Rabu, 25 April 2012

Agama dan Realitas Sosial Politik

Agama dan Realitas Sosial Politik
Oleh DADANG KAHMAD
HIDUP manusia ada dalam dan pada dunia. Karenanya, manusia tidak dapat melepaskan kediriannya dari dialog dengan dunia (sosial-kultural)-nya. Rumusan yang agak populer dalam tradisi filsafat modern ini merupakan pandangan mendasar yang selalu digunakan dalam seluruh refleksi dan perenungan mengenai eksistensi manusia. Pandangan mendasar tersebut menegaskan bahwa hidup manusia tidak berlangsung dalam suasana batin (tempat dan ruang) yang tertutup, melainkan dalam dialog dengan lingkungan dunianya.
Menurut Peter L. Berger, suatu masyarakat manusia adalah usaha pembangunan dunia. Artinya, bahwa dunia sosial adalah dunia yang dibangun oleh manusia sendiri. Ia merupakan hasil dari projek manusia membangun dunianya, suatu enterprise of world building.
Perspektif di atas, memberikan pengertian bahwa dunia (lingkungan sosial-kultural, termasuk politik) merupakan hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas masyarakat manusia, melalui apa yang disebut Berger sebagai proses dialektika masyarakat, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Menurut Berger, semua dunia yang dibangun (dikonstruksi) oleh masyarakat manusia (sosial), secara inhern adalah rawan, karena terancam oleh fakta kepentingan diri dan kebodohan manusiawi.
Thomas F. Odea ketika menjelaskan munculnya sebuah agama, menyebutkan bahwa sumber kerawanan atau dalam istilahnya breaking points (titik kritis) adalah karena manusia memiliki tiga karakteristik dasar eksistensi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaaan. Jika karakter dasar manusia tersebut terakumulasi dan memuncak, maka masyarakat manusia cenderung akan mengalami apa yang disebut oleh Max Weber sebagai persoalan makna, yakni kebingungan, penderitaan, serta ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada penciptaan dunia masyarakat yang chaos.
Oleh karena itu, manusia meniscayakan suatu keterarahan transendental kepada Tuhan. Menjadi keniscayaan, karena tanpa keterarahan transendental kepada Tuhan, manusia akan
mengalami pragmentasi eksistensi atau keterpecahan kediriannya. Dalam bahasa filsafat perenial, manusia akan terlempar ke pinggiran lingkaran (rim peripheri). Dalam konteks inilah, agama menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam mentransformasikan pembangunan (dunia) sosial-kultural yang rawan ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). Agama diyakini akan dapat meminimalkan kebingungan, penderitaan, konflik serta ketegangan-ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada chaos.
Anselm Von Peugrbach menyatakan bahwa agama dalam bentuk apa pun ia muncul, tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Peranan agama sangat menentukan dalam setiap bidang kehidupan sebab manusia tanpa agama tidak akan dapat hidup secara sempurna. Menurut Berger, legitimasi religius atau agama akan sangat efektif (dalam proses transformasi sosial-kultural), karena agama menghubungkan konstruksi-konstruksi realitas rawan dari masyarakat empiris dengan realitas purna (transenden).
Senada dengan Berger, Clifford Geertz menyatakan bahwa simbol-simbol religius akan merumuskan kesesuaian antara sebuah gaya kehidupan tertentu dengan metafisika khusus. Dengan demikian, agama memiliki kekuatan legimitasi dalam mengarahkan proses transformasi sosial-kultural dari realitas dunia sosial-kultural yang rawan dan semula terancam kepentingan diri dan kebodohan manusiawi, menjadi teratur dan penuh makna.
Teladan-teladan utama
Dalam agama terdapat teladan-teladan utama (norma-norma moral) yang bersifat universal dan berlaku juga dalam penyelenggaraan kekuasaan atau pembangunan sosial-politik. Teladan-teladan utama tersebut tersimpul dalam tiga kaidah asasi agama, yaitu kaidah ketuhanan, kaidah kemanusiaan dan kaidah peradaban.
Pertama, kaidah ketuhanan, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan, bukan sebaliknya sebagai bentuk pembangkangan kepada Tuhan dengan menjadikan kekuasaan itu sebagai berhala yang menjatuhkan nilai-nilai rohani atau spiritualitas. Kekuasaan bukanlah sebagai tujuan segalanya, melainkan hanya salah satu perwujudan pengabdian (taqarrub) kepada Allah.
Dalam bahasa lain, kekuasaan hanyalah suatu usaha untuk dapat menaikkan nilai rohani atau spiritualitas diri sehingga dapat mengelola alam/masyarakat sesuai kehendak Tuhan (mendatangkan rida Allah dan kemaslahatan bagi kemanusiaan). Kaidah ketuhanan ini sangat penting, karena pelanggaran terhadap kaidah ini akan berdampak luas pada dimensi kemanusiaan dan peradaban.
Kedua, kaidah kemanusiaan, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan (memiliki komitmen) untuk melakukan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang dan tertindas), serta untuk penegakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Jadi, kekuasaan bukan untuk memperkaya diri dan golongan, atau mengakumulasi kekayaan melalui projek-projek tertentu berdasar etika keserakahan, tetapi untuk membela kaum lemah serta mengembalikan hak-hak sosial dan politik mereka secara berkeadilan.
Ketiga, kaidah peradaban, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus diorientasikan (memiliki komitmen) untuk menciptakan masyarakat yang beradab dan berperadaban. Bukan sebaliknya, penyelenggaraan kekuasaan justru menciptakan masyarakat barbar (tidak beradab), di mana uang menjadi orientasi kekuasaan, kekerasan menjadi satu-satunya hakim atas semua nilai, manusia lawan manusia, serta kecurangan dan tipu daya menjadi seni kehidupan.
Dalam kaidah peradaban ini, teladan-teladan utama dalam agama yang sangat penting adalah orientasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti tidak boleh melakukan perbuatan keji dan munkar (seperti kolusi, korupsi dan nepotisme) secara terbuka maupun tersembunyi; tidak boleh membunuh jiwa tanpa alasan yang benar; tidak dibenarkan memakan harta anak yatim secara batil tidak dibenarkan mengurangi takaran, serta tidak dibenarkan memberikan persaksian dusta dan pengingkaran janji.
Teladan-teladan utama di atas, merupakan tali pengikat masyarakat, karena merupakan norma-norma kemanusiaan umum, di mana masyarakat apa pun tidak dapat hidup secara baik (rawan), jika mengabaikan atau melanggar norma-norma kemanusiaan dan teladan-teladan utama tersebut.
Realitas "politics of power"
Ada kecenderungan bahwa realitas politik dalam penyelenggaraan kekuasaan yang selama ini berjalan lebih berorientasi pada kekuasaan atau politik untuk kekuasaan (politics of power) daripada memerankan politik nilai (politics of values) dalam membangun masyarakat yang bermartabat dan berbudi luhur dengan melaksanakan teladan-teladan utama di atas.
Kekuasaan terkadang menjadi berhala dan sekutu bagi Tuhan, sebagai orientasi, kiblat, komitmen, dan satu-satunya tujuan, bahkan ruku dan sujud pun kerapkali diarahkan untuk memperoleh kekuasaan. Dalam realitas politik seperti ini, segala cara biasanya dilakukan tak peduli melanggar norma-norma ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban atau tidak.
Realitas politics of power juga, cenderung korup dan tidak adil dalam distribusi dan penggunaan kekayaan (uang negara), padahal di sana terdapat kekayaan yang menjadi hak anak yatim dan fakir miskin. Mereka melakukan kemunkaran politik secara kolektif dengan memakan harta hak anak yatim dan fakir miskin melalui pengurangan takaran raskin (beras untuk masyarakat miskin) misalnya, serta bentuk-bentuk penyimpangan kebijakan yang menjadikan para petani, buruh, nelayan, tukang beca, anak jalanan, para pengungsi, pedagang kaki lima, serta pemilik rumah-rumah-kumuh semakin termiskinkan dan terpinggirkan. Politik oposisi inilah yang selalu melahirkan ketegangan sosial inter dan antarumat beragama.
Orientasi politics of power ini pula, yang tampaknya menjadi titik tolak pandang seluruh kontestan politik dalam pemilihan umum langsung tahun 2004, sehingga pemilu cenderung bukan mendatangkan rahmat, persaudaraan, kesejahteraan dan kedamaian, melainkan justru, melahirkan perpecahan dan konflik.
Dalam realitas politik yang mengingkari teladan-teladan utama yang menjadi norma-norma kemanusiaan universal seperti itu, sudah dipastikan bahwa masyarakatnya tidak akan memperoleh keamanan, stabilitas, rasa keadilan, kepastian hukum, kedamaian, dan kesejahteraan. Oleh karena itu, teladan-teladan utama (nilai-nilai etik) yang menjadi dasar moralitas politik atau penyelenggaraan kekuasaan di atas, seharusnya mendapat penjagaan dan pengawasan dari masyarakat itu sendiri.
Penjagaan dan pengawasan ini merupakan wujud implementasi praktis dari agama itu sendiri, yakni apa yang disebut dalam agama sebagai usaha amar bi al-ma'ruf wa al-nahy an al-munkar (menyuruh kepada kebaikan atau teladan-teladan utama dan mencegah dari kemunkaran atau pengingkaran terhadap teladan-teladan utama tersebut).***
Penulis Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat dan Guru Besar Sosiologi Agama IAIN SGD Bandung

Tidak ada komentar: