Selasa, 13 Maret 2012

Kisah: Aku Tidak Sakit Hati


Kisah
Aku tidak
Sakit Hati
S

embilan bulan berselang, saat itu kurasakan sesuatu penyakit yang aku sendiri tidak tahu sakit apa sesungguhnya? Tetapi badanku terasa lemah. Semakin hari berat badanku juga semakin menurun. Wajahku pucat, sekujur tubuhku berwarna kuning. Mulai dari telapak tangan sampai mataku berwarna kuning, tetapi tak pernah kuhiraukan. Sampai akhirnya kerabatku tidak tega melihat keadaanku seperti ini, mereka membawaku ke rumah sakit. Beberapa hari di opname. Maklumlah aku hanya penggali makam, jangankan untuk berobat, untuk makanpun aku sudah susah.
  Berhari-hari dirumah sakit. Anehnya, tidak satupun baik dokter maupun keluargaku –sepertinya mereka sepakat yang memberitakukan apa sebenarnya sakitku ini. Setiap kali kutanya mereka selalu berkata sakit biasa katanya. Tapi aku melihat wajah ketegangan dan kepanikan tampak ada pada mereka. Aku mulai curiga seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Kini praktis aku tidak mampu lagi beraktivitas apapun. Memang aku bukan pedagang ataupun
orang kantoran. Tetapi setidak-tidaknya pekerjaanku sedikit banyak bermanfaat untuk oranglain. Walau jasaku ini tidak pernah diketahui oleh orang yang kubantu penggalian makamnya.
Yaa aku hanya penggali kubur, pekerjaan yang tidak banyak diminati orang, tetapi semua ini kukerjakan ddengan perasaan yang ikhlas. Aku tidak pernah membedakan orangkaya atau orang miskin, pejabat atau bukan, baik ukurannya pendek dan panjang ataupun kedalamannya. Memang tidak setiap hari, tetapi tidak menutup kemungkinan sehari tidak lebih dari 1 kali menggali makam. Tergangtung berapa banyak orang yang meninggal, bahkan pernah suatu hari aku harus menggali 3 sampai 4 kali. Memang tidak sendirian, dibantu oleh beberapa keponakanku. Tetapi pekerjaan ini cukup banyak menguras tenagaku. Kalau sudah begini, praktis mulai ba’da Subuh sampai menjelang Ashar akau harus standbay.
Aku mencoba bertanya lagi kepada dokter tentang apa penyakitku ini. Kembali dokter hanya menjawab,”Sabar ya, pak!” Demikian juga keluargaku ,”Sabar-sabar…, apa menunggu sampai mati?” jawabku sedikit marah. Kudesak terus-menerus untuk mengatakan penyakitku sebenarnya. Sampai akhirnya salah satu dari mereka membisikkan sesuatu kepadaku,”Dokter bilang sampeyan saki tumor hati, kata dokter nama penyakitnya Shyrocis”. Tetapi aku semakin bingung dibuatnya. “Shyrocis itu apa?” tanyaku. “Aku juga nggak tau kang. Lebih baik sampeyan tanya sendiri ke dokternya”. Aku berkata,”Begitu saja tidak bilang dari kemarin-kemarin.”
Besoknya kutanyakan langsung pada dokter,”Dok, apa benar saya menderita penyakit Shyrocis?” Dokter itu terdiam sejenak dan menarik nafas panjang sambil menganggukkan kepala. “Shyrocis itu apa sihh dokter?” Lantas dokter menjelaskan kepadaku, “kemungkinan untuk sembuh sangat tipis.” Tetaoi Subhanallah aku begitu pasrah menerima semua ini. Bahkan akupun sempat bercanda,”Begitu saja kok menangis? Aku sudah siap mati kok. Lagi pula aku sudah sering lihat orang mati. Tetapi yang jelas aku dapat menggali kubur aku sendiri. Apa ada cara agar saya sehat kembali? Apakah ada obat khusus untuk saya?” Dokter hanya menggeleng.  “Hanya ada satu cara dengan mencangkok hati, itu pun harus diluar negeri dengan biaya yang amat sangat mahal, ssekian milyar.” Kami semua terdiam dan satu persatu meninggalkan aku sendirian.
Kudengar mereka seperti merundingkan sesuatu. Tetapi yang aku dengar umurku tidak panjang lagi. Jangankan mencangkok hati, untuk memperbaiki gubukku yang reok di pinggir makam saja aku tidak mampu. Siapa yang peduli dengan orang sepertiku ini. Mereka hanya peduli dengan upacara-upacara ritual, karangan-karangan bunga yang terkadang menghabiskan dana sampai jutaan rupiah. Aku sendiri kadang merinding, kalau teringat aku pun kelak akan digalikan kubur. Tak terasa, air mataku menetes teringat akan  kedua anakku kelak menjadi yatim dan istriku akan menjadi janda yang miskin. Pedulikah mereka?
Tiga hari kemudian aku terpaksa dibawa pulang, karena tidak ada biaya lagi untuk berobat di rumah sakit. Kini aku berikhtiar dengan mencari pengobatan yang lain. Sampai akhirnya aku bertemu seorang pedagang ayam keliling ketika dia mengunjungiku di rumah. Akupun dianjurkan dengan pengobatan Tibbun Nabawi, begitu katanya. Tetapi aku tidak mengerti apa itu Tibbun Nabawi, ternyata itu pengobatan cara Nabi dan melalui temanku inilah keadaanku diceritakan kepada seorang tabib yang ahli dalam hal ini. Diberinya aku beberapa kapsul berwarna hitam pekat. Setelah kuminum kapsul itu beberapa kali, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang meletus dalam tubuhku. Awalnya aku ketakutan bukan main dan perasaan was-was. Jangan-jangan perutku akan rontok, tetapi Alhamdulillah semakin hari kurasakan keadaanku semakin membaik. Kini warna kuning disekujur tubuhku sudah mulai menghilang dan sedikit-sedikit aku mulai beraktivitas di sekitar rumah. Kalau dokter bilang umurku tinggal tiga bulan, kini bulan kesembilan.
Saat aku memeriksakan kembali penyakitku, dokter itu tertegun dan menyampaikan keheranannya. Tetapi dokter tidak berani mengatakan aku sembuh total. Kini aku bertambah yakin Allah yang member penyakit, dan Allah juga yang memberi obatnya. Memang secara zhohir hatiku terkena penyakit. Tetapi secara ruh sesungguhnya aku tidak sakit hati.
“Sesungguhnya ada segumpal darah yang disebut hati, apabila hati itu baik maka baiklah dia, teapi sebaliknya apabila hati itu buruk maka buruklah seluruhnya.”
“Yaa Robb pemberi kebaikan, perbaikilah hatiku baik secara zhohir maupun batin.” Amin.




Mandalle, 11 Januari 2012
Nurdin. R

Tulisan asli
Hilmy Hamid Mahri
Al-Maa’uun, Kota Baru
Dalam majalah islami
Qiblati, edisi 09 tahun IV 

Tidak ada komentar: