebagai simbol yang memiliki
makna atas dasar konvensi, karena merupakan ekspresi dari konsep, seperti
misalnya palang merah. Makna metafor hanya dapat dirasakan namun tidak mudah
untuk dikonseptualisasikan. Atas dasar itu maka dalam kebudayaan materi
ekspresi metaforik ini dibedakan ke dalam DUA jenjang. Jenjang pertama adalah
metaphor material. Dapat mengungkapkan makna dalam hubungannya dengan
kepercayaan. Pada jenjang kedua, ekspresi metaforik, seperti bahasa misalnya,
ditentukan oleh kebudayaan.
Sebagaimana yang telah diungkapkan of
muka, kebudayaan materi merupakan kebudayaan yang mampu bertahan blade. Makna
yang diberikan oleh pendukungnya dapat saja terlupakan karena kebudayaan itu
tetap berlangsung sedangkan pendukungnya sendiri telah meninggal. Dalam
perjalanan waktu makna yang diberikan kepada kebudayaan materi itu dapat saja
berubah dari masa yang satu ke masa berikutnya, ke berikutnya lagi dan
seterusnya. Keanekaan makna temporal ini sering kali dipengaruhi oleh perubahan
makna dalam lintasan ruang dan budaya. Setelah dilakukan penggalian, artifak
arkeologi senantiasa dibawa ke laboratorium sehingga terpisahkan dari
konteksnya. Dengan demikian maka pada waktu diinterpretasikan kembali, maka
artifak-artifak itu, telah kehilangan konteksnya namun memperoleh konteks
budaya dan sosial yang baru dari peneliti. Dengan demikian maka obyek
material senantiasa mendapat is interpreted baru dalam konteks yang baru pula.
Apa
yang terjadi dengan archaeological records, dapat pula terjadi dengan
kebudayaan materi. Kebudayaan materi itu dapat ditambah, dipindahkan dari
sisa-sisa penggunaannya kembali, atau diinterpretasikan kembali. Dalam beberapa
kasus, urut-urutan penggunaan dapat memberikan gambaran tentang proses
pemikiran seseorang, seperti misalnya proses pemecahan sebuah flake the dari
prehistori Cores dari jaman awal, kemudian disambungkan kembali oleh seorang
ahli arkeologi dari jaman ini (Pelegrin, 1990) guna dapat mengembalikan bentuk
flint Core dan selanjutnya mengikuti keputusan yang diambil oleh pembuat alat
terhadap flint Core itu dalam menciptakan alat-alat dan flakes. Dalam kesempatan
lain, yang menyangkut jangka waktu yang lebih blade, seperti yang terjadi pada
sebuah monumen seperti Stonehenge yang telah
dibangun kembali, dipergunakan kembali untuk maksud-maksud yang berbeda sejak
beribu tahun silam hingga sekarang (Chippendale, 1983). Dalam kasus-kasus yang
demikian itu penceritaan kembali berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan pada
artefak memunjukkan bentuk umum yang ditinggalkan oleh baik kelompok atau
pribadi, dan yang seringkali tidak lagi menyadari akan maksud atau makna
pengguna sebelumnya. Sedikit orang sekarang, walaupun memiliki pengetahuan
tentang upacara Natal, namun tidak lagi mengerti tantang alasan sejarah yang
melatar belakangi pemilihan pohon natal, Claus Saint, baju merahnya, dan
reindeer yang dapat terbang.
Perlu
kiranya diingat bahwa terdapat banyak penyebab yang memungkinkan binds material
berubah maknanya. Sebagai contoh, binds material yang mula-mula dibuat dengan
maksud atau evokasi metaphorik, namun dengan perjalanan waktu makna aslinya
menjadi terlupakan atau binds itu lalu menjadi klise. Sebuah artifak pada
mulanya dapat dibuat untuk menjadi fokus, namun kemudian hanya menjadi bingkai,
bagian dari latar belakang belaka. Sebuah komponen fungsional dapat berubah
menjadi sekedar dekorasi, seperti misalnya tungku pemanas yang dibangun dalam
rumah-rumah mewah of Indonesia.
Sebaliknya, dapat pula terjadi bahwa muatan makna dari sebuah artifak justru
dapat bertambah selama perjalanan waktu. Sebagai contoh dapat dikemukakan
misalnya batu akik yang kemudian dijadikan ajimat atau binds yang dikeramatkan.
It binds Material seringkali bersifat sentral dalam upaya kita menengok ke
belakang untuk mencari penemuan baru dari such tradisi of masa lalu,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Partai Fasis Italy yang menghidupkan kembali
lambang kekuasaan Romawi kuno berupa seikat guna melambangkan pemusatan
kekuasaan.
Uraian
singkat tentang dimensi temporal of atas menunjukkan betapa penting peranan
konteks dalam upaya untuk mengungkapkan makna kebudayaan materi. Telah menjadi
jelas kiranya dari contoh-contoh of atas, bahwa perubahan makna itu menyangkut
pertentangan hubungan antar kelompok. Makna masa lalu dan makna masa kini senantiasa dipertentangkan dan
direinterpretasikan sebagai bagian dari strategi politik dan sosial. Konflik
terhadap makna material itu perlu memperoleh perhatian khusus bagi adorns
peneliti kualitatif, atas dasar pertimbangan bahwa makna itu mencerminkan
pandangan atau perhatian alternatif. Penguburan kembali kerangka-kerangka
Indian Amerika dan penduduk asli Australia tidak saja mewujudkan sebuah issue,
melainkan juga merupakan kesadaran baru tentang adanya hak pribumi of Amerika
dan Australia. Bersamaan dengan upaya pembersihan etnis of Eropa, mengakibatkan
kemunculan upaya untuk melakukan is interpreted baru dari sudut pandang etnik
terhadap dokumen, monumen, dan artifak. Of sisi lain, kebudayaan materi dari
masa lampau dapat pula dipergunakan untuk membantu masyarakat terasing dalam
melaksanakan kegiatan sehari-harinya menjadi lebih mudah namun produktif. Salah
satu contoh tentang pemanfaatah masa lampau bagi masa kini adalah apa yang
telah ditunjukkan oleh hasil penelitian Ericson (1988) of daerah sekitar Danau
Titicaca di Peru. Pengetahuan yang telah diperoleh dari penelitian arkeologi
tentang lahan yang ditinggikan dipergunakan untuk dari merekonstruksi sistem
pertanian model sistem yang kuno, dengan mengikut sertakan penduduk asli demi
keuntungan mereka.
Aspek
lain dari kajian terhadap kebudayaan materi adalah adalah aparat analisisnya.
Makna bahasa hanya dapat diungkapkan atau dperoleh melalui pengolahannya dalam
praksis. Hal yang sama juga berlaku, sebagaimana kita sebagaimana yang telah
lihat unsur-unsur bahwa kebudayaan materi dapat ditempatkan atau dianggap dalam
kode halnya dengan bahasa. Kognitif psikologi pun menunjukkan bahwa pengetahuan
pada dasarnya dapat secara umum dibedakan ke dalam DUA tipe. Bechtel (1990),
misalnya, mengemukakan bahwa model dari dari kognisi yang didasarkan atas
aturan-aturan dengan sendirinya sesuai untuk diterapkan pada kegiatan yang
sangat berbeda pada dengan model yang berasal model ahli koneksionis. Apabila
mengenali kognisi yang pertama lebih sesuai untuk penyelesaian masalah, kognisi
yang kedua paling baik diterapkan pada tugas-tugas seperti pola-pola dan sebagai
alat kontrol. Terlihat sangat mungkin bahwa keterampilan yang melatar belakangi
praksis sosial, simbolik, dan makna moral yang diwujudkan dalam praksis itu
dapat menerapkan sistem kognisi yang berbeda daripada kognisi yang berdasarkan
aturan dan representasi.
Bloch
(1991) mengemukakan bahwa pengetahuan praktis pada dasarnya berbeda dari
pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan kebahasaan (linguistic knowledge)
dalam proses pengorganisasiannya dalam pikiran. Pengetahuan praktis dimasukkan
ke dalam is inquired tentang apa dan bagaimana menyesuaikan ranah tindakan
tertentu yang sangat dikontekstualisasikan. Sebagian besar pengetahuan praktis
tidak bersifat lineer dan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, dan yang
dibentuk melalui praksis yang berhubungan erat dengan kegiatan-kegiatan. Telah
dikemukakan bahwa walaupun dunia nyata itu mencakup juga makna sosial dan
simbolik yang tidak diatur oleh kode representasi (pengetahuan kebahasaan),
namun dunia nyata itu merupakan ranah tindakan yang diatur secara kontekstual
of mana emosi, nafsu, moral dan hubungan sosial berpengaruh pada jenjang secara
implisit pada keterampilan otomatis.
Barangkali
perlu kiranya ditekankan of sini bahwa kedua tipe simbolik materi - yang
bersifat representasi dan yang evokatif atau implikatif - seringkali bekerja
dalam hubungan tertutup satu dengan yang lain. Wanita Dengan demikian maka satu
hari set praksis dapat dikaitkan dengan laki-laki atau dengan bagian-bagian
rumah yang berbeda-beda atau dengan waktu yang berbeda-beda sepanjang, namun
dalam konteks sosial tertentu asosiasi-asosiasi ini dapat pula dibangun
aturan-aturan simbolik guna memisahkan dan mengeluarkan serta membentuk sebuah
skema representasi abstrak of mana mitologi dan kosmologi dapat memainkan
perannya (Yates, 1989). Skema yang demikian memiliki juga komponen ideologis
yang memberikan umpan balik tentang hambatan yang mungkin timbul bagi praksis.
Dengan demikian maka praksis, evokasi, dan representasi saling memasuki dan
saling mengisi dalam banyak Hal untuk tidak dikatakan pada semua sisi
kehidupan. Struktur dan praksis memiliki hubungan rekursif dalam proses materi
strukturasi kehidupan (Giddens, 1979; Bordieu, 1977).
Pendekatan
materialistik
Kebudayaan
materi merupakan kajian tentang material, berupa bahan baku atau yang telah diproses, yang diolah
sebagai akibat dari tindakan manusia sebagai ekspresi kebudayaan. Agar kajian
kebudayaan terhadap obyek materialnya sahih, maka datumnya haruslah otentik.
Agar is interpreted terhadap kebudayaan itu bermakna, maka pengetahuan tentang
artifak haruslah diperoleh sebanyak mungkin. Kebudayaan materi materialistik,
memusatkan perhatian pada obyek itu sendiri, materialnya, konfigurasi,
artikulasi, sampai pada sifat-sifat molekulernya seperti misalnya warna dan
teksturnya.
Apabila
pendekatan idealistik mencari makna yang terkandung dalam kebudayaan materi,
maka pendekatan materialistik mencari hubungan antara kebudayaan materi dengan
perilaku manusia yang pernah membuat, mempergunakan dan kemudian
membuangnya.Berbeda dari pendekatan idealistis yang mencari keunikan
kebudayaan, maka pendekatan materialistik beranggapan bahwa hubungan antara
kebudayaan materi dengan perilaku yang mengendapkannya itu bersifat universal.
Atas dasar materi asumsi ini maka sekelompok ahli arkeologi of Universitas Arizona telah mengadakan
eksperimen untuk melihat hubungan yang ada antara kebudayaan dengan pear trees
laku masyarakat yang meninggalkannya pada masa sekarang! Tujuan mereka adalah
apabila hubungan itu dapat diketahui, maka, oleh sifatnya yang dianggap
universal, maka pola hubungan itu dapat pula dikembangkan sebagai
"hukum" yang pada gilirannya dapat pula dipergunakan sebagai model
untuk mengkaji kebudayaan materi dari masa lampau. Dari pengalaman ini, mereka
kemudian mengembangkan permasalahan hakikat arkeologi itu: apakah date itu
harus diperoleh melalui ekskavasi. Demikian pula masalah apakah given arkeologi
itu harus berumur 50 tahun. Demikianlah lalu berkembang pengertian arkeologi
yang baru sebagai ilmu yang mengkaji materi interaksi antara kebudayaan dengan
perilaku manusia, tanpa harus dibata oleh waktu maupun ruang.
Apa
yang hendak diungkapkan melalui kajian ini adalah pertama, melalui observasi
terhadap tahap-tahap, penciptaan, penggunaan, dan mungkin juga pendaur
ulangannya menurut sistem kultural masa kini dapat diketahui pola bagaimana
kebudayaan materi itu didaya gunakan sampai dibuang. Tujuan kedua yang
didasarkan atas materi asumsi bahwa kebudayaan itu merupakan residu perlaku
manusia, maka yang hendak dicapai adalah mengungkapkan tentang hakikat residu
itu. Bagaimana Dengan demikian maka fokus utamanya adalah tentang proses
pembuangan residu itu terjadi, serta proses transformasi apa yang kemudian
berlangsung secara fisik of tempat pembuangannya. Melalui pengungkapan ini maka
diharapkan bahwa perilaku manusia yang mengendapkan residu itu dapat pula
diungkapkan. Namun demikian perlu ditekankan of sini, bahwa mereka ini sama
sekali tidak bermaksud untuk menggantikan kajian disiplin ilmu yang telah ada
dengan yang lain, melainkan hendak melengkapinya dengan metodologi penelitian
arkeologi yang berbeda. Metodologi yang dimaksudkan itu adalah sebuah beloved
mengungkapkan hubungan masyarakat sekarang dengan masyarakat masa lampau, yang
pada hakikatnya merupakan kekhasan perspektif arkeologi.
Hakikat
residu
Masalah
yang hendak diteliti adalah apakah melalui observasi terhadap perilaku manusia
masa kini melalui residunya, hubungan umum antara keduanya dapat diungkapkan
untuk dirumuskan sebagai hipotesis serta kemudian diuji secara lintas budaya,
sehingga akhirnya dapat diperlakukan sebagai hukum perilaku.
Michael B. Schiffer di Universitas Arizona di Tucson, dan oleh Richard To Gould Universitas Hawaii di Manoa. Baik Schiffer maupun Gould masing-masing telah melakukan penelitian dengan menerapkan pendekatan ini. Penelitian itu melibatkan mahasiswa yang melakukan penelitiannya of dalam dan of sekitar kampus serta of lingkungan masyarakat sekitar, guna melakukan materi observasi perilaku manusia dalam perspektif kebudayaan masa kini.
Michael B. Schiffer di Universitas Arizona di Tucson, dan oleh Richard To Gould Universitas Hawaii di Manoa. Baik Schiffer maupun Gould masing-masing telah melakukan penelitian dengan menerapkan pendekatan ini. Penelitian itu melibatkan mahasiswa yang melakukan penelitiannya of dalam dan of sekitar kampus serta of lingkungan masyarakat sekitar, guna melakukan materi observasi perilaku manusia dalam perspektif kebudayaan masa kini.
Wilk
dan Schiffer, guna mengungkapkan dan mengenali prinsip-prinsip umum dari
hubungan antara perilaku manusia dengan materialnya ini, maka Schiffer
mengirimkan mahasiswanya guna melakukan observasi terhadap perilaku mereka yang
berjalan of jalur jalan kaki dalam kampus dan bangunan-bangunannya serta
camping ground of luar kampus. Materi Setelah secara tajam membandingkan antara
KKL konvensional dengan yang mempergunakan pendekatan eksperimental
menyimpulkan bahwa kebudayaan masa kini memberikan berbagai keuntungan. Of
samping menawarkan kemudahan dan biaya yang lebih murah, manfaat yang lebih
besar terletak pada penekanannya pada pembelajaran tentang prinsip-prinsip
dasar arkeologi yang utama, yang pada gilirannya akan dapat nantinya diterapkan
it is situated apa pun.
Pendekatan Gould ini diarahkan untuk
mencari pada masyarakat sekarang hubungan antara perilaku manusia dengan
kebudayaan materinya. Adapun Gould mengerjakan penelitian dengan arah yang
hampir sama, namun dengan mempergunakan metode ethnoarkeologi. Ia mengirimkan
mahasiswanya untuk melakukan semacam ekspedisi terarah guna melakukan observasi
terhadap mobil yang diparkir of halaman parkir serta garasi mobil rongsokkan of
Honolulu.
Pendekatan
ruang
Penelitian
terhadap pendaya gunaan ruang masa kini oleh manusia yang masih hidup dapat
memberikan sumbangan bagi is interpreted terhadap archaeological records. Kita
Kajian itu juga dapat membantu untuk mengenali, mempertajam dan mengkaji kita
asumsi-asumsi sehingga memungkinkannya untuk mengembangkannya menjadi hipotesis
guna dapat diuji. Of bagaimana kita sisi lain penelitian semacam itu juga dapat
memberikan gambaran kepada tentang archaeological records itu terbentuk,
tentang bagaimana peninggalan itu terpolakan, dan apa makna pola itu. Kita Hal
yang demikian itu dapat membantu untuk memperoleh kategori untuk
diinterpretasikan sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik
Relevansi
Sosial
Sebagaimana
telah dikemukakan of atas, bagian kedua dari pembicaraan saya ini adalah
mengenai pandangan eksternal. Ditinjau dari sudut pandang ini, maka pertanyaan
yang dapat diajukan adalah apakah yang dapat disampaikan oleh penelitian
arkeologi bagi kepentingan masyarakat.
Relevansi
masa lampau untuk masa sekarang
Demi
material itu diekskavasi maka secara keseluruhan, pada hakekatnya material itu
telah menjadi bagian dari kebudayaan materi masa kini, bukan lagi hanya sekedar
given tentang masa lampau, atau hanya sebagai temuan ekskavasi. Sebagai
konsekuensinya maka material itu menjadi terbuka agar dapat dianalisis untuk
dapat diketahui tentang kebudayaan yang menciptakannya, dan tidak tentang masa
lampau belaka.
Tujuan
kajian kebudayaan materi masa kini adalah pertama, melalui penerapan
ethnoarkeologi, memperoleh pengertian tentang masa lampau secara lebih baik.
Semata-mata Kedua bukan hanya berkenaan dengan masa lampau, melainkan juga
melalui analisis terhadap obyek-obyek yang dibuat pada masa kini untuk
diketahui tentang apa yang dapat diungkapkannya tentang masa kini. Asumsinya
adalah bahwa kebudayaan materi dapat memberikan is inquired tentang sebuah
aspek kebudayaan yang tidak dapat diperoleh dari mereka yang membuat atau
mempergunakannya. Masyarakat sering kali tidak lagi menyadari tentang apa yang
mereka maksudkan pada waktu mereka membicarakan dirinya sendiri. Namun demikian
pemerolehan makna dapat ditembus melalui struktur dari perilaku masyarakat
dalam kehidupannya sehari-hari atau struktur artifak yang dapat dikenali. Pada
hakikatnya ilmu arkeologi memang mencakup seluruh aspek perilaku manusia dan kebudayaan
materi, kapan pun dan of mana pun keduanya terjadi.
Kita
kita Dalam kaitannya dengan masa lampau dapat dikatakan bahwa walaupun tidak
dapat menghidupkan kembali masa lampau namun pengetahuan tentangnya dapat
menjadi sangat penting untuk membangun identitas sebagai sebuah bangsa.
Kemungkinan ini, walaupun tidak dapat menambah pengetahuan kita tentang masa
lampau, namun dapat menghilangkan keragu-raguan kita sebagai ahli arkeologi.
Unsur keragu-raguan itu timbul sebagai akibat dari kekhawatiran adorns ahli
arkeologi untuk berbicara terlalu banyak tetapi keliru, yang pada gilirannya
menimbulkan sikap intelektual yang konservatif dan memberikan is interpreted
yang itu-itu juga. Unsur lain adalah bahwa ahli arkeologi takut untuk
menyampaikan sesuatu yang baru atau inovatif.
Salah
satu contoh dari keberanian untuk menyampaikan sesuatu yang baru dan inovatif
adalah penelitian yang dilakukan oleh Schiffer dan Gould yang menghasilkan
laporan penelitian yang menarik perhatian. Ternyata bahwa perilaku masyarakat
dapat materi direkonstruksi melalui kebudayaan yang dibuat, dipergunakan dan
kemudian dibuangnya. Contoh lain adalah Rahtje yang menunjukkan, bahwa dari
kajian terhadap kebudayaan materi semacam itu, dapat diketahui bahwa
sesungguhnya konsumsi alkohol masyarakat Amerika lebih besar daripada apa yang
dilaporkan secara formal dan tertulis. Penelitian ini menunjukkan bahwa kajian
terhadap kebudayaan materi dapat lebih mengungkapkan keadaan yang sebenarnya,
atau dapat mengungkapkan bahwa apa yang dikatakan orang dapat berbeda dari apa
yang diperbuatnya.
Kajian
Kebudayaan Materi dan Pendidikan Arkeologi
Pengalaman
of atas menyadarkan adorns ahli arkeologi bahwa masalah dan tantangan yang
dihadapi arkeologi sesungguhnya dapat dikaitkan dengan lingkungan material kita
sehari-hari. Kita Atas dasar itu dapat dibenarkan bahwa baik mengkaji
permasalahan arkeologis maupun mengajarkan dasar-dasar arkeologi of lingkungan
komunitas sendiri. Apabila Hal ini dilaksanakan, maka kuliah tentang topik yang
paling tidak menarik dan membosankan pun dapat diajarkan secara lebih mudah,
menarik dan dengan biaya yang murah.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan of sini apa yang telah dilakukan oleh Rahtje dan
koleganya. Sarjana Mereka telah dengan berhasil mengajarkan arkeologi of tingkat
dengan mempergunakan kebudayaan materi masa kini. Menurut pengalaman mereka,
kebudayaan materi dapat dimanfaatkan untuk mengenali dan menerapkan
prinsip-prinsip kebudayaan materi dan inferensi arkeologi seperti misalnya
seriasi, dan tipologi, serta mengenali adanya hubungan antara status sosial
dengan harta kekayaan yang dimiliki.
Apa
yang dimaksudkan dengan pengajaran arkeologi dalam kaitannya dengan kebudayaan
materi of sini khususnya adalah yang berkaitan Kuliah Kerja Lapangan (KKL).
Kita Sebagaimana maklumi bersama, bentuk KKL yang selama ini kita laksanakan
adalah dalam bentuk latihan ekskavasi. Dengan mengacu pada pengalaman Rahtje of
atas, maka telah pula tiba waktunya untuk kita juga mempertanyakan apakah upaya
untuk menanamkan pengertian akan prinsip-prinsip dasar ilmu arkeologi itu hanya
dapat diberikan melalui KKL dalam bentuk ekskavasi. Kita semua mengetahui bahwa
KKL dalam bentuk sebagaimana ekskavasi yang selama ini dilaksanakan, of samping
memerlukan biaya yang cukup tinggi juga memerlukan tata penyelenggaraan yang
cukup rumit. Biaya KKL yang sebagian harus ditanggung mahasiswa menciptakan
beban tambahan bagi adorns mahasiswa, sedangkan bagi penyelenggaraan sederhana
KKL juga merupakan tambahan pekerjaan yang tidak. Tambahan pula masih perlu
dipertanyakan lebih lanjut tentang, pertama apakah kemahiran yang diberikan itu
dapat dimanfaatkan oleh sarjana arkeologi yang baru lulus untuk dapat
memperoleh dan kemudian melakukan pekerjaannya of luar bidang arkeologi.
Sebagaimana Kedua apakah kemahiran itu hanya dapat diberikan melalui KKL yang
selama ini dilaksanakan.
Pada hakikatnya Departemen Arkeologi
Universitas Arizona telah menyadari dan kemudian mencari jalan keluar dari
permasalahan itu sejak tahun 1971. Mengata Guna Hal ini adorns ahli arkeologi
materi Universitas tersebut telah mengadakan eksperimen dengan menyelenggarakan
KKL yang berorientasi ke kebudayaan masa kini. Apa yang telah dicoba adalah
mengajarkan arkeologi melalui kebudayaan materi masa kini. Setelah mengadakan
beberapa eksperimen dan membandingkannya dengan KKL konvensional, maka mereka
berkesimpulan bahwa kebudayaan materi memberikan beberapa keuntungan. Of
samping biaya yang rendah dan kemudahan dalam penyelenggaraan, mahasiswa
mempelajari prinsip-prinsip umum arkeologi, yang kemudian dapat diterapkannya
dalam menghadapi it is situated apa pun. Sebagaimana Landasan berpikirnya
adalah yang telah diutarakan of atas, yaitu bahwa prinsip-prinsip umum
arkeologi dapat ditanamkan melalui kajian atas kebudayaan materi masa kini. Materi
Kedua bahwa melalui KKL yang mengaji kebudayaan melalui penerapan
prinsip-prinsip arkeologi yang paling mendasar itu pada gilirannya memungkinkan
adorns mahasiswa untuk menerapkannya untuk mengaji keadaan of luar arkeologi.
Hal ini berbeda apabila KKL itu diberikan melalui pelatihan membekali ekskavasi
yang mahasiswa dengan kemahiran yang hanya dapat diterapkan pada keadaan
arkeologis.
Pendekatan materialistik terhadap kebudayaan materi sebagaimana yang telah dicoba of Universitas Arizona itu menawarkan sebuah metode pengajaran KKL dalam bentuk lain yang lebih murah, mudah dan menarik bagi mahasiswa. Namun demikian perlu diingat of sina, bahwa pada hakikatnya KKL tradisional itu tidaklah keliru. Mungkin apa yang kurang tepat dibandingkan dengan tuntutan keadaan sekarang adalah kemahiran apa yang hendak dicapai dan bekal kemampuan apa yang hendak diberikan kepada mahasiswa agar mereka setelah menyelesaikan studinya menjadi siap untuk memasuki lapangan pekerjaan apa pun. Tambahan pula, ia memiliki kelebihan kemampuan yang tidak dimiliki oleh sarjana bidang ilmu pengetahuan lain, yaitu kemahirannya untuk membaca kebudayaan materi.
Pendekatan materialistik terhadap kebudayaan materi sebagaimana yang telah dicoba of Universitas Arizona itu menawarkan sebuah metode pengajaran KKL dalam bentuk lain yang lebih murah, mudah dan menarik bagi mahasiswa. Namun demikian perlu diingat of sina, bahwa pada hakikatnya KKL tradisional itu tidaklah keliru. Mungkin apa yang kurang tepat dibandingkan dengan tuntutan keadaan sekarang adalah kemahiran apa yang hendak dicapai dan bekal kemampuan apa yang hendak diberikan kepada mahasiswa agar mereka setelah menyelesaikan studinya menjadi siap untuk memasuki lapangan pekerjaan apa pun. Tambahan pula, ia memiliki kelebihan kemampuan yang tidak dimiliki oleh sarjana bidang ilmu pengetahuan lain, yaitu kemahirannya untuk membaca kebudayaan materi.
Menurut Rahtje, penelitian terhadap
kebudayaan materi masa kini dapat menyumbangkan empat Hal pada penelitian
maupun pendidikan arkeologi. Empat kontribusi itu adalah:
1.
Mengajarkan prinsip-prinsip
arkeologi. Dikatakan bahwa artifak modern memberikan baik pengajar maupun
mahasiswa arkeologi banyak kemudahan. Of samping itu, banyak penelitian,
termasuk of dalamnya Proyek Sampah, dimulai sebagai ladang pelatihan mahasiswa
atau diilhami oleh mereka. Materi Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa memberi
KKL terhadap kebudayaan masa kini juga kesempatan untuk mengembangkan
kreativitas mahasiswa.
2.
Menguji prinsip-prinsip arkeologi.
Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui pula bahwa kajian terhadap
artifak modern memainkan peran yang makin penting dalam pengembangan metodologi
arkeologi.
3.
Menyelamatkan ethnoarkeologi. Apa
yang dimaksudkan of sini dengan menyelamatkan ethnoarkeologi adalah merekam
arkeologi masa kini. Melalui kajian terhadap kebudayaan materi masa kini,
perekaman terhadap perilaku manusia dan kebudayaan materi dapat menyelamatkan
ethnoarkeologi.
4.
Menghubungkan masyarakat kita
sekarang dengan masyarakat masa lampau
Melalui kajian terhadap kebudayaan materi, pembandingan antar masyarakat yang beragam, baik secara sinkronis maupun diakronis dapat dikembangkan.
Melihat keadaan sekarang ini, of mana lulusan arkeologi tidak lagi dapat bekerja of lembaga-lembaga arkeologi, maka apa yang mereka perlukan sesungguhnya adalah penguasaan kemampuan dasar prinsip-prinsip umum metodologi arkeologi yang tidak hanya dapat diterapkan untuk penelitian arkeologi belaka, melainkan juga terhadap perilaku atau kebudayaan materi sebagai kebudayaan materi. Kemampuan itu dengan sendirinya dapat diterapkan pada of mana pun ia akan bekerja. Kita Apabila mempergunakan analogi lulusan sejarah, maka kelebihan mereka dibandingkan dengan sarjana lain adalah kemampuan mereka untuk berpikir historis, dalam limbs mengkaji saws it sesuatunya selalu dalam perspektif historis. Kemampuan yang demikian inilah yang diperlukan oleh lulusan Jurusan Arkeologi, yang memungkinkan mereka bekerja of bidang apa pun dengan berbekal ilmu arkeologi. Atas dasar ini maka ahli arkeologi dapat mengkaji saws it sesuatunya dalam perspektif arkeologi, dengan melatih adorns mahasiswa untuk menganalisis kebudayaan materi dan kemudian melakukan is interpreted terhadap nya, sehingga akhirnya dapat mengetahui makna yang tersembunyi of belakangnya. Dengan bekal kemampuan seperti ini maka adorns lulusan Jurusan Arkeologi akan lebih leluasa dalam mencari pekerjaan oleh karena tidak lagi terpaku pada kemampuan teknis kearkeologian (craft) yang lapangan pekerjaannya telah menjadi sedemikian sempit.
Melalui kajian terhadap kebudayaan materi, pembandingan antar masyarakat yang beragam, baik secara sinkronis maupun diakronis dapat dikembangkan.
Melihat keadaan sekarang ini, of mana lulusan arkeologi tidak lagi dapat bekerja of lembaga-lembaga arkeologi, maka apa yang mereka perlukan sesungguhnya adalah penguasaan kemampuan dasar prinsip-prinsip umum metodologi arkeologi yang tidak hanya dapat diterapkan untuk penelitian arkeologi belaka, melainkan juga terhadap perilaku atau kebudayaan materi sebagai kebudayaan materi. Kemampuan itu dengan sendirinya dapat diterapkan pada of mana pun ia akan bekerja. Kita Apabila mempergunakan analogi lulusan sejarah, maka kelebihan mereka dibandingkan dengan sarjana lain adalah kemampuan mereka untuk berpikir historis, dalam limbs mengkaji saws it sesuatunya selalu dalam perspektif historis. Kemampuan yang demikian inilah yang diperlukan oleh lulusan Jurusan Arkeologi, yang memungkinkan mereka bekerja of bidang apa pun dengan berbekal ilmu arkeologi. Atas dasar ini maka ahli arkeologi dapat mengkaji saws it sesuatunya dalam perspektif arkeologi, dengan melatih adorns mahasiswa untuk menganalisis kebudayaan materi dan kemudian melakukan is interpreted terhadap nya, sehingga akhirnya dapat mengetahui makna yang tersembunyi of belakangnya. Dengan bekal kemampuan seperti ini maka adorns lulusan Jurusan Arkeologi akan lebih leluasa dalam mencari pekerjaan oleh karena tidak lagi terpaku pada kemampuan teknis kearkeologian (craft) yang lapangan pekerjaannya telah menjadi sedemikian sempit.
Penutup
Sebagai
penutup dapat saya sampaikan beberapa Hal. Pertama dengan mengubah paradigm,
penelitian arkeologi dapat menjadi lebih jelas, baik ditinjau dari sudut obyek
maupun tujuan, yaitu kebudayaan. Namun demikian terlihat pula bahwa perubahan
itu ada yang hanya sampai pada tataran epistemologi, dalam teori limbs bahwa
apa yang dipermasalahkan hanyalah masalah verifikasi kemungkinan penerpan itu
dalam arkeologi, dan belum sampai pada masalah metodologinya. Telah terlihat
pula bahwa perkembangan arkeologi itu tidak diimbangi dengan publikasi yang
berkenaan dengan masalah pendidikan ahli arkeologi. Dalam kaitan dengan keadaan
Indonesia,
masalah yang dihadapi adalah bahwa of samping terjadi perubahan sistem
pendidikan, juga perubahan yang terjadi pada kebijakan kepegawaian. Dengan
sendirinya perubahan paradigm itu pun perlu pula menyangkut perubahan of bidang
pendidikan. Of atas telah ditunjukkan bahwa KKL is oriented ke kajian
kebudayaan materi dapat menawarkan pelaksanaan secara lebih mudah, sederhana, manarik
dan murah. Hal ini disebabkan oleh perubahan pandangan bahwa prinsip-prinsip
dasar arkeologi dapat diajarkan melalui kebudayaan materi masa kini. Landasan
berpikir yang diterapkan adalah bahwa baik perlaku maupun residu yang
ditinggalkannya kedua-duanya dapat diamati dan diungkapkan maknanya, yaitu
melalui metodologi arkeologi. Atas dasar itu pulalah maka metodologi arkeologi
dapat diajarkan melalui kajian kebudayaan materi masa kini.
Hal
lain yang dapat dijadikan perhatian tetapi perlu memperoleh tekanan dalam
kaitan dengan perubahan paradigm itu adalah masalah kontribusi arkeologi bagi
masyarakat. Dalam kaitan dengan
Indonesia, masalah ini pun perlu secara serius menjadi perhatian kita semua.
Pariwisata Tambahan pula dewasa ini masalah kebudayaan telah dipersempit
cakupannya dalam hanya masalah. Secara sepintas, of atas telah ditunjukkan
bahwa dengan perubahan paradigm ini, arkeologi paling tidak dapat mengembangkan
atau mengenali identitas bangsa. Tentunya untuk masalah ini perlu kiranya
diadakan evaluasi yang lebih mendalam.
Jakarta, 12
Juni 2003Noerhadi Magetsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar