Kisah
Aku tidak
Sakit Hati
S
|
embilan bulan berselang, saat itu
kurasakan sesuatu penyakit yang aku sendiri tidak tahu sakit apa sesungguhnya?
Tetapi badanku terasa lemah. Semakin hari berat badanku juga semakin menurun.
Wajahku pucat, sekujur tubuhku berwarna kuning. Mulai dari telapak tangan
sampai mataku berwarna kuning, tetapi tak pernah kuhiraukan. Sampai akhirnya
kerabatku tidak tega melihat keadaanku seperti ini, mereka membawaku ke rumah
sakit. Beberapa hari di opname. Maklumlah aku hanya penggali makam, jangankan
untuk berobat, untuk makanpun aku sudah susah.
Berhari-hari dirumah sakit. Anehnya, tidak
satupun baik dokter maupun keluargaku –sepertinya mereka sepakat yang
memberitakukan apa sebenarnya sakitku ini. Setiap kali kutanya mereka selalu
berkata sakit biasa katanya. Tapi aku melihat wajah ketegangan dan kepanikan
tampak ada pada mereka. Aku mulai curiga seperti ada sesuatu yang
disembunyikan.
Kini
praktis aku tidak mampu lagi beraktivitas apapun. Memang aku bukan pedagang
ataupun
orang kantoran. Tetapi setidak-tidaknya pekerjaanku sedikit banyak bermanfaat untuk oranglain. Walau jasaku ini tidak pernah diketahui oleh orang yang kubantu penggalian makamnya.
orang kantoran. Tetapi setidak-tidaknya pekerjaanku sedikit banyak bermanfaat untuk oranglain. Walau jasaku ini tidak pernah diketahui oleh orang yang kubantu penggalian makamnya.
Yaa aku
hanya penggali kubur, pekerjaan yang tidak banyak diminati orang, tetapi semua
ini kukerjakan ddengan perasaan yang ikhlas. Aku tidak pernah membedakan
orangkaya atau orang miskin, pejabat atau bukan, baik ukurannya pendek dan
panjang ataupun kedalamannya. Memang tidak setiap hari, tetapi tidak menutup
kemungkinan sehari tidak lebih dari 1 kali menggali makam. Tergangtung berapa
banyak orang yang meninggal, bahkan pernah suatu hari aku harus menggali 3
sampai 4 kali. Memang tidak sendirian, dibantu oleh beberapa keponakanku.
Tetapi pekerjaan ini cukup banyak menguras tenagaku. Kalau sudah begini,
praktis mulai ba’da Subuh sampai menjelang Ashar akau harus standbay.
Aku
mencoba bertanya lagi kepada dokter tentang apa penyakitku ini. Kembali dokter
hanya menjawab,”Sabar ya, pak!” Demikian juga keluargaku ,”Sabar-sabar…, apa
menunggu sampai mati?” jawabku sedikit marah. Kudesak terus-menerus untuk
mengatakan penyakitku sebenarnya. Sampai akhirnya salah satu dari mereka
membisikkan sesuatu kepadaku,”Dokter bilang sampeyan saki tumor hati, kata
dokter nama penyakitnya Shyrocis”.
Tetapi aku semakin bingung dibuatnya. “Shyrocis
itu apa?” tanyaku. “Aku juga nggak tau kang. Lebih baik sampeyan tanya
sendiri ke dokternya”. Aku berkata,”Begitu saja tidak bilang dari
kemarin-kemarin.”
Besoknya
kutanyakan langsung pada dokter,”Dok, apa benar saya menderita penyakit Shyrocis?” Dokter itu terdiam sejenak
dan menarik nafas panjang sambil menganggukkan kepala. “Shyrocis itu apa sihh dokter?” Lantas dokter menjelaskan kepadaku,
“kemungkinan untuk sembuh sangat tipis.” Tetaoi Subhanallah aku begitu pasrah menerima semua ini. Bahkan akupun
sempat bercanda,”Begitu saja kok menangis? Aku sudah siap mati kok. Lagi pula
aku sudah sering lihat orang mati. Tetapi yang jelas aku dapat menggali kubur
aku sendiri. Apa ada cara agar saya sehat kembali? Apakah ada obat khusus untuk
saya?” Dokter hanya menggeleng. “Hanya
ada satu cara dengan mencangkok hati, itu pun harus diluar negeri dengan biaya
yang amat sangat mahal, ssekian milyar.” Kami semua terdiam dan satu persatu
meninggalkan aku sendirian.
Kudengar
mereka seperti merundingkan sesuatu. Tetapi yang aku dengar umurku tidak
panjang lagi. Jangankan mencangkok hati, untuk memperbaiki gubukku yang reok di
pinggir makam saja aku tidak mampu. Siapa yang peduli dengan orang sepertiku
ini. Mereka hanya peduli dengan upacara-upacara ritual, karangan-karangan bunga
yang terkadang menghabiskan dana sampai jutaan rupiah. Aku sendiri kadang
merinding, kalau teringat aku pun kelak akan digalikan kubur. Tak terasa, air
mataku menetes teringat akan kedua
anakku kelak menjadi yatim dan istriku akan menjadi janda yang miskin.
Pedulikah mereka?
Tiga hari
kemudian aku terpaksa dibawa pulang, karena tidak ada biaya lagi untuk berobat
di rumah sakit. Kini aku berikhtiar dengan mencari pengobatan yang lain. Sampai
akhirnya aku bertemu seorang pedagang ayam keliling ketika dia mengunjungiku di
rumah. Akupun dianjurkan dengan pengobatan Tibbun Nabawi, begitu katanya.
Tetapi aku tidak mengerti apa itu Tibbun Nabawi, ternyata itu pengobatan cara
Nabi dan melalui temanku inilah keadaanku diceritakan kepada seorang tabib yang
ahli dalam hal ini. Diberinya aku beberapa kapsul berwarna hitam pekat. Setelah
kuminum kapsul itu beberapa kali, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang meletus
dalam tubuhku. Awalnya aku ketakutan bukan main dan perasaan was-was.
Jangan-jangan perutku akan rontok, tetapi Alhamdulillah semakin hari kurasakan
keadaanku semakin membaik. Kini warna kuning disekujur tubuhku sudah mulai
menghilang dan sedikit-sedikit aku mulai beraktivitas di sekitar rumah. Kalau
dokter bilang umurku tinggal tiga bulan, kini bulan kesembilan.
Saat aku
memeriksakan kembali penyakitku, dokter itu tertegun dan menyampaikan
keheranannya. Tetapi dokter tidak berani mengatakan aku sembuh total. Kini aku
bertambah yakin Allah yang member penyakit, dan Allah juga yang memberi
obatnya. Memang secara zhohir hatiku terkena penyakit. Tetapi secara ruh
sesungguhnya aku tidak sakit hati.
“Sesungguhnya
ada segumpal darah yang disebut hati, apabila hati itu baik maka baiklah dia,
teapi sebaliknya apabila hati itu buruk maka buruklah seluruhnya.”
“Yaa Robb
pemberi kebaikan, perbaikilah hatiku baik secara zhohir maupun batin.” Amin.
Mandalle, 11 Januari
2012
Nurdin. R
Tulisan asli
Hilmy Hamid Mahri
Al-Maa’uun, Kota Baru
Dalam majalah islami
Qiblati, edisi 09 tahun
IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar