Pengertian Aqidah, Iman
dan Dalil-dalilnya
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk
keduanya dari Allah. Sedangkan makna
iman itu sendiri adalah pembenaran yang
bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul
dari adanya dalil/bukti. Bersifat
pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan
sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar
adanya dan sesuai dengan fakta, bukan
diada-adakan (mis. keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll).
Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil
tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti
.
Suatu dalil untuk masalah iman, ada
kalanya bersifat aqli dan atau naqli,
tergantung perkara yang diimani. Jika
perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil keimanannya
bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia
didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber
suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli
tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah
pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah.
Dalam hal ini, Imam Syafi'i berkata:
Dalam hal ini, Imam Syafi'i berkata:
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang
mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah
Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan
penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut
dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai
kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan
indra dan ini merupakan suatu keharusan.
Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin."
(Lihat Fiqhul Akbar, Imam
Syafi'i hal. 16)
Peranan Akal dalam Masalah Keimanan
Akal manusia mampu membuktikan
keberadaan sesuatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang
dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan
seorang Baduy (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya "Dengan apa engkau mengenal Rabbmu?" Jawabnya : "Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak
kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan."
Oleh karena itu, ayat-ayat Al Qur'an
adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya Sang Pencipta) dengan cara
mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, kalau akal diajak untuk mencari
Dzat-Nya, maka tentu saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:
"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada
penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka
bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini."
(Al-Jaatsiyat 3-4).
Karena keterbatasan akal dalam
berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah,
karena Dzat Allah sudah berada diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai
kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian)
menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
"Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi
jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup
mengira- ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya."
(HR. Abu Nu'im dalam Al-Hidayah, sifatnya marfu', sanadnya
dhoif tetapi isinya shoheh)
Akal manusia yang terbatas tidak
akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah
melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dan
seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah
materi yang bisa diukur atau dianalisa.
Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk
aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Kita hanya percaya dengan
sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui Al-Wahyu. Apabila kita menghadapi
suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk,
maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan
menta'wilkannya sesuai dengan kemampuan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah,
karena ia memang berada di luar kemampuan akal.
Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam
Ibnul Qoyyim berkata:
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa
masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah
terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah,
perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya.
Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur'an dengan suara bulat.
Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya."(Lihat
buku I'llamul Muwaaqi'in, jilid 1,
halaman 5.)
Ketika kepada Imam Malik ditanyakan
tentang makna "persemayaman-Nya"
(istiwaa'), beliau lama tertunduk
dan bahkan mengeluarkan keringat.
Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :
"Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat
diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya
bukanlah hal yang dapat difahamkan.
Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut
adalah bid'ah/ salah."(Lihat Fathul Baari, jilid XII, halaman 915).
Jalan ini pula yang ditempuh Asy-Syafi'i, Muhammad Abdul Hasan
Asy-Syaibani, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain.
Kerusakan Aqidah Umat Islam Akibat Filsafat Yunani
Sebagian para
ulama khalaf (ulama Mutaakhirin),
terutama ahli ilmu kalam (Mutakallimin) tidak menjalani cara yang ditempuh oleh
ulama salaf. Mereka tidak puas dengan cara berpikir demikian. Oleh karena itu,
mereka lalu menta'wilkan suatu Al-Wahyu yang termasuk mutasyabihat (tidak
dijelaskan rinci oleh Allah dan Rasul-Nya, a.l. tentang sifat dan perbuatan
Allah SWT), sesuai dengan kehendak akal, padahal semua itu berada diluar
kemampuan akal. Mereka menggunakan dalil aqli dengan dasar mantiqi/logika untuk
membahas hal-hal seperti bergeraknya Allah, turunnya Allah ke langit, hubungan
antara sifat dengan Dzat Allah, dan lain-lain.
Meskipun ulama khalaf menempuh jalan
yang tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Al-Quran, tetapi sebenarnya
mereka masih tetap beriman kepada Islam dan tetap bertolak dari dalil-dalil
syar'iy. Berbeda halnya dengan jalan yang ditempuh oleh kaum muslimin yang
memandang filsafat Yunani sebagai tolak ukur/titik tolak aqidah. Mereka telah mencoba menggunakan akal untuk
memecahkan persoalan yang pernah dialami oleh para filosof Yunani terdahulu,
tanpa kembali pada ketentuan Al-Wahyu dan contoh dari Rasulullah SAW. Mulailah
mereka melontarkan kembali masalah-masalah klasik, seperti wihdatul-wujud dll. Pendapat-pendapat mereka (ahli kalam dan
filosof) inilah yang telah meragukan umat terhadap beberapa hal yang berkaitan
dengan masalah aqidah, bahkan berhasil pula menyesatkan dan mengeluarkan
sebagian kaum muslimin dari Islam. Oleh karena itu aqidah Islam perlu dijauhkan
dari ilmu mantik atau filsafat agar tidak membahayakan aqidah ummat. Sumber
aqidah hanyalah Al-Qur'an dan hadits-hadits mutawatir. Metode yang digunakan
adalah metode aqliyah (melalui pemahaman terhadap dalil aqli dan naqli)
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, jauh
sebelum umat Islam bertemu dengan ahli filsafat (Yunani) dan ajaran-ajarannya.o
Tidak ada komentar:
Posting Komentar