Agama dan Realitas Sosial Politik
Oleh DADANG KAHMAD
Oleh DADANG KAHMAD
HIDUP manusia ada dalam dan pada
dunia. Karenanya, manusia tidak dapat melepaskan kediriannya dari dialog dengan
dunia (sosial-kultural)-nya. Rumusan yang agak populer dalam tradisi filsafat
modern ini merupakan pandangan mendasar yang selalu digunakan dalam seluruh
refleksi dan perenungan mengenai eksistensi manusia. Pandangan mendasar
tersebut menegaskan bahwa hidup manusia tidak berlangsung dalam suasana batin
(tempat dan ruang) yang tertutup, melainkan dalam dialog dengan lingkungan
dunianya.
Menurut Peter L. Berger, suatu
masyarakat manusia adalah usaha pembangunan dunia. Artinya, bahwa dunia sosial
adalah dunia yang dibangun oleh manusia sendiri. Ia merupakan hasil dari projek
manusia membangun dunianya, suatu enterprise of world building.
Perspektif di atas, memberikan
pengertian bahwa dunia (lingkungan sosial-kultural, termasuk politik) merupakan
hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas masyarakat manusia, melalui apa yang
disebut Berger sebagai proses dialektika masyarakat, yaitu eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Menurut Berger, semua dunia yang dibangun
(dikonstruksi) oleh masyarakat manusia (sosial), secara inhern adalah rawan,
karena terancam oleh fakta kepentingan diri dan kebodohan manusiawi.
Thomas F. Odea ketika
menjelaskan munculnya sebuah agama, menyebutkan bahwa sumber kerawanan atau
dalam istilahnya breaking points (titik kritis) adalah karena manusia
memiliki tiga karakteristik dasar eksistensi, yaitu ketidakberdayaan,
ketidakpastian dan kelangkaaan. Jika karakter dasar manusia tersebut
terakumulasi dan memuncak, maka masyarakat manusia cenderung akan mengalami apa
yang disebut oleh Max Weber sebagai persoalan makna, yakni kebingungan,
penderitaan, serta ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada penciptaan
dunia masyarakat yang chaos.
Oleh karena itu, manusia
meniscayakan suatu keterarahan transendental kepada Tuhan. Menjadi keniscayaan,
karena tanpa keterarahan transendental kepada Tuhan, manusia akan
mengalami pragmentasi eksistensi atau keterpecahan kediriannya. Dalam bahasa filsafat perenial, manusia akan terlempar ke pinggiran lingkaran (rim peripheri). Dalam konteks inilah, agama menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam mentransformasikan pembangunan (dunia) sosial-kultural yang rawan ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). Agama diyakini akan dapat meminimalkan kebingungan, penderitaan, konflik serta ketegangan-ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada chaos.
mengalami pragmentasi eksistensi atau keterpecahan kediriannya. Dalam bahasa filsafat perenial, manusia akan terlempar ke pinggiran lingkaran (rim peripheri). Dalam konteks inilah, agama menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam mentransformasikan pembangunan (dunia) sosial-kultural yang rawan ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). Agama diyakini akan dapat meminimalkan kebingungan, penderitaan, konflik serta ketegangan-ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada chaos.
Anselm Von Peugrbach menyatakan
bahwa agama dalam bentuk apa pun ia muncul, tetap merupakan kebutuhan ideal
umat manusia. Peranan agama sangat menentukan dalam setiap bidang kehidupan
sebab manusia tanpa agama tidak akan dapat hidup secara sempurna. Menurut
Berger, legitimasi religius atau agama akan sangat efektif (dalam proses
transformasi sosial-kultural), karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi
realitas rawan dari masyarakat empiris dengan realitas purna (transenden).
Senada dengan Berger, Clifford
Geertz menyatakan bahwa simbol-simbol religius akan merumuskan kesesuaian
antara sebuah gaya kehidupan tertentu dengan metafisika khusus. Dengan
demikian, agama memiliki kekuatan legimitasi dalam mengarahkan proses
transformasi sosial-kultural dari realitas dunia sosial-kultural yang rawan dan
semula terancam kepentingan diri dan kebodohan manusiawi, menjadi teratur dan
penuh makna.
Teladan-teladan utama
Dalam agama terdapat
teladan-teladan utama (norma-norma moral) yang bersifat universal dan berlaku
juga dalam penyelenggaraan kekuasaan atau pembangunan sosial-politik.
Teladan-teladan utama tersebut tersimpul dalam tiga kaidah asasi agama, yaitu
kaidah ketuhanan, kaidah kemanusiaan dan kaidah peradaban.
Pertama, kaidah ketuhanan,
dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan sebagai wujud
pengabdian kepada Tuhan, bukan sebaliknya sebagai bentuk pembangkangan kepada
Tuhan dengan menjadikan kekuasaan itu sebagai berhala yang menjatuhkan
nilai-nilai rohani atau spiritualitas. Kekuasaan bukanlah sebagai tujuan
segalanya, melainkan hanya salah satu perwujudan pengabdian (taqarrub)
kepada Allah.
Dalam bahasa lain, kekuasaan
hanyalah suatu usaha untuk dapat menaikkan nilai rohani atau spiritualitas diri
sehingga dapat mengelola alam/masyarakat sesuai kehendak Tuhan (mendatangkan
rida Allah dan kemaslahatan bagi kemanusiaan). Kaidah ketuhanan ini sangat
penting, karena pelanggaran terhadap kaidah ini akan berdampak luas pada
dimensi kemanusiaan dan peradaban.
Kedua, kaidah kemanusiaan, dimaksudkan
bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan (memiliki komitmen) untuk
melakukan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang dan tertindas),
serta untuk penegakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Jadi, kekuasaan bukan
untuk memperkaya diri dan golongan, atau mengakumulasi kekayaan melalui
projek-projek tertentu berdasar etika keserakahan, tetapi untuk membela kaum
lemah serta mengembalikan hak-hak sosial dan politik mereka secara berkeadilan.
Ketiga, kaidah peradaban,
dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan (memiliki
komitmen) untuk menciptakan masyarakat yang beradab dan berperadaban. Bukan
sebaliknya, penyelenggaraan kekuasaan justru menciptakan masyarakat barbar
(tidak beradab), di mana uang menjadi orientasi kekuasaan, kekerasan menjadi
satu-satunya hakim atas semua nilai, manusia lawan manusia, serta kecurangan
dan tipu daya menjadi seni kehidupan.
Dalam kaidah peradaban ini,
teladan-teladan utama dalam agama yang sangat penting adalah orientasi terhadap
nilai-nilai kemanusiaan seperti tidak boleh melakukan perbuatan keji dan munkar
(seperti kolusi, korupsi dan nepotisme) secara terbuka maupun tersembunyi;
tidak boleh membunuh jiwa tanpa alasan yang benar; tidak dibenarkan memakan
harta anak yatim secara batil tidak dibenarkan mengurangi takaran, serta tidak
dibenarkan memberikan persaksian dusta dan pengingkaran janji.
Teladan-teladan utama di atas,
merupakan tali pengikat masyarakat, karena merupakan norma-norma kemanusiaan
umum, di mana masyarakat apa pun tidak dapat hidup secara baik (rawan), jika
mengabaikan atau melanggar norma-norma kemanusiaan dan teladan-teladan utama
tersebut.
Realitas "politics of power"
Ada kecenderungan bahwa realitas
politik dalam penyelenggaraan kekuasaan yang selama ini berjalan lebih
berorientasi pada kekuasaan atau politik untuk kekuasaan (politics of power)
daripada memerankan politik nilai (politics of values) dalam
membangun masyarakat yang bermartabat dan berbudi luhur dengan melaksanakan
teladan-teladan utama di atas.
Kekuasaan terkadang menjadi
berhala dan sekutu bagi Tuhan, sebagai orientasi, kiblat, komitmen, dan
satu-satunya tujuan, bahkan ruku dan sujud pun kerapkali diarahkan untuk
memperoleh kekuasaan. Dalam realitas politik seperti ini, segala cara biasanya
dilakukan tak peduli melanggar norma-norma ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban
atau tidak.
Realitas politics of power
juga, cenderung korup dan tidak adil dalam distribusi dan penggunaan kekayaan
(uang negara), padahal di sana terdapat kekayaan yang menjadi hak anak yatim
dan fakir miskin. Mereka melakukan kemunkaran politik secara kolektif dengan
memakan harta hak anak yatim dan fakir miskin melalui pengurangan takaran
raskin (beras untuk masyarakat miskin) misalnya, serta bentuk-bentuk
penyimpangan kebijakan yang menjadikan para petani, buruh, nelayan, tukang
beca, anak jalanan, para pengungsi, pedagang kaki lima, serta pemilik
rumah-rumah-kumuh semakin termiskinkan dan terpinggirkan. Politik oposisi
inilah yang selalu melahirkan ketegangan sosial inter dan antarumat beragama.
Orientasi politics of power
ini pula, yang tampaknya menjadi titik tolak pandang seluruh kontestan politik
dalam pemilihan umum langsung tahun 2004, sehingga pemilu cenderung bukan
mendatangkan rahmat, persaudaraan, kesejahteraan dan kedamaian, melainkan
justru, melahirkan perpecahan dan konflik.
Dalam realitas politik yang
mengingkari teladan-teladan utama yang menjadi norma-norma kemanusiaan
universal seperti itu, sudah dipastikan bahwa masyarakatnya tidak akan
memperoleh keamanan, stabilitas, rasa keadilan, kepastian hukum, kedamaian, dan
kesejahteraan. Oleh karena itu, teladan-teladan utama (nilai-nilai etik) yang
menjadi dasar moralitas politik atau penyelenggaraan kekuasaan di atas,
seharusnya mendapat penjagaan dan pengawasan dari masyarakat itu sendiri.
Penjagaan dan pengawasan ini
merupakan wujud implementasi praktis dari agama itu sendiri, yakni apa yang
disebut dalam agama sebagai usaha amar bi al-ma'ruf wa al-nahy an al-munkar
(menyuruh kepada kebaikan atau teladan-teladan utama dan mencegah dari
kemunkaran atau pengingkaran terhadap teladan-teladan utama tersebut).***
Penulis Ketua PW Muhammadiyah Jawa
Barat dan Guru Besar Sosiologi Agama IAIN SGD Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar