Kerusakan Lingkungan Makin Parah
LINGKUNGAN hidup menjadi isu sentral
di abad ini. Bukan hanya di Tanah Air, di berbagai belahan dunia isu lingkungan
semakin menonjol. Pembangunan yang semakin meningkat akan berisiko besar
terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan lantaran fungsi dasar ekosistem
yang menunjang kehidupan juga semakin rusak.Guna mencegah - setidaknya bisa
mengurangi tingkat pencemaran lingkungan tersebut, pemerintah mengeluarkan PP
(peraturan pemerintah) Nomor 54 Tahun 2000 tentang lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan - atau alternative dispute resolution (ADR).
"PP ini sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya Pasal 30 dan 33, bukan tanpa
dasar," kata Sudharto P Hadi, Deputi III Menneg LH (Menteri Negara
Lingkungan Hidup) saat mensosialisasikan PP itu di Banjarmasin beberapa waktu
lalu.
Keberadaan ADR tersebut sebetulnya
merupakan respons masyarakat sendiri terhadap keterbatasan penanganan
lingkungan oleh pengadilan. Dalam banyak kasus menurut Sudharto - sengketa
lingkungan yang ditangani melalui jalur pengadilan acap kali tidak memuaskan
bagi pihak-pihak yang bersengketa (masyarakat dan perusahaan misalnya). Pihak
warga selalu berada di posisi yang lemah lantaran kesulitan memperlihatkan
barang bukti. Dan menumpuknya berbagai perkara di pengadilan juga menjadi
pendorong diberlakukannya ADR.
Selain itu ADR juga sejalan dengan
budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui jalur perundingan secara
teoritis jauh lebih efisien (tenaga dan waktu) serta bisa menjanjikan untuk bisa melahirkan kesepakatan yang win-win. "Jika kesepakatan ini tercapai tetap akan menjamin keberlanjutan hubungan di antara para pihak - bukan semakin gontok-gontokan," ujarnya.
teoritis jauh lebih efisien (tenaga dan waktu) serta bisa menjanjikan untuk bisa melahirkan kesepakatan yang win-win. "Jika kesepakatan ini tercapai tetap akan menjamin keberlanjutan hubungan di antara para pihak - bukan semakin gontok-gontokan," ujarnya.
Selain itu ADR juga diharapkan mampu
mengakomodasikan daya kritis masyarakat yang semenjak reformasi digaungkan
terus menonjol. Masyarakat tak lagi segan menyampaikan gagasan, kritik tajam
dan protes ke arah penguasa bila mengenai sesuatu hal yang menurut mereka tidak
sesuai.
***
PENYELESAIAN sengketa lingkungan
selama ini memang sudah sering dilakukan dengan musyawarah yang ditengahi tokoh
masyarakat/adat atau ulama di samping melalui jalur hukum di pengadilan. Namun
ini pun belum membuahkan hasil maksimal karena berbagai faktor. Itulah sebabnya
ADR yang akan difasilitasi lembaga penyedia jasa ini akan dibentuk di semua
daerah dan diharapkan lebih terkoordinir, lebih terpadu dan sifatnya sukarela.
"Kami jamin lembaga ini tidak akan meniadakan tradisi lokal yang
menampilkan tokoh adat atau tokoh agama sebagaimana yang berlaku selama
ini," ujarnya.
Namun demikian, dengan
diberlakukannya PP ini diharapkan penyelesaian sengketa yang mendasarkan pada interest (berbagai kepentingan) melalui
ADR bisa lebih besar porsinya dibanding penyelesaian melalui power seperti kekuasaan, unjuk rasa,
perusakan, politik uang dan lainnya serta right
base (pengadilan). Pada saat ini media yang menonjol dalam penyelesaian
sengketa adalah power. "Semua
pihak pasti sepaham dengan kami bahwa cara-cara ini mesti harus
ditinggalkan," kata Sudharto.
Lembaga penyedia jasa berdasarkan PP
tersebut-sebuah lembaga yang bebas, tidak memihak kepada siapa pun (para
pihak). Hanya memberikan pelayanan kepada yang bersengketa dengan
mendayagunakan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan dengan menyediakan
pihak ketiga yang netral - baik melalui arbiter, mediator atau pihak ketiga
lainnya. Dan yang diselesaikan lembaga penyedia jasa ini hanya lah perkara
perdata.
Lembaga penyedia jasa bisa dibentuk
oleh pemerintah dan oleh masyarakat sendiri. Yang dibentuk oleh pemerintah di
tingkat pusat akan ditetapkan dan disetujui oleh Menteri Negara LH sendiri.
Sedangkan di tingkat provinsi oleh gubernur - sementara di tingkat
kabupaten/kota oleh bupati atau wali kota. Dan yang dibentuk masyarakat
ditetapkan dengan akta notaris.
***
ADA persyaratan tertentu terhadap
lembaga penyedia jasa ini. Yang dibentuk pemerintah terdapat ketentuan tak ada
keberatan dari masyarakat dan harus diumumkan secara transparan kepada publik
sekurang-kurangnya satu bulan di media massa atau melalui selebaran-selebaran.
Ini penting sebagai salah satu bentuk fit
and proper test (tes kelayakan dan kepatutan) agar para arbiter, mediator
dan pihak ketiga lainnya adalah orang-orang yang memiliki integritas yang
tinggi, track record yang baik, tidak
kolusif dan semacamnya.
Akan halnya yang dibentuk masyarakat
umum dengan ketetapan akta notaris dimaksudkan sebagai lembaga yang jelas
bentuk keorganisasiannya, dasar dan tujuannya dan tertuang dalam anggaran dasar
dan anggaran rumah tangganya yang jelas pula.
Baik yang dibentuk pemerintah maupun
masyarakat, syarat utama keanggotaan lembaga ini adalah berpengalaman minimal
lima tahun bagi mediator, cakap melakukan tindakan hukum, usia paling rendah 35
tahun bagi arbiter, dan 30 tahun bagi mediator atau pihak ketiga lainnya.
Namun guru besar manajemen lingkungan
Undip (Universitas Diponegoro) Semarang ini menyatakan persyaratan ini agak
sulit karena ADR merupakan lembaga baru. Penerapan ADR yang monumental dan
bergaung hingga ke berbagai belahan dunia adalah kasus pencemaran Kali Tapak
Semarang yang pernah ditangani Sudharto.
Setelah kasus itu, amat jarang
penerapan ADR di tempat lain dan kemungkinan bisa dihitung seperti kasus Kali
Sambong Batang Jateng, Sungai Ciujung Serang Jabar, kasus Sungai Siak Riau.
"Jika ketentuan ini diberlakukan literally
mungkin hanya beberapa orang yang memenuhi syarat," katanya.
Atas dasar inilah Prof Koesnadi
Hardjosoemantri pada saat sosialisasi PP ini di Jakarta beberapa waktu lalu
menyarankan, agar syarat ini diperlakukan luwes. Jika tak memenuhi syarat, maka
seseorang yang telah lulus dari pelatihan ADR dari lembaga yang berwenang
dipandang layak menjadi mediator. Sementara mengenai pengalaman di bidang LH
setidaknya 5 tahun bagi mediator kiranya banyak yang bisa memenuhinya.
***
KARENA itulah dengan lahirnya PP ini
harus segera ditindaklanjuti dengan pelatihan. Pelatihan selama ini dilakukan
oleh ICEL (Indonesian Center of Environmental Law) bekerjasama dengan Undip
Semarang. Bagi arbiter, persyaratan pengalaman yang diperlukan adalah paling
sedikit 15 tahun.
Fungsi arbiter, mediator dan pihak
ketiga lainnya sangat terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan
pengembangannya dilakukan oleh asosiasi profesi. Persoalannya lanjut Sudharto,
adalah bidang ADR relatif baru dan belum banyak orang yang menekuni sehingga
sampai sekarang belum ada asosiasi profesi untuk mediator.
Anggota lembaga penyedia jasa yang
bisa ditunjuk sebagai arbiter harus tunduk pada ketentuan arbitrase. Sementara
anggota yang bisa ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga, harus disetujui
para pihak, tak punya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua, tak punya hubungan kerja dan tak punya hubungan finansial atas
kesepakatan para pihak.
Penyelesaian sengketa LH melalui
lembaga jasa ini dilakukan di mana para pihak mengajukan permohonan bantuan.
Tembusannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan dalam hal ini Bapedal (pusat) dan Bapedalda (daerah). "Artinya,
lembaga ini hanya melakukan tugas jika ada permohonan dari berbagai pihak. Dan
pemohon pun bebas memilih, mau yang dibentuk pemerintah atau yang dari
masyarakat, silakan," ujarnya.
Instansi yang menerima tembusan
pemohon wajib melakukan verifikasi paling lama 30 hari dan menyampaikan
hasilnya kepada lembaga penyedia jasa. Verifikasi ini berkaitan dengan
kebenaran fakta tentang sengketa LH, lokasi sengketa dan pihak yang
bersengketa. Pada kasus PT KLI di Kaliwungu Kendal, verifikasi dilakukan untuk
mengetahui kerusakan pantai dan tambak yang di klaim oleh warga sekitar.
Butir-butir kesepakatan antarpihak
dirundingkan bersama dan setelah menjadi satu kesepakatan yang merupakan aturan
perundingan. Aturan ini sangat penting sebagai rambu-rambu agar proses
perundingan berjalan lancar. Pada kasus PT KLI disepakati juga aturan tentang
jumlah wakil para pihak, lama waktu penyampaian pendapat, otoritas dan hak
menyampaikan rilis ke media massa.
Isi kesepakatan yang sudah
ditandatangani bisa berupa besarnya ganti rugi dan melakukan tindakan tertentu
untuk menjamin tidak terjadinya lagi dampak negatif terhadap lingkungan hidup
dikemudian hari. Pendekatan pertama bisa disebut sebagai pendekatan ekonomi dan
yang kedua pendekatan ekologi. Tapi keduanya harus dilakukan secara simultan
sehingga bisa mengungkap secara jelas akar masalah yang disengketakan.
Ada kecenderungan kesepakatan perundingan
berhenti pada soal ganti rugi. Jika hal ini yang terjadi maka, dikemudian hari
akan menimbulkan tuntutan kambuhan karena akar masalahnya-sumber kerusakan/
pencemarannya tidak diungkap secara transparan.
Sebagai contoh kasus PT KLI tadi. PT
KLI telah melakukan perundingan dengan warga masyarakat di Monorejo yang
difasilitasi Pemda (pemerintah daerah) Kendal dengan sebagian warga Mangunharjo
yang ditengahi Wali Kota Semarang. Hasil perundingan berakhir dengan pemberian
tali asih. Ternyata terdapat 16 warga Mangunharjo yang lain menuntut lagi
karena sumber masalahnya - kerusakan pantainya tidak tersentuh.
Dikatakan, hal lain yang krusial
dalam kesepakatan adalah, perlunya pemantauan pelaksanaan kesepakatan meskipun
dalam PP itu disebutkan bahwa kesepakatan para pihak didaftarkan di Panitera
Pengadilan Negeri agar memiliki kekuatan eksekutorial. Namun demikian
pemantauan yang dilakukan yang tertuang dalam kesepakatan akan tetap menjamin
pelaksanaan kesepakatan sesuai dengan yang dirumuskan bersama.
Bapedal, Bapedalda provinsi dan
kabupaten/kota diharapkan sesegera mungkin merespons dengan menyiapkan tenaga
terampil yang berwawasan lingkungan dan cerdas dalam bidang hukum. Secara
substansi lembaga penyedia jasa ini harus mampu menciptakan suasana kondusif agar
penyelesaian sengketa melalui ADR bisa menjadi pilihan terbaik bagi para pihak.
Suasana kondusif dimaksud adalah menjauhkan dari pola kerja yang bersifat
birokratis.
Kalangan dunia usaha harus juga
menyadari bahwa berubahnya pendulum kekuasaan kepada pendulum kerakyatan saat
ini ditandai dengan pola penyelesaian yang berdasarkan pada asas
musyawarah-bukan tekanan apalagi kekuasaan (power).
Tentang biaya operasional termasuk
biaya perundingan - untuk penyedia jasa yang dibentuk pemerintah selain bersumber
dari para pihak atau pihak ketiga yang tidak mengikat juga dari pemerintah
sendiri. Namun bagaimana dengan lembaga penyedia jasa yang dibentuk masyarakat
kepada siapa dan instansi mana biaya operasionalnya dibebankan? Yang pasti
perangkap hukum lingkungan ini memang menjanjikan berbagai harapan, namun
kesungguhan kita melaksanakannya di lapangan perlu diuji. (bal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar