Sabtu, 31 Maret 2012

PERAN PEMERINTAH DALAM SEKTOR PERIKANAN UNTUK PENGEMBANGAN MASYARAKAT DESA NELAYAN


ABSTRAK
Salah satu usaha yang cukup menjanjikan untuk masa depan yang cerah ialah bergelut dalam dunia perikanan. Mengapa demikian? Karena secara garis besar potensi laut yang dimiliki Indonesia lebih kaya dan luas disbanding daratannya. Namun terkadang masih ada masalah yang sering muncul terutama bagi para nelayan yang berada dipinggir pesisir masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. Sehingga campur tangan pemerintah dalam usaha untuk meminimalisir segenap masalah yang ada. Setidaknya dengan program pemerintah yang dijalankan untuk bidang perikanan diharapkan sedikit ada perubahan tingkat kesejahteraan untuk masyarakan nelayan pesisir yang juga mempunyai peranan penting dalam perputaran roda kehidupan kita.
Hal yang mungkin tidak tampak oleh masyarakat umum mengenai kehidupan masyarakat pesisir ialah keterbatasan dari segi ekonomi yang biasanya pula disebabkan oleh ulah orang-orang yang bergelut dikepemerintahan yang tidak bertangggung jawab. Maka dari itu pihak yang berperan penting untuk kembali memulihkan keadaan yang optimal ialah pihak pemerintah juga yang harus didukung oleh segenap masyarakat umum agar tercapai apa yang diharapkan.






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor perikanan di Indonesia (terutama di Propinsi Riau) mempunyai peranan yang cukup penting, terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan. Dari sektor ini dimungkinkan akan menghasilkan protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, meningkatkan ekspor, menyediakan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mendukung pembangungn wilayah Propinsi Riau dan tentunya dengan tetap memperhatikan kelestarian dan fungsi lingkungan hidup.
Menurut Laporan Kompas 23 Juli 2008, dikatakan bahwa masalah perikanan dan nelayan saat ini semakin terpuruk dengan himpitan ekonomi, harga BBM, dan teknologi yang sangat rendah menyebabkan kaum nelayan selalu berada di lapisan paling bawah dalam sektor pembangunan pertanian dan perikanan. Keberpihakan pemerintah dan lembaga terkait lainnya belum mampu menyejahterakan mereka.
Pada hal konsep pembangunan perikanan modern pada dasarnya merupakan suatu pembangunan perikanan yang berorientasi agribisnis. Sasaran akhirnya adalah meningkatkan pendapatan sekaligus kesejahteraan bagi para nelayan.
Karenanya pembangunan perikanan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap.
B. Rumusan Masalah
Salah satu model pengembangan sektor pertanian dan perikanan yang dewasa ini mulai digalakkan adalah pengembangan agribisnis. Dalam pola ini nelayan diarahkan berubah polanya dari minimalisasi profit ke arah maksimalisasi profit. Oleh karena sistem agribisnis merupakan suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangan agribisnis perikanan ini sangat tergantung kepada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi sub-sistemnya dan bukan hanya para nelayan saja sebagai subyek dan obyeknya. Untuk itu tulisan ini akan mencoba menganalisis kebijakan sektor perikanan, utamanya mengenai pengembangan agribisnis yang mungkin akan diterapkan juga di daerah Propinsi Riau.

C. Maksud dan Tujuan
Dari skema di atas tampak bahwa kebijakan sosial bertujuan untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan sosial masyarakat. Selanjutnya dalam garis besarnya, kebijakan sosial diwujudkan dalam 3 kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (Midgley, 2000). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah sosial dan kehidupan sosial adalaj wujud dari kebijakan sosial. Namun tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat (Suharto, 2006).
Dengan demikian arti kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif, kuratif, dan pengembangan.
Selanjutnya dikatakan oleh Suharto (2005), dalam konteks pembangunan social, kebijakan social merupakan suatu perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan social. Tujuan sosial ini mengandung 2 pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan masalah social dan memenuhi kebutuhan social.

Berkaitan dengan kebijakan perikanan di bidang agribisnis, juga merupakan kebijakan sosial di mana yang terungkap sejauh ini memberikan kesan kepada kita bahwa agribisnis adalah suatu corak pertanian tertentu dengan jati diri yang berbeda dengan pertanian tradisional (yang dilakoni mengikuti budidaya yang berakar pada adat istiadat dari komunitas tradisional) maupun dari pertanian hobi yang tidak mendambakan nilai tambah komersial.
Agribisnis adalah pertanian yang organisasi dan manajemennya secara rasional dirancang untuk mendapatkan nilai tambah komersial yang maksimal dengan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diminta pasar. Oleh karena itu dalam agribisnis proses transformasi material yang diselenggarakan tidak terbatas kepada budidaya proses biologik dari biota (tanaman, ternak, ikan) tetapi juga proses pra usahatani, pasca panen, pengolahan dan niaga yang secara struktural diperlukan untuk memperkuat posisi adu tawar (bargaining) dalam interaksi dengan mitra transaksi di pasar. Ikatan keterkaitan fungsional dari kegiatan pra usahatani, budidaya, pasca panen, pengolahan, pengawetan dan pengendalian mutu serta niaga perlu terwadahi secara terpadu dalam suatu sistem agribisnis yang secara sinkron menjamin kinerja dari masing-masing satuan sub proses itu menjadi pemberi nilai tambah yang menguntungkan, baik bagi dirinya maupun secara keseluruhan.
Secara konsepsional sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usahatani dan agroindustri, yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem, yaitu:
(a) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian;
(b) subsistem budidaya atau usahatani;
 (c ) subsistem pengolahan hasil atau agroindustri, dan
 (d) subsistem pemasaran hasil;
(e) subsistem prasarana dan
 (f) subsistem pembinaan.
BAB III
PEMBAHASAN
Sebagai industri yang bertumpu kepada proses biologis, dunia perikanan adalah dunia pedesaan. Data statistik menunjukkan lebih dari 54 persen dari angkatan kerja pedesaan bermata pencaharian di bidang pertanian/perikanan dengan rata-rata pendapatan relatif lebih rendah dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang bekerja di sektor lain dan yang tinggal di perkotaan. Rendahnya pendapatan penduduk pedesaan, terutama yang bekerja di sektor perikanan ada hubungannya dengan struktur pedesaan yang kurang kondusif bagi perkembangan agribisnis yang dinamik dan kompetitif, karena sosok usahatani perikanan yang lemah prasarana, fisik dan non fisik yang masih belum memadai, serta terbatasnya jangkauan pasar.
Kita semua mengetahui bahwa hampir sebagian besar produksi hasil perikanan adalah hasil jerih payah nelayan yang bertumpu kepada usahatani keluarga , yang didukung dengan sumberdaya manusia dan iptek yang masih tertinggal. Kondisi struktural demikian itu menyebabkan terbatasnya kemampuan nelayan untuk menjangkau sarana produksi dan kesempatan memperoleh sinergi yang diperlukannya untuk berkembang.
Ditinjau dari aspek dukungan pendanaan dari perbankan, ternyata investasi perikanan juga sangat kurang diminati dunia usaha. Hal ini menjadi salah satu indikator dari adanya suku bunga perbankan yang dirasakan terlalu tinggi untuk usahatani di pedesaan dan fakta bahwa lembaga dan sistem perbankan belum sepenuhnya menjangkau nelayan, baik dari segi kelembagaan maupun prosedurnya. Andaikata jangkauan tersebut sampai kepada sasarannya, ternyata lembaga perbankan justru telah menjadi sarana untuk mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan, karena pedesaan lebih banyak menyimpan daripada meminjam. Disini terlihat bahwa ketertinggalan dan keterbatasan nelayan ternyata merupakan faktor kondisional yang berada dibalik mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan tersebut.
Kondisi lain yang ikut memperlambat laju penanaman modal di sektor pertanian khususnya perikanan adalah keharusan untuk sejak awal menerapkan pendekatan terpadu yang utuh. Produk perikanan mempunyai karakteristik yang mudah rusak dan bervolume dengan dibandingkan nilainya. Penanganan pasca panen, penyimpanan , pengolahan, pengangkutan dan lancarnya pemasaran menjadi sangat penting. Apabila penanam modal tidak mampu menerapkan prinsip integrasi vertikal dalam investasinya, maka ia terpaksa harus bergantung kepada adanya investasi lain yang menjamin hadirnya semua mata rantai yang diperlukan agar produknya dapat dipasarkan dengan baik.
Kebijakan perikanan sebenarnya telah disusun memenuhi sistem agribisnis yang diharapkan, yaitu salah satunya adalah berusaha meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Namun dalam kenyataannya pola ini masih berkembang untuk beberapa desa di pedesaan Jawa, dan belum menyentuh ke Propinsi Riau.
Untuk itu ke depan kiranya perlu dipikirkan pembangunan prasarana dan sarana yang memadai guna mendukung budidaya perikanan yang potensial melalui kajian yang memadai. Propinsi Riau merupakan sentra perikanan yang strategis karena letaknya berupa perairan dan laut.


BAB IV
PENUTUP
Keberhasilan suatu kebijakan apabila pada salah satu programnya terdapat pilot proyek yang benar-benar mengikuti aturan yang ada pada kebijakan tersebut. Maka pembangunan perikanan berwawasan agribisnis bukan lagi sekedar bertumpu pada persoalan produksi semata-mata, akan tetapi lebih berwawasan kepada peningkatan pendapatan dan mutu kehidupan yang lebih baik, dan itu sangat layak dikembangkan untuk kasus Propinsi Riau.
Kebijakan perikanan yang perlu dikembangkan tersebut perlu disusun berdasarkan alur proses perencanaan pembangunan perikanan, yaitu telah mengetahui situasi lingkungan dalam rangka pembangunan perikanan, misalnya telah mengetahui permasalahan, dan peluang yang akan dihadapi dalam pembangunan perikanan. Sehingga kebijakan yang dibuat telah mengacu kepada hasil analisa situasi lingkungan tersebut.

Tidak ada komentar: