Minggu, 15 April 2012

Pengaruh Konsentrasi Nitrat yang Berbeda Pada media Kultur Terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp.


Pengaruh Konsentrasi Nitrat yang Berbeda Pada media Kultur Terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan usaha budidaya ikan dan non ikan akhir-akhir ini semakin giat dilaksanakan baik itu secara ekstensif, semiintensif maupun intensif. Usaha pengembangan budidaya, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pembenihan yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam pengembangan usaha budidaya di Indonesia. Faktor ketersediaan benih baik dari segi jumlah, kualitas maupun kesinambungan merupakan penyebabnya. Selain ketiga faktor tersebut diatas, ketersediaan pakan baik pakan alami maupun pakan buatan juga merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala mengapa selama ini usaha budidaya khususnya kegiatan pembenihan tidak berjalan secara optimal.
Pakan alami merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme yang dibudidaya khususnya pada fase larva atau benih. Pakan alami disini mencakup fitoplankton dan zooplankton yang berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral yang berperan dalam pertumbuhan larva atau benih ikan (http://www.dszoo.com/forum/archive/index.php?t-114.html. diakses tanggal 3 Juni 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fitoplankton sangat berperan dalam keberhasilan pemeliharaan larva pada unit pembenihan, karena pada umumnya stadia awal pemeliharaan larva baik ikan maupun non
ikan menggunakan pakan dari jenis fitoplankton.
Dewasa ini telah berhasil dikultur beberapa spesies fitoplankton yang digunakan sebagai pakan larva diantaranya Chlorella sp., Skeletonema costatum, Chaetoceros sp., tetraselmis chuii, Isochrysis galbana dan Dinaliella salina. Salah satu jenis fitoplankton yang umumnya dibudidayakan sebagai pakan alami terutama untuk larva udang penaeid adalah Chaetoceros sp. (Yunus, 1992). Chaetoceros sp. banyak digunakan sebagai pakan alami pada unit-unit pembenihan karena disamping memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, pada kondisi lingkungan yang cocok kepadatan dari pakan alami ini cepat meningkat. Kandungan nutrisi dari Chaetoceros sp. yaitu protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Menurut Cahyaningsih (2006), Pertumbuhan Chaetoceros sp. sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang ada dilingkungan tempat hidupnya, oleh karena itu media kulturnya perlu diberi pupuk untuk menunjang ketersediaan unsur hara baik makro maupun mikro. Salah satu unsur hara makro (nutrient utama) yang sangat menunjang pertumbuhan Chaetoceros sp. adalah ketersediaan unsur nitrogen (N). nitrogen yang umumnya dibutuhkan untuk media kultur yaitu dalam bentuk senyawa nitrat.
Nitrogen (N) merupakan komponen utama protein sel yang merupakan kebutuhan dasar kehidupan organisme khususnya diatom (Takdir, 1990). Lebih lanjut ditambahkan bahwa, penggunaan nitrogen dalam media kultur Chaetoceros sp. sangat penting untuk mendapatkan nilai produktivitas kultur yang tinggi serta kualitas biomassa yang baik. Namun yang menjadi masalah akhir-akhir ini adalah sulitnya memproduksi Chaetoceros sp. dalam jumlah besar karena ketidakstabilan produksi yang disebabkan oleh kualitas Chaetoceros sp. yang tidak sama untuk setiap periode kultur.
Salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut diatas yakni melalui upaya optimasi nutrisi pada media kultur Chaetoceros sp. salah satunya dengan penambahan nitrat. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang budidaya Chaetoceros sp. dengan konsentrasi nitrat yang berbeda pada media kulturnya perlu dilakukan sehingga diharapkan melalui penelitian ini produksi Chaetoceros sp. dapat meningkat dan menjamin ketersediaan pakan alami tersebut pada saat dibutuhkan.

1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi nitrat yang optimum untuk pertumbuhan Chaetoceros sp. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi awal tentang konsentrasi nitrat pada media kultur yang memberikan pertumbuhan optimal untuk pengembangan budidaya Chaetoceros sp. sebagai pakan alami.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Chaetoceros sp.
Bougis (1979) dalam Sudjiharno (2002) mengklasifikasikan Chaetoceros sp. (Gambar 1.) sebagai berikut :
Divisi : Bacillariophyta
Classis : Bacillariophyceae
Ordo : Centrales
Sub Ordo : Biddulphiinae
Famili : Chaetoceraceae
Genus : Chaetoceros
Species : Chaetoceros sp.






Gambar 1. Chaetoceros sp.
Sumber : http://www.fishexp.pref.hokkaido.jp/shidousyo/fishery/j_kaki/pic06_b.jpg diakses tanggal 6 November 2009.

Diatom merupakan organisme/ganggang bersel tunggal yang tergolong dalam divisi Bacillariophyta, ganggang jenis ini memiliki dua ordo yakni centrales dan pennales. Kedua ordo ini dapat dibedakan berdasarkan bentuk fisik tubuh dan habitanya. Diatom dari ordo centrales memiliki ciri bentuk tubuh silinder dan hidup di air laut sedangkan ordo pennales memiliki bentuk tubuh lonjong dan hidup di air tawar. Chaetoceros sp. merupakan diatom dari ordo centrales (Bachtiar, 2003).
Chaetoceros sp. ada yang memiliki bentuk tubuh bulat dengan ukuran tubuh yang sangat kecil yakni berkisar antara 4 – 6 mikron dan ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Sama seperti diatom pada umumnya, Chaetoceros sp. memiliki dinding sel yang dibentuk dari silika (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Lebih lanjut ditambahkan oleh Sumeru dan Anna (2005), bahwa pada setiap sel Chaetoceros sp. dipenuhi oleh cytoplasma.
Menurut stransky (1970) dalam Haryati (1980) dan Sujiharno (2002), diatom memiliki beberapa pigmen warna yakni chlorophyl a, chlorophyl c, karoten diatomin dan fukosantin. Pigmen chlorophyl memiliki peran sebagai katalisator dalam proses fotosintesis sedangkan adanya pigmen karoten dan diatomin menyebabkan dinding sel dari Chaetoceros sp. berwarna cokelat keemasan.
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa Chaetoceros sp. merupakan diatom yang bersifat eurythermal dan euryhaline. Daerah penyebarannya meliputi muara sungai, pantai dan laut pada daerah tropis dan subtropis. Diatom ini dapat hidup pada kisaran suhu yang tinggi, pada suhu air 400C fitoplankton ini masih dapat bertahan hidup namun tidak berkembang. Pertumbuhan optimumnya memerlukan suhu pada kisaran antara 25 - 300C. salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. adalah 17 - 25 ‰. Selanjutnya dikemukakan bahwa seperti halnya fitoplankton pada umumnya, pertumbuhan dari Chaetoceros sp. ini juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhannya ialah berkisar antara 500 – 10.000 lux, dan pertumbuhannya akan menurun jika intensitas cahaya melebihi 10.000 lux.

2.2 Reproduksi
Chaetoceros sp. bereproduksi secara aseksual yakni dengan pembelahan sel dan seksual dengan pembentukan auxospora. Silikat memiliki peranan penting dalam proses reproduksi fitoplankton ini sebagai bahan pembentuk cangkang. Pembelahan sel pada diatom ini sama seperti pembelahan sel diatom pada umumnya, dimana satu sel induk yang membelah akan menghasilkan dua sel anak. Satu sel anak mendapatkan tutup kotak (epiteka) akan berkembang menyerupai ukuran sel induknya, sedangkan sel anak yang mendapatkan dasar kotak (hipoteka) akan tumbuh lebih kecil dari sel induk. Pembelahan sel ini akan terus berlanjut sampai ukuran sel semakin kecil (Djarijah, 2006).
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), pembelahan sel Chaetoceros sp. yang dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan ukuran sel menjadi semakin kecil, dan sampai batas ukuran tertentu, pembelahan sel ini akan berhenti sebentar dan berganti menjadi reproduksi secara seksual melalui pembentukan auxospora dimana isi sel (sel anak) akan keluar dari cangkang dan akan tumbuh membesar hingga ukurannya sama dengan ukuran sel induk semula dan kemudian sel ini akan melakukan reproduksi secara aseksual kembali yakni melalui pembelahan sel.

2.3 Pertumbuhan
Menurut Effendie (1997), bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik itu faktor yang berasal dari individu itu sendiri maupun berasal dari faktor luar atau faktor lingkungan. Faktor dalam umumnya adalah yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar meliputi makanan dan lingkungan perairan.
Cahyaningsih, dkk (2005), menyatakan bahwa selama masa inkubasi fitoplankton mengalami proses pertumbuhan yang di bagi menjadi 4 fase (Gambar 2.) yaitu :







Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Fitoplankton
Ket : 1. Fase Adaptasi 2. Fase Logaritmik/eksponensial
3. Fase Stasioner 4. Fase Kematian

Fase Adaptasi
Disebut juga lag fase yakni pada fase ini sel melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dan mulai melakukan metabolisme namun belum terjadi pertambahan sel.
Fase Logaritmik/eksponensial
Fase ini merupakan fase dimana pertumbuhan fitoplankton terjadi dengan cepat sehingga terjadi pertambahan jumlah sel yang sangat signifikan.
Fase Stasioner
Fase stasioner atau yang sering disebut fase pertumbuhan tetap ialah fase dimana laju reproduksi seimbang dengan laju kematian. Fase ini merupakan puncak pertumbuhan populasi fitoplankton.
Fase Kematian
Fase kematian ialah fase dimana laju pertumbuhan lebih kecil dari pada laju kematian, karena disebabkan oleh penurunan kemampuan metabolisme dari fitoplankton.

2.4 Kultur Chaetoceros sp.
2.4.1 Media Kultur
Pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada nutrisi atau unsur hara baik makro maupun mikro yang terkandung dalam media kultur. Unsur hara makro meliputi nitrat, posfat dan silikat sebagai dasar nutrient utama, unsur hara mikro berupa treace element yang meliputi besi, molybdenum, copper, zinc dan cobalt. Vitamin B1, B12 dan biotin juga merupakan mikro nutrient yang dibutuhkan (Cahyaningsih, 2006).
Media kultur Chaetoceros sp. berupa air laut yang telah steril dengan salinitas 25 – 30‰. Sterilisasi air laut dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan perebusan, sinar ultra violet (UV), ozonisasi dan chlorinisasi (Sudjiharno,2002). Selanjutnya dikemukanan bahwa air laut yang telah steril kemudian diberi pupuk.
Chaetoceros sp. membutuhkan bahan organik dalam media hidupnya untuk tumbuh dan berkembang biak, oleh karena itu dalam media kulturnya perlu diperkaya dengan beberapa unsur hara. Unsur hara yang dibutuhkan adalah Nitrat (NO3), Posfat (PO4), Kalium (K) dan Silikat (SiO3) (Miguel, 1980 dalam Muhaimin, 2008).
Menurut Cahyaningsih dkk (2005), Chaetoceros sp. Akan tumbuh dan berkembang biak jika air media hidupnya dipupuk dan mendapat cahaya yang cukup. Pupuk yang digunakan adalah 40 – 50 ppm KNO3(kalium nitrat), 20 – 25 ppm NaH2PO4 (natrium hidro phosfat), 10 – 15 ppm Na2SiO3(Silikat), 1 – 5 ppm FeCl3(besi klorida) dan 1 – 5 ppm EDTA.
Kultur diatom skala laboraturium dapat menggunakan pupuk dengan komposisi KNO3 80 – 100 ppm, NaH2PO4 10 – 15 ppm, Na2SiO3 10 – 15 ppm, FeCl3 5 – 10 ppm dan EDTA 5 – 10 ppm. Sedangkan untuk kultur semi missal digunakan pupuk Urea 60 g/ton, NaH2PO4 8 g/ton, Na2SiO3 6 g/ton, FeCl3 1 g/ton dan EDTA 5 g/ton (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Menurut Sudjiharno (2002), pupuk yang digunakan pada kultur fitoplankton skala laboraturium terbuat dari bahan kimia PA (pro analis) dengan dosis pemakaian 1 ml pupuk untuk 1 lt volume kultur. Untuk mempermudah pemakaiannya, pupuk terlebih dahulu dibuat stok pupuk cair. Sehubungan dengan hal tersebut Helyar (1997) dalam Muhaimin (2008) menyatakan bahwa pupuk cair mudah menyatu dengan media kultur dan kepekatannya dapat diatur sesuai dengan yang dibutuhkan.

2.4.2 Cara Kultur
Menurut Sudjiharno (2002), kultur fitoplankton memerlukan kondisi lingkungan yang terkendali, olehnya itu perlu dilengkapi dengan AC (Air Conditioner) agar suhu ruangan selalu terkendali dan ruangan terisolasi dari lingkungan luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Lebih lanjut ditambahkan bahwa dalam kultur skala laboraturium, kesterilan alat, bahan dan air media yang akan digunakan sangat dibutuhkan sehingga bebas dari kontaminasi organisme lain seperti jenis fitoplankton lainnya, zooplankton, protozoa dan bakteri yang bisa menjadi kompetitor dan predator bagi fitoplankton yang dikultur.
Kultur Chaetoceros sp. skala laboraturium dilakukan dengan beberapa tahapan yakni tahap isolasi, kultur di media agar dan kultur di media cair. Kultur Chaetoceros sp. di media cair dilakukan secara bertahap atau dilakukan dengan kultur bertingkat dimulai dari kultur dalam tabung reaksi volume 10 ml (test tube) sampai kultur pada wadah yang lebih besar mulai dari 100 ml – 5 liter (isnansetyo dan kurniastuty, 1995). Selanjutnya dikemukanan bahwa sebelum dilakukan penebaran bibit/inokulum, air media yang telah disterilkan perlu dipupuk terlebih dahulu.
Menurut Gusrina (2008), penebaran bibit fitoplankton harus dilakukan secara tepat, dimana bibit yang akan ditebar ke dalam media harus yang sudah dewasa. Volume bibit atau jumlah bibit yang yang dibutuhkan untuk penebaran dapat dihitung dengan rumus :
V1N1= V2N2
Dimana :
V1 : Volume bibit yang diperlukan (ml)
V2 : Volume kultur yang dibuat dalam gelas erlemeyer (ml)
N1 : Jumlah bibit per cc yang ditebar (sel/ml)
N2 : Jumlah bibit yang dikehendaki (sel/ml).
2.5 Kualitas Air
2.5.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang sangat menentukan tingkat kulaitas air suatu perairan khususnya media budidaya. Suhu secara tidak langsung merupakan faktor pembatas bagi organisme yang dibudidayakan. Baik suhu tinggi maupun suhu rendah mempengaruhi pertumbuhan dari organisme yang dibudidaya (Lesmana, 2005). Lebih lanjut ditambahkan bahwa suhu lingkungan sangat mempengruhi metabolisme organisme, konsumsi oksigen dan fisiologi tubuh akan mengalami kerusakan bahkan menyebabkan kematian.
Suhu memberikan peranan penting dalam kultur fitoplankton, karena sangat mempengaruhi aktifitas enzim dalam metabolisme sel (Graffith, 1983 dalam Nurliati, 1995). Selanjutnya dikemukakan bahwa semua spesies Chaetoceros sp. Toleran terhadap suhu tinggi.
Menurut Cahyaningsih, dkk (2005), Chaetoceros sp. toleran terhadap suhu tinggi. Pada suhu 400C spesies ini dapat hidup tetapi tidak dapat berkembang. Chaetoceros sp. Tumbuh normal pada kisaran suhu 20 - 300C dan tumbuh optimum pada kisaran suhu 25 - 300C.
2.5.2 Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Perubahan salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan osmose di dalam sel fitoplankton sehingga aktifitas sel menjadi terganggu. Fluktuasi salinitas juga dapat mempengaruhi pH sitoplasma sel dan menurunkan kegiatan enzim (Sudjiharno, 2002).
Menurut Isnansetyo dan kurniastuty (1995), Chaetoceros sp. tergolong spesies yang euryhaline. Toleransi salinitasnya sangat lebar yakni 6 – 50‰, Chaetoceros sp. salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. adalah 17 - 25 ‰.
2.5.3 pH
Menurut Kordi (2004) pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif pada pH rendah (keasaman tinggi) karena kandungan oksigen terlarut (DO) akan berkurang dan akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktifitas pernapasan naik dan selera makan organisme akuatik akan berkurang.
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan produksi diatom. Pada saat peningkatan pH melewati titik ambang maksimum maka kecepatan tumbuh diatom akan menurun (Angka dkk, 1976 dalam Nurliati, 1995). Selanjutnya ditambahkan oleh Pescod (1973) dalam Nurliati (1995) bahwa pH yang ideal untuk pertumbuhan diatom adalah 6,5 – 8,5.

2.6 Hipotesis
Penambahan dosis nitrat yang berbeda pada media kultur memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan Chaetoceros sp.

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian rencananya akan dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2009. Penelitian bertempat di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah.

3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Organisme Uji
Organisme uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah diatom jenis Chaetoceros sp.
3.2.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples (wadah penelitian), selang dan kran aerasi, blower, lampu TL 20 watt, mikroskop, cover glass, haemocytometer, gelas ukur, pipet skala, pipet tetes, tissue, pH meter, termometer, refraktometer.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bibit Chaetoceros sp., air laut, air tawar, pupuk dengan komposisi : Nitrat dan Posfat (NP), Silikat, Treace metal dan Vitamin.

3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Perlakuan
Perlakuan yang akan dicobakan selama penelitian adalah :
Perlakuan A : Tanpa penambahan nitrat
Perlakuan B : Penambahan nitrat dengan dosis 25 ppm
Perlakuan C : Penambahan nitrat dengan dosis 50 ppm
Perlakuan D : Penambahan nitrat dengan dosis 75 ppm
Perlakuan E : Penambahan nitrat dengan dosis 100 ppm

3.3.2 Cara Kerja

Hal yang pertama dilakukan adalah menyiapkan wadah dan peralatan yang akan digunakan. Wadah yang digunakan berupa toples plastik berkapasitas 1 liter, wadah dan peralatan yang akan digunkan terlebih dahulu disucihamakan dengan menggunakan deterjen dan kaporit sebanyak 100 ppm. Selanjutnya wadah dan peralatan tersebut dinetralkan dengan natrium thiosulfat 50 ppm.
Wadah yang telah disiapkan diisi dengan air laut steril sebanyak 900 ml. Kemudian ke dalam wadah yang berisi air media ditambahkan pupuk dengan komposisi : Nitrat posfat (NP), silikat, treace metal dan vitamin. Masing-masing pupuk ditambahkan sebanyak 1 ml ke dalam air media. Setelah itu dilakukan penebaran bibit Chaetoceros sp. sebanyak 80 x 104 sel/ml untuk setiap wadah penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Nukiyama (1976) dalam Muhaimin (2008) bahwa dalam kultur Chaetoceros sp. digunakan air laut sebanyak 80 – 90% dengan padat penebaran awal 100.000 – 800.000 sel/ml. Wadah tersebut kemudian diletakkan pada rak-rak kultur lalu diberi pencahayaan dengan lampu TL 20 watt sebanyak 2 buah untuk setiap perlakuan. Selama penelitian berlangsung wadah ditutup dan air medianya diberi aerasi terus menerus untuk menghindari pengendapan Chaetoceros sp. dan juga untuk menyuplai CO2.

3.3.3 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 4 ulangan, sehingga banyaknya satuan percobaan adalah 20 unit.

3.4 Parametar yang Diamati
3.4.1 Kepadatan Chaetoceros sp.
Pertumbuhan fitoplankton dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah banyaknya jumlah sel (kepadatan sel) (Takdir, 1990). Pertumbuhan populasi Chaetoceros sp. pada penelitian ini dilakukan setiap 12 jam sekali dengan mengambil air sampel sebanyak 1 ml/unit percobaan.
Untuk menghitung kepadatan sel Chaetoceros sp. digunakan haemocytometer. Mula-mula air sampel diambil dengan menggunakan pipet kemudian ditetskan diatas haemocytometer, selanjutnya kepadatan sel dihitung dibawah mikroskop dengan bantuan alat penghitung (hand counter). Kepadatan sel populasi Chaetoceros sp. Untuk setiap ml nya dihitung dengan menggunakan rumus menurut Mudjiman (2007 ).

∑Sel/ml = N x 104
Dimana : N = jumlah rata-rata sel.
3.4.3 Pengukuran Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah Suhu, pH dan salinitas. Parameter kualitas air, alat yang digunakan, dan waktu pengamatan tercantum pada Tabel 2. berikut :
Tabel 2. Parameter Kualitas Air yang Diukur , Alat/Metode yang Digunakan, dan Waktu Pengamatan Selama Penelitian
Parameter Alat/Metode Waktu Pengamatan Keterangan
Suhu (0C)
pH

Salinitas Termometer
pH meter/kertas lakmus

Refraktometer Setiap Hari
Setiap Hari

Setiap Hari Pagi dan sore
Pagi dan sore

Pagi dan sore

3.5 Analisa Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan model matematik menurut Gaspersz (1991), yaitu sebagai berikut :
Yij = µ + τi + єij
Dimana :
Yij : Respon terhadap perlakuan ke-i pada ulangan ke-j
µ : Nilai Tengah Umum Populasi
τi : Pengaruh Aditif Perlakuan ke-i
єij : Galat Percobaan dari perlakuan ke- i pada ulangan ke- j dengan asumsi єij ~ NI (µ=0; σ2)

i : Perlakuan (1,2,3, 4)
j : Ulangan (1,2,3,4)
Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diberikan, maka akan dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur).

Tidak ada komentar: