Pengaruh
Konsentrasi Nitrat yang Berbeda Pada media Kultur Terhadap Pertumbuhan
Chaetoceros sp.
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pengembangan
usaha budidaya ikan dan non ikan akhir-akhir ini semakin giat dilaksanakan baik
itu secara ekstensif, semiintensif maupun intensif. Usaha pengembangan
budidaya, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pembenihan yang selama ini
menjadi faktor pembatas dalam pengembangan usaha budidaya di Indonesia. Faktor
ketersediaan benih baik dari segi jumlah, kualitas maupun kesinambungan
merupakan penyebabnya. Selain ketiga faktor tersebut diatas, ketersediaan pakan
baik pakan alami maupun pakan buatan juga merupakan salah satu faktor yang
menjadi kendala mengapa selama ini usaha budidaya khususnya kegiatan pembenihan
tidak berjalan secara optimal.
Pakan
alami merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan
hidup organisme yang dibudidaya khususnya pada fase larva atau benih. Pakan
alami disini mencakup fitoplankton dan zooplankton yang berperan sebagai sumber
karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta
mineral yang berperan dalam pertumbuhan larva atau benih ikan
(http://www.dszoo.com/forum/archive/index.php?t-114.html. diakses tanggal 3
Juni 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fitoplankton sangat berperan dalam
keberhasilan pemeliharaan larva pada unit pembenihan, karena pada umumnya
stadia awal pemeliharaan larva baik ikan maupun non
ikan menggunakan pakan dari
jenis fitoplankton.
Dewasa
ini telah berhasil dikultur beberapa spesies fitoplankton yang digunakan
sebagai pakan larva diantaranya Chlorella sp., Skeletonema costatum,
Chaetoceros sp., tetraselmis chuii, Isochrysis galbana dan Dinaliella salina.
Salah satu jenis fitoplankton yang umumnya dibudidayakan sebagai pakan alami
terutama untuk larva udang penaeid adalah Chaetoceros sp. (Yunus, 1992).
Chaetoceros sp. banyak digunakan sebagai pakan alami pada unit-unit pembenihan
karena disamping memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, pada kondisi
lingkungan yang cocok kepadatan dari pakan alami ini cepat meningkat. Kandungan
nutrisi dari Chaetoceros sp. yaitu protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan
kadar abu 28% (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Menurut
Cahyaningsih (2006), Pertumbuhan Chaetoceros sp. sangat dipengaruhi oleh
nutrisi yang ada dilingkungan tempat hidupnya, oleh karena itu media kulturnya
perlu diberi pupuk untuk menunjang ketersediaan unsur hara baik makro maupun
mikro. Salah satu unsur hara makro (nutrient utama) yang sangat menunjang
pertumbuhan Chaetoceros sp. adalah ketersediaan unsur nitrogen (N). nitrogen
yang umumnya dibutuhkan untuk media kultur yaitu dalam bentuk senyawa nitrat.
Nitrogen
(N) merupakan komponen utama protein sel yang merupakan kebutuhan dasar
kehidupan organisme khususnya diatom (Takdir, 1990). Lebih lanjut ditambahkan
bahwa, penggunaan nitrogen dalam media kultur Chaetoceros sp. sangat penting
untuk mendapatkan nilai produktivitas kultur yang tinggi serta kualitas
biomassa yang baik. Namun yang menjadi masalah akhir-akhir ini adalah sulitnya
memproduksi Chaetoceros sp. dalam jumlah besar karena ketidakstabilan produksi
yang disebabkan oleh kualitas Chaetoceros sp. yang tidak sama untuk setiap
periode kultur.
Salah
satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut diatas yakni melalui upaya
optimasi nutrisi pada media kultur Chaetoceros sp. salah satunya dengan
penambahan nitrat. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang budidaya
Chaetoceros sp. dengan konsentrasi nitrat yang berbeda pada media kulturnya
perlu dilakukan sehingga diharapkan melalui penelitian ini produksi Chaetoceros
sp. dapat meningkat dan menjamin ketersediaan pakan alami tersebut pada saat dibutuhkan.
1.2
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi nitrat yang optimum
untuk pertumbuhan Chaetoceros sp. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah
sebagai bahan informasi awal tentang konsentrasi nitrat pada media kultur yang
memberikan pertumbuhan optimal untuk pengembangan budidaya Chaetoceros sp.
sebagai pakan alami.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi Chaetoceros sp.
Bougis
(1979) dalam Sudjiharno (2002) mengklasifikasikan Chaetoceros sp. (Gambar 1.) sebagai
berikut :
Divisi
: Bacillariophyta
Classis
: Bacillariophyceae
Ordo
: Centrales
Sub
Ordo : Biddulphiinae
Famili
: Chaetoceraceae
Genus
: Chaetoceros
Species
: Chaetoceros sp.
Gambar
1. Chaetoceros sp.
Sumber
: http://www.fishexp.pref.hokkaido.jp/shidousyo/fishery/j_kaki/pic06_b.jpg
diakses tanggal 6 November 2009.
Diatom
merupakan organisme/ganggang bersel tunggal yang tergolong dalam divisi
Bacillariophyta, ganggang jenis ini memiliki dua ordo yakni centrales dan
pennales. Kedua ordo ini dapat dibedakan berdasarkan bentuk fisik tubuh dan
habitanya. Diatom dari ordo centrales memiliki ciri bentuk tubuh silinder dan
hidup di air laut sedangkan ordo pennales memiliki bentuk tubuh lonjong dan
hidup di air tawar. Chaetoceros sp. merupakan diatom dari ordo centrales
(Bachtiar, 2003).
Chaetoceros
sp. ada yang memiliki bentuk tubuh bulat dengan ukuran tubuh yang sangat kecil
yakni berkisar antara 4 – 6 mikron dan ada yang berbentuk segi empat dengan
ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Sama seperti diatom pada umumnya, Chaetoceros sp.
memiliki dinding sel yang dibentuk dari silika (Isnansetyo dan Kurniastuty,
1995). Lebih lanjut ditambahkan oleh Sumeru dan Anna (2005), bahwa pada setiap
sel Chaetoceros sp. dipenuhi oleh cytoplasma.
Menurut
stransky (1970) dalam Haryati (1980) dan Sujiharno (2002), diatom memiliki
beberapa pigmen warna yakni chlorophyl a, chlorophyl c, karoten diatomin dan
fukosantin. Pigmen chlorophyl memiliki peran sebagai katalisator dalam proses
fotosintesis sedangkan adanya pigmen karoten dan diatomin menyebabkan dinding
sel dari Chaetoceros sp. berwarna cokelat keemasan.
Menurut
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa Chaetoceros sp. merupakan diatom yang
bersifat eurythermal dan euryhaline. Daerah penyebarannya meliputi muara
sungai, pantai dan laut pada daerah tropis dan subtropis. Diatom ini dapat
hidup pada kisaran suhu yang tinggi, pada suhu air 400C fitoplankton ini masih
dapat bertahan hidup namun tidak berkembang. Pertumbuhan optimumnya memerlukan
suhu pada kisaran antara 25 - 300C. salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal
dari Chaetoceros sp. adalah 17 - 25 ‰. Selanjutnya dikemukakan bahwa seperti
halnya fitoplankton pada umumnya, pertumbuhan dari Chaetoceros sp. ini juga
dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang optimum untuk
pertumbuhannya ialah berkisar antara 500 – 10.000 lux, dan pertumbuhannya akan
menurun jika intensitas cahaya melebihi 10.000 lux.
2.2
Reproduksi
Chaetoceros
sp. bereproduksi secara aseksual yakni dengan pembelahan sel dan seksual dengan
pembentukan auxospora. Silikat memiliki peranan penting dalam proses reproduksi
fitoplankton ini sebagai bahan pembentuk cangkang. Pembelahan sel pada diatom
ini sama seperti pembelahan sel diatom pada umumnya, dimana satu sel induk yang
membelah akan menghasilkan dua sel anak. Satu sel anak mendapatkan tutup kotak
(epiteka) akan berkembang menyerupai ukuran sel induknya, sedangkan sel anak
yang mendapatkan dasar kotak (hipoteka) akan tumbuh lebih kecil dari sel induk.
Pembelahan sel ini akan terus berlanjut sampai ukuran sel semakin kecil
(Djarijah, 2006).
Menurut
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), pembelahan sel Chaetoceros sp. yang
dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan ukuran sel menjadi semakin
kecil, dan sampai batas ukuran tertentu, pembelahan sel ini akan berhenti
sebentar dan berganti menjadi reproduksi secara seksual melalui pembentukan
auxospora dimana isi sel (sel anak) akan keluar dari cangkang dan akan tumbuh
membesar hingga ukurannya sama dengan ukuran sel induk semula dan kemudian sel
ini akan melakukan reproduksi secara aseksual kembali yakni melalui pembelahan
sel.
2.3
Pertumbuhan
Menurut
Effendie (1997), bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik itu
faktor yang berasal dari individu itu sendiri maupun berasal dari faktor luar
atau faktor lingkungan. Faktor dalam umumnya adalah yang sulit dikontrol
seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar
meliputi makanan dan lingkungan perairan.
Cahyaningsih,
dkk (2005), menyatakan bahwa selama masa inkubasi fitoplankton mengalami proses
pertumbuhan yang di bagi menjadi 4 fase (Gambar 2.) yaitu :
Gambar
2. Grafik Pertumbuhan Fitoplankton
Ket
: 1. Fase Adaptasi 2. Fase Logaritmik/eksponensial
3.
Fase Stasioner 4. Fase Kematian
Fase
Adaptasi
Disebut
juga lag fase yakni pada fase ini sel melakukan adaptasi terhadap lingkungannya
dan mulai melakukan metabolisme namun belum terjadi pertambahan sel.
Fase
Logaritmik/eksponensial
Fase
ini merupakan fase dimana pertumbuhan fitoplankton terjadi dengan cepat
sehingga terjadi pertambahan jumlah sel yang sangat signifikan.
Fase
Stasioner
Fase
stasioner atau yang sering disebut fase pertumbuhan tetap ialah fase dimana
laju reproduksi seimbang dengan laju kematian. Fase ini merupakan puncak
pertumbuhan populasi fitoplankton.
Fase
Kematian
Fase
kematian ialah fase dimana laju pertumbuhan lebih kecil dari pada laju
kematian, karena disebabkan oleh penurunan kemampuan metabolisme dari
fitoplankton.
2.4
Kultur Chaetoceros sp.
2.4.1
Media Kultur
Pertumbuhan
fitoplankton sangat tergantung pada nutrisi atau unsur hara baik makro maupun
mikro yang terkandung dalam media kultur. Unsur hara makro meliputi nitrat,
posfat dan silikat sebagai dasar nutrient utama, unsur hara mikro berupa treace
element yang meliputi besi, molybdenum, copper, zinc dan cobalt. Vitamin B1,
B12 dan biotin juga merupakan mikro nutrient yang dibutuhkan (Cahyaningsih,
2006).
Media
kultur Chaetoceros sp. berupa air laut yang telah steril dengan salinitas 25 –
30‰. Sterilisasi air laut dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain
dengan perebusan, sinar ultra violet (UV), ozonisasi dan chlorinisasi
(Sudjiharno,2002). Selanjutnya dikemukanan bahwa air laut yang telah steril
kemudian diberi pupuk.
Chaetoceros
sp. membutuhkan bahan organik dalam media hidupnya untuk tumbuh dan berkembang
biak, oleh karena itu dalam media kulturnya perlu diperkaya dengan beberapa
unsur hara. Unsur hara yang dibutuhkan adalah Nitrat (NO3), Posfat (PO4),
Kalium (K) dan Silikat (SiO3) (Miguel, 1980 dalam Muhaimin, 2008).
Menurut
Cahyaningsih dkk (2005), Chaetoceros sp. Akan tumbuh dan berkembang biak jika
air media hidupnya dipupuk dan mendapat cahaya yang cukup. Pupuk yang digunakan
adalah 40 – 50 ppm KNO3(kalium nitrat), 20 – 25 ppm NaH2PO4 (natrium hidro
phosfat), 10 – 15 ppm Na2SiO3(Silikat), 1 – 5 ppm FeCl3(besi klorida) dan 1 – 5
ppm EDTA.
Kultur
diatom skala laboraturium dapat menggunakan pupuk dengan komposisi KNO3 80 –
100 ppm, NaH2PO4 10 – 15 ppm, Na2SiO3 10 – 15 ppm, FeCl3 5 – 10 ppm dan EDTA 5
– 10 ppm. Sedangkan untuk kultur semi missal digunakan pupuk Urea 60 g/ton,
NaH2PO4 8 g/ton, Na2SiO3 6 g/ton, FeCl3 1 g/ton dan EDTA 5 g/ton (Isnansetyo
dan Kurniastuty, 1995).
Menurut
Sudjiharno (2002), pupuk yang digunakan pada kultur fitoplankton skala
laboraturium terbuat dari bahan kimia PA (pro analis) dengan dosis pemakaian 1
ml pupuk untuk 1 lt volume kultur. Untuk mempermudah pemakaiannya, pupuk
terlebih dahulu dibuat stok pupuk cair. Sehubungan dengan hal tersebut Helyar
(1997) dalam Muhaimin (2008) menyatakan bahwa pupuk cair mudah menyatu dengan
media kultur dan kepekatannya dapat diatur sesuai dengan yang dibutuhkan.
2.4.2
Cara Kultur
Menurut
Sudjiharno (2002), kultur fitoplankton memerlukan kondisi lingkungan yang
terkendali, olehnya itu perlu dilengkapi dengan AC (Air Conditioner) agar suhu
ruangan selalu terkendali dan ruangan terisolasi dari lingkungan luar yang
dapat menyebabkan kontaminasi. Lebih lanjut ditambahkan bahwa dalam kultur
skala laboraturium, kesterilan alat, bahan dan air media yang akan digunakan
sangat dibutuhkan sehingga bebas dari kontaminasi organisme lain seperti jenis
fitoplankton lainnya, zooplankton, protozoa dan bakteri yang bisa menjadi
kompetitor dan predator bagi fitoplankton yang dikultur.
Kultur
Chaetoceros sp. skala laboraturium dilakukan dengan beberapa tahapan yakni
tahap isolasi, kultur di media agar dan kultur di media cair. Kultur
Chaetoceros sp. di media cair dilakukan secara bertahap atau dilakukan dengan
kultur bertingkat dimulai dari kultur dalam tabung reaksi volume 10 ml (test
tube) sampai kultur pada wadah yang lebih besar mulai dari 100 ml – 5 liter (isnansetyo
dan kurniastuty, 1995). Selanjutnya dikemukanan bahwa sebelum dilakukan
penebaran bibit/inokulum, air media yang telah disterilkan perlu dipupuk
terlebih dahulu.
Menurut
Gusrina (2008), penebaran bibit fitoplankton harus dilakukan secara tepat,
dimana bibit yang akan ditebar ke dalam media harus yang sudah dewasa. Volume
bibit atau jumlah bibit yang yang dibutuhkan untuk penebaran dapat dihitung
dengan rumus :
V1N1=
V2N2
Dimana
:
V1
: Volume bibit yang diperlukan (ml)
V2
: Volume kultur yang dibuat dalam gelas erlemeyer (ml)
N1
: Jumlah bibit per cc yang ditebar (sel/ml)
N2
: Jumlah bibit yang dikehendaki (sel/ml).
2.5
Kualitas Air
2.5.1
Suhu
Suhu
merupakan salah satu faktor fisik yang sangat menentukan tingkat kulaitas air
suatu perairan khususnya media budidaya. Suhu secara tidak langsung merupakan
faktor pembatas bagi organisme yang dibudidayakan. Baik suhu tinggi maupun suhu
rendah mempengaruhi pertumbuhan dari organisme yang dibudidaya (Lesmana, 2005).
Lebih lanjut ditambahkan bahwa suhu lingkungan sangat mempengruhi metabolisme
organisme, konsumsi oksigen dan fisiologi tubuh akan mengalami kerusakan bahkan
menyebabkan kematian.
Suhu
memberikan peranan penting dalam kultur fitoplankton, karena sangat
mempengaruhi aktifitas enzim dalam metabolisme sel (Graffith, 1983 dalam
Nurliati, 1995). Selanjutnya dikemukakan bahwa semua spesies Chaetoceros sp.
Toleran terhadap suhu tinggi.
Menurut
Cahyaningsih, dkk (2005), Chaetoceros sp. toleran terhadap suhu tinggi. Pada
suhu 400C spesies ini dapat hidup tetapi tidak dapat berkembang. Chaetoceros
sp. Tumbuh normal pada kisaran suhu 20 - 300C dan tumbuh optimum pada kisaran
suhu 25 - 300C.
2.5.2
Salinitas
Salinitas
merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton.
Perubahan salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan osmose di
dalam sel fitoplankton sehingga aktifitas sel menjadi terganggu. Fluktuasi
salinitas juga dapat mempengaruhi pH sitoplasma sel dan menurunkan kegiatan
enzim (Sudjiharno, 2002).
Menurut
Isnansetyo dan kurniastuty (1995), Chaetoceros sp. tergolong spesies yang
euryhaline. Toleransi salinitasnya sangat lebar yakni 6 – 50‰, Chaetoceros sp.
salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. adalah 17 - 25
‰.
2.5.3
pH
Menurut
Kordi (2004) pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi
kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif pada pH rendah
(keasaman tinggi) karena kandungan oksigen terlarut (DO) akan berkurang dan
akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktifitas pernapasan naik dan selera makan
organisme akuatik akan berkurang.
Derajat
keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan dan produksi diatom. Pada saat peningkatan pH melewati titik ambang
maksimum maka kecepatan tumbuh diatom akan menurun (Angka dkk, 1976 dalam
Nurliati, 1995). Selanjutnya ditambahkan oleh Pescod (1973) dalam Nurliati
(1995) bahwa pH yang ideal untuk pertumbuhan diatom adalah 6,5 – 8,5.
2.6
Hipotesis
Penambahan
dosis nitrat yang berbeda pada media kultur memberikan pengaruh nyata terhadap
pertumbuhan Chaetoceros sp.
III.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat
Penelitian
rencananya akan dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2009.
Penelitian bertempat di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), Kelurahan Kampal,
Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah.
3.2
Materi Penelitian
3.2.1
Organisme Uji
Organisme
uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah diatom jenis Chaetoceros
sp.
3.2.2
Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples (wadah penelitian), selang
dan kran aerasi, blower, lampu TL 20 watt, mikroskop, cover glass,
haemocytometer, gelas ukur, pipet skala, pipet tetes, tissue, pH meter,
termometer, refraktometer.
Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bibit Chaetoceros sp., air laut, air
tawar, pupuk dengan komposisi : Nitrat dan Posfat (NP), Silikat, Treace metal
dan Vitamin.
3.3
Metode Penelitian
3.3.1
Perlakuan
Perlakuan
yang akan dicobakan selama penelitian adalah :
Perlakuan
A : Tanpa penambahan nitrat
Perlakuan
B : Penambahan nitrat dengan dosis 25 ppm
Perlakuan
C : Penambahan nitrat dengan dosis 50 ppm
Perlakuan
D : Penambahan nitrat dengan dosis 75 ppm
Perlakuan
E : Penambahan nitrat dengan dosis 100 ppm
3.3.2
Cara Kerja
Hal
yang pertama dilakukan adalah menyiapkan wadah dan peralatan yang akan
digunakan. Wadah yang digunakan berupa toples plastik berkapasitas 1 liter,
wadah dan peralatan yang akan digunkan terlebih dahulu disucihamakan dengan
menggunakan deterjen dan kaporit sebanyak 100 ppm. Selanjutnya wadah dan
peralatan tersebut dinetralkan dengan natrium thiosulfat 50 ppm.
Wadah
yang telah disiapkan diisi dengan air laut steril sebanyak 900 ml. Kemudian ke
dalam wadah yang berisi air media ditambahkan pupuk dengan komposisi : Nitrat
posfat (NP), silikat, treace metal dan vitamin. Masing-masing pupuk ditambahkan
sebanyak 1 ml ke dalam air media. Setelah itu dilakukan penebaran bibit
Chaetoceros sp. sebanyak 80 x 104 sel/ml untuk setiap wadah penelitian. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nukiyama (1976) dalam Muhaimin (2008) bahwa dalam kultur
Chaetoceros sp. digunakan air laut sebanyak 80 – 90% dengan padat penebaran
awal 100.000 – 800.000 sel/ml. Wadah tersebut kemudian diletakkan pada rak-rak
kultur lalu diberi pencahayaan dengan lampu TL 20 watt sebanyak 2 buah untuk
setiap perlakuan. Selama penelitian berlangsung wadah ditutup dan air medianya
diberi aerasi terus menerus untuk menghindari pengendapan Chaetoceros sp. dan
juga untuk menyuplai CO2.
3.3.3
Rancangan Percobaan
Rancangan
percobaan yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) menggunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 4 ulangan, sehingga
banyaknya satuan percobaan adalah 20 unit.
3.4
Parametar yang Diamati
3.4.1
Kepadatan Chaetoceros sp.
Pertumbuhan
fitoplankton dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah banyaknya jumlah sel
(kepadatan sel) (Takdir, 1990). Pertumbuhan populasi Chaetoceros sp. pada
penelitian ini dilakukan setiap 12 jam sekali dengan mengambil air sampel sebanyak
1 ml/unit percobaan.
Untuk
menghitung kepadatan sel Chaetoceros sp. digunakan haemocytometer. Mula-mula
air sampel diambil dengan menggunakan pipet kemudian ditetskan diatas
haemocytometer, selanjutnya kepadatan sel dihitung dibawah mikroskop dengan bantuan
alat penghitung (hand counter). Kepadatan sel populasi Chaetoceros sp. Untuk
setiap ml nya dihitung dengan menggunakan rumus menurut Mudjiman (2007 ).
∑Sel/ml
= N x 104
Dimana
: N = jumlah rata-rata sel.
3.4.3
Pengukuran Kualitas Air
Parameter
kualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah Suhu, pH dan salinitas.
Parameter kualitas air, alat yang digunakan, dan waktu pengamatan tercantum
pada Tabel 2. berikut :
Tabel
2. Parameter Kualitas Air yang Diukur , Alat/Metode yang Digunakan, dan Waktu
Pengamatan Selama Penelitian
Parameter
Alat/Metode Waktu Pengamatan Keterangan
Suhu
(0C)
pH
Salinitas
Termometer
pH
meter/kertas lakmus
Refraktometer
Setiap Hari
Setiap
Hari
Setiap
Hari Pagi dan sore
Pagi
dan sore
Pagi
dan sore
3.5
Analisa Data
Penelitian
ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan model matematik menurut Gaspersz
(1991), yaitu sebagai berikut :
Yij
= µ + τi + єij
Dimana
:
Yij
: Respon terhadap perlakuan ke-i pada ulangan ke-j
µ
: Nilai Tengah Umum Populasi
τi
: Pengaruh Aditif Perlakuan ke-i
єij
: Galat Percobaan dari perlakuan ke- i pada ulangan ke- j dengan asumsi єij ~
NI (µ=0; σ2)
i
: Perlakuan (1,2,3, 4)
j
: Ulangan (1,2,3,4)
Jika
terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diberikan, maka akan dilanjutkan
dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar