Rabu, 25 April 2012

Kerusakan Lingkungan Makin Parah


Kerusakan Lingkungan Makin Parah

LINGKUNGAN hidup menjadi isu sentral di abad ini. Bukan hanya di Tanah Air, di berbagai belahan dunia isu lingkungan semakin menonjol. Pembangunan yang semakin meningkat akan berisiko besar terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan lantaran fungsi dasar ekosistem yang menunjang kehidupan juga semakin rusak.Guna mencegah - setidaknya bisa mengurangi tingkat pencemaran lingkungan tersebut, pemerintah mengeluarkan PP (peraturan pemerintah) Nomor 54 Tahun 2000 tentang lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan - atau alternative dispute resolution (ADR). "PP ini sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya Pasal 30 dan 33, bukan tanpa dasar," kata Sudharto P Hadi, Deputi III Menneg LH (Menteri Negara Lingkungan Hidup) saat mensosialisasikan PP itu di Banjarmasin beberapa waktu lalu.
Keberadaan ADR tersebut sebetulnya merupakan respons masyarakat sendiri terhadap keterbatasan penanganan lingkungan oleh pengadilan. Dalam banyak kasus menurut Sudharto - sengketa lingkungan yang ditangani melalui jalur pengadilan acap kali tidak memuaskan bagi pihak-pihak yang bersengketa (masyarakat dan perusahaan misalnya). Pihak warga selalu berada di posisi yang lemah lantaran kesulitan memperlihatkan barang bukti. Dan menumpuknya berbagai perkara di pengadilan juga menjadi pendorong diberlakukannya ADR.
Selain itu ADR juga sejalan dengan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui jalur perundingan secara
teoritis jauh lebih efisien (tenaga dan waktu) serta bisa menjanjikan untuk bisa melahirkan kesepakatan yang win-win. "Jika kesepakatan ini tercapai tetap akan menjamin keberlanjutan hubungan di antara para pihak - bukan semakin gontok-gontokan," ujarnya.
Selain itu ADR juga diharapkan mampu mengakomodasikan daya kritis masyarakat yang semenjak reformasi digaungkan terus menonjol. Masyarakat tak lagi segan menyampaikan gagasan, kritik tajam dan protes ke arah penguasa bila mengenai sesuatu hal yang menurut mereka tidak sesuai.

***
PENYELESAIAN sengketa lingkungan selama ini memang sudah sering dilakukan dengan musyawarah yang ditengahi tokoh masyarakat/adat atau ulama di samping melalui jalur hukum di pengadilan. Namun ini pun belum membuahkan hasil maksimal karena berbagai faktor. Itulah sebabnya ADR yang akan difasilitasi lembaga penyedia jasa ini akan dibentuk di semua daerah dan diharapkan lebih terkoordinir, lebih terpadu dan sifatnya sukarela. "Kami jamin lembaga ini tidak akan meniadakan tradisi lokal yang menampilkan tokoh adat atau tokoh agama sebagaimana yang berlaku selama ini," ujarnya.
Namun demikian, dengan diberlakukannya PP ini diharapkan penyelesaian sengketa yang mendasarkan pada interest (berbagai kepentingan) melalui ADR bisa lebih besar porsinya dibanding penyelesaian melalui power seperti kekuasaan, unjuk rasa, perusakan, politik uang dan lainnya serta right base (pengadilan). Pada saat ini media yang menonjol dalam penyelesaian sengketa adalah power. "Semua pihak pasti sepaham dengan kami bahwa cara-cara ini mesti harus ditinggalkan," kata Sudharto.
Lembaga penyedia jasa berdasarkan PP tersebut-sebuah lembaga yang bebas, tidak memihak kepada siapa pun (para pihak). Hanya memberikan pelayanan kepada yang bersengketa dengan mendayagunakan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan dengan menyediakan pihak ketiga yang netral - baik melalui arbiter, mediator atau pihak ketiga lainnya. Dan yang diselesaikan lembaga penyedia jasa ini hanya lah perkara perdata.
Lembaga penyedia jasa bisa dibentuk oleh pemerintah dan oleh masyarakat sendiri. Yang dibentuk oleh pemerintah di tingkat pusat akan ditetapkan dan disetujui oleh Menteri Negara LH sendiri. Sedangkan di tingkat provinsi oleh gubernur - sementara di tingkat kabupaten/kota oleh bupati atau wali kota. Dan yang dibentuk masyarakat ditetapkan dengan akta notaris.
***
ADA persyaratan tertentu terhadap lembaga penyedia jasa ini. Yang dibentuk pemerintah terdapat ketentuan tak ada keberatan dari masyarakat dan harus diumumkan secara transparan kepada publik sekurang-kurangnya satu bulan di media massa atau melalui selebaran-selebaran. Ini penting sebagai salah satu bentuk fit and proper test (tes kelayakan dan kepatutan) agar para arbiter, mediator dan pihak ketiga lainnya adalah orang-orang yang memiliki integritas yang tinggi, track record yang baik, tidak kolusif dan semacamnya.

Akan halnya yang dibentuk masyarakat umum dengan ketetapan akta notaris dimaksudkan sebagai lembaga yang jelas bentuk keorganisasiannya, dasar dan tujuannya dan tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya yang jelas pula.
Baik yang dibentuk pemerintah maupun masyarakat, syarat utama keanggotaan lembaga ini adalah berpengalaman minimal lima tahun bagi mediator, cakap melakukan tindakan hukum, usia paling rendah 35 tahun bagi arbiter, dan 30 tahun bagi mediator atau pihak ketiga lainnya.
Namun guru besar manajemen lingkungan Undip (Universitas Diponegoro) Semarang ini menyatakan persyaratan ini agak sulit karena ADR merupakan lembaga baru. Penerapan ADR yang monumental dan bergaung hingga ke berbagai belahan dunia adalah kasus pencemaran Kali Tapak Semarang yang pernah ditangani Sudharto.
Setelah kasus itu, amat jarang penerapan ADR di tempat lain dan kemungkinan bisa dihitung seperti kasus Kali Sambong Batang Jateng, Sungai Ciujung Serang Jabar, kasus Sungai Siak Riau. "Jika ketentuan ini diberlakukan literally mungkin hanya beberapa orang yang memenuhi syarat," katanya.
Atas dasar inilah Prof Koesnadi Hardjosoemantri pada saat sosialisasi PP ini di Jakarta beberapa waktu lalu menyarankan, agar syarat ini diperlakukan luwes. Jika tak memenuhi syarat, maka seseorang yang telah lulus dari pelatihan ADR dari lembaga yang berwenang dipandang layak menjadi mediator. Sementara mengenai pengalaman di bidang LH setidaknya 5 tahun bagi mediator kiranya banyak yang bisa memenuhinya.
***
KARENA itulah dengan lahirnya PP ini harus segera ditindaklanjuti dengan pelatihan. Pelatihan selama ini dilakukan oleh ICEL (Indonesian Center of Environmental Law) bekerjasama dengan Undip Semarang. Bagi arbiter, persyaratan pengalaman yang diperlukan adalah paling sedikit 15 tahun.
Fungsi arbiter, mediator dan pihak ketiga lainnya sangat terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan pengembangannya dilakukan oleh asosiasi profesi. Persoalannya lanjut Sudharto, adalah bidang ADR relatif baru dan belum banyak orang yang menekuni sehingga sampai sekarang belum ada asosiasi profesi untuk mediator.
Anggota lembaga penyedia jasa yang bisa ditunjuk sebagai arbiter harus tunduk pada ketentuan arbitrase. Sementara anggota yang bisa ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga, harus disetujui para pihak, tak punya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, tak punya hubungan kerja dan tak punya hubungan finansial atas kesepakatan para pihak.
Penyelesaian sengketa LH melalui lembaga jasa ini dilakukan di mana para pihak mengajukan permohonan bantuan. Tembusannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dalam hal ini Bapedal (pusat) dan Bapedalda (daerah). "Artinya, lembaga ini hanya melakukan tugas jika ada permohonan dari berbagai pihak. Dan pemohon pun bebas memilih, mau yang dibentuk pemerintah atau yang dari masyarakat, silakan," ujarnya.
Instansi yang menerima tembusan pemohon wajib melakukan verifikasi paling lama 30 hari dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa. Verifikasi ini berkaitan dengan kebenaran fakta tentang sengketa LH, lokasi sengketa dan pihak yang bersengketa. Pada kasus PT KLI di Kaliwungu Kendal, verifikasi dilakukan untuk mengetahui kerusakan pantai dan tambak yang di klaim oleh warga sekitar.
Butir-butir kesepakatan antarpihak dirundingkan bersama dan setelah menjadi satu kesepakatan yang merupakan aturan perundingan. Aturan ini sangat penting sebagai rambu-rambu agar proses perundingan berjalan lancar. Pada kasus PT KLI disepakati juga aturan tentang jumlah wakil para pihak, lama waktu penyampaian pendapat, otoritas dan hak menyampaikan rilis ke media massa.
Isi kesepakatan yang sudah ditandatangani bisa berupa besarnya ganti rugi dan melakukan tindakan tertentu untuk menjamin tidak terjadinya lagi dampak negatif terhadap lingkungan hidup dikemudian hari. Pendekatan pertama bisa disebut sebagai pendekatan ekonomi dan yang kedua pendekatan ekologi. Tapi keduanya harus dilakukan secara simultan sehingga bisa mengungkap secara jelas akar masalah yang disengketakan.
Ada kecenderungan kesepakatan perundingan berhenti pada soal ganti rugi. Jika hal ini yang terjadi maka, dikemudian hari akan menimbulkan tuntutan kambuhan karena akar masalahnya-sumber kerusakan/ pencemarannya tidak diungkap secara transparan.
Sebagai contoh kasus PT KLI tadi. PT KLI telah melakukan perundingan dengan warga masyarakat di Monorejo yang difasilitasi Pemda (pemerintah daerah) Kendal dengan sebagian warga Mangunharjo yang ditengahi Wali Kota Semarang. Hasil perundingan berakhir dengan pemberian tali asih. Ternyata terdapat 16 warga Mangunharjo yang lain menuntut lagi karena sumber masalahnya - kerusakan pantainya tidak tersentuh.
Dikatakan, hal lain yang krusial dalam kesepakatan adalah, perlunya pemantauan pelaksanaan kesepakatan meskipun dalam PP itu disebutkan bahwa kesepakatan para pihak didaftarkan di Panitera Pengadilan Negeri agar memiliki kekuatan eksekutorial. Namun demikian pemantauan yang dilakukan yang tertuang dalam kesepakatan akan tetap menjamin pelaksanaan kesepakatan sesuai dengan yang dirumuskan bersama.
Bapedal, Bapedalda provinsi dan kabupaten/kota diharapkan sesegera mungkin merespons dengan menyiapkan tenaga terampil yang berwawasan lingkungan dan cerdas dalam bidang hukum. Secara substansi lembaga penyedia jasa ini harus mampu menciptakan suasana kondusif agar penyelesaian sengketa melalui ADR bisa menjadi pilihan terbaik bagi para pihak. Suasana kondusif dimaksud adalah menjauhkan dari pola kerja yang bersifat birokratis.
Kalangan dunia usaha harus juga menyadari bahwa berubahnya pendulum kekuasaan kepada pendulum kerakyatan saat ini ditandai dengan pola penyelesaian yang berdasarkan pada asas musyawarah-bukan tekanan apalagi kekuasaan (power).
Tentang biaya operasional termasuk biaya perundingan - untuk penyedia jasa yang dibentuk pemerintah selain bersumber dari para pihak atau pihak ketiga yang tidak mengikat juga dari pemerintah sendiri. Namun bagaimana dengan lembaga penyedia jasa yang dibentuk masyarakat kepada siapa dan instansi mana biaya operasionalnya dibebankan? Yang pasti perangkap hukum lingkungan ini memang menjanjikan berbagai harapan, namun kesungguhan kita melaksanakannya di lapangan perlu diuji. (bal)



Tidak ada komentar: