2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis)
Cakalang sering
disebut skipjack tuna
dengan nama lokal
cakalang. Adapun klasifikasi
cakalang menurut Matsumoto, et al (1984) adalah sebagai berikut :
Phylum
: Vertebrata
Class
: Telestoi
Ordo
: Perciformes
Famili
: Scombridae
Genus
: Katsuwonus
Species
: Katsuwonus pelamis
Cakalang termasuk jenis
ikan tuna dalam
famili Scombridae, species Katsuwonus pelamis. Collete
(1983) menjelaskan ciri-ciri
morfologi cakalang yaitu tubuh
berbentuk fusiform ,
memanjang dan agak
bulat, tapis insang
(gill rakes) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip
punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16
jari-jari
keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet . Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan.
keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet . Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan.
Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan ruaya disekitar pulau maupun jarak jauh dan senang melawan arus, ikan ini biasa bergerombol diperairan pelagis hingga kedalaman 200 m. Ikan ini mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya.
2.2 Daerah Penyebaran
Menurut
Gunarso (1996), suhu yang ideal untuk ikan cakalang antara 26 0C
– 32 0C, dan
suhu yang ideal
untuk melakukan pemijahan
28 C – 29 C
dengan salinitas 33% . Sedangkan menurut Jones dan Silas (1962) cakalang
hidup pada temperature antara 16 C – 30 C dengan temperature optimum 28 C.
Ikan cakalang menyebar luas diseluruh
perairan tropis dan sub tropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik,
kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu
penyebaran horizontal atau
penyebaran menurut letak geografis
perairan dan penyebaran vertikal
atau penyebaran menurut kedalaman
perairan. Penyebaran Tuna
dan Cakalang sering
mengikuti penyebaran atau sirkulasi
arus garis konvergensi
diantara arus dingin
dan arus panas merupakan
daerah yang kaya akan
organisme dan diduga
daerah tersebut merupakan fishing ground
yang sangat baik untuk perikanan Tuna dan Cakalang. Dalam perikanan
Tuna dan Cakalang
pengetahuan tentang sirkulasi arus
sangat diperlukan, karena kepadatan
populasi pada suatu
perairan sangat berhubungan dengan arus-arus tersebut
(Nakamura, 1969)
Penyebaran cakalang
di perairan Samudra
Hindia meliputi daerah
tropis dan sub tropis,
penyebaran cakalang ini
terus berlangsung secara
teratur di Samudra Hindia di
mulai dari Pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah
selatan Pulau Jawa,
Sebelah Barat Sumatra,
Laut Andaman, diluar pantai
Bombay, diluar pantai
Ceylon, sebelah Barat
Hindia, Teluk Aden, Samudra Hindia yang berbatasan dengan Pantai Sobali,
Pantai Timur dan selatan Afrika (Jones dan Silas, 1963).
Menurut
Uktolseja et al (1989), penyebaran cakalang di perairan Indonesia meliputi Samudra
Hindia (perairan Barat
Sumatra, selatan Jawa,
Bali, Nusa Tenggara), Perairan
Indonesia bagian Timur
(Laut Sulawesi, Maluku,
Arafuru, Banda, Flores dan
Selat Makassar) dan
Samudra Fasifik (perairan
Utara Irian Jaya).
2.3 Daerah dan Musim Penangkapan
Secara garis
besarnya, cakalang mempunyai daerah
penyebaran dan migrasi
yang luas, yaitu
meliputi daerah tropis
dan sub tropis
dengan daerah penyebaran
terbesar terdapat disekitar perairan khatulistiwa. Daerah penangkapan merupakan salah
satu faktor penting
yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu
operasi penangkapan. Dalam
hubungannya dengan alat
tangkap, maka daerah penangkapan tersebut
haruslah baik dan
dapat menguntungkan. Dalam arti
ikan berlimpah, bergerombol, daerah aman, tidak jauh dari pelabuhan dan alat
tangkap mudah dioperasikan. (Waluyo, 1987).
Lebih lanjut
Paulus (1986), menyatakan bahwa
dalam memilih dan menentukan daerah penangkapan, harus
memenuhi syarat-syarat antara lain :
1) Kondisi daerah tersebut harus sedemikian
rupa sehingga ikan dengan mudah
datang dan berkumpul.
2) Daerahnya aman dan alat tangkap mudah
dioperasikan.
3) Daerah tersebut harus daerah yang secara
ekonomis menguntungkan.
Hal
ini. tentu saja erat
hubungannya dengan kondisi
oseanografi dan meteorologist suatu perairan dan faktor biologi dari ikan
cakalang itu sendiri.
Musim
penangkapan cakalang di
perairan Indonesia bervariasi. Musim penangkapan cakalang di
suatu perairan belum tentu sama dengan perairan yang lain. Nikijuluw
(1986), menyatakan bahwa
penangkapan cakalang dan
tuna di perairan Indonesia
dapat dilakukan sepanjang
tahun dan hasil
yang diperoleh berbeda dari
musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Bila hasil tangkapan
lebih banyak dari
biasanya disebut musim
puncak dan apabila dihasilkan lebih sedikit dari
biasanya disebut musim pacekli
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Menurut Ditjen
Perikanan (1999) pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu sistem yang
terdiri dari 3 subsistem, yaitu :
1. Subsistem eksplorasi sumberdaya perikanan.
Diharapkan akan dapat menjawab
keterbatasan informasi, yang terkait dengan besarnya potensi
sumberdaya perikanan yang
tersedia menurut jenis
dan penyebarannya yang
dapat dituangkan dalam
bentuk peta penyebaran,
tata ruang wilayah, kawasan
konservasi dan besarnya
alokasi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan pada periode waktu
dan lokasi tertentu, Penyediaan sarana yang tercakup dalam subsistem eksplorasi
diharapkan akan dapat mendukung rencana
lokasi pemanfaatan sumberdaya, sejalan
dengan penyebaran sumberdaya
dan tata ruang wilayah, sehingga diperoleh suatu sistem jaringan prasarana yang
memadai dan efisisen.
2. Subsistem pemanfaatan sumberdaya dan
pembinaan usaha.
Penanganan
subsistem pemanfaatan sumberdaya
perikanan diharapkan dapat mengembangkan usaha pemanfaatan
sumberdaya yang produktif, mempunyai nilai tambah yang tinggi dan dapat
memberikan jaminan pendapatan bagi para pelakunya, dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Pemanfaatan
sumberdaya dan pembinaan usaha dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya
wilayah yang tersedia
dan didasarkan pada
partisispasi dan keinginan masyarakat setempat sesuai dengan
permintaan pasar.
3. Subsistem pengawasan dan pengendalian
pemanfaatan sumberdaya.
Penanganan subsistem pengawasan dan
pengendalian pemanfaatan
sumberdaya, diharapkan dapat
memberikan jaminan bahwa
pemanfaatan sumberdaya
dilakukan secara efisien dan
sesuai dengan ketentuan yang ada. Berjalannya subsistem
ini akan dapat
menekan pemborosan dan
kehilangan akan sumberdaya perikanan, serta diharapkan akan dapat
memberikan jaminan terhadap
keberlanjutan usaha yang
dilakukan oleh pelaku
usaha, untuk itu diperlukan keterpaduan antara
lembaga pengawasan dan
peningkatan koordinasi antara penegak hukum.
Menurut Kesteven (1973)
pengembangan usaha perikanan harus mempertimbangkan aspek-aspek bio-technico-sosio-economic-approach.
Oleh
karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan
suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu :
1.
Aspek biologi, alat
tangkap tersebut tidak
merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya.
2.
Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk menangkap ikan.
3.
Aspek sosial, dapat diterima oleh masyarakat nelayan.
4.
Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan.
Menurut Monintja
(2000), perlu adanya
pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk
diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang
akan digunakan dalam
pemilihan teknologi dapat dikelompokkan dalam
tiga kelompok yaitu
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (TPIRL), teknologi
penangkapan ikan secara teknis, ekonomis, mutu dan
pemasaran menguntungkan serta
kegiatan penangkapan ikan
yang berkelanjutan. Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Selektivitas tinggi, artinya
teknologi yang digunakan mampu
meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target.
2. Tidak destruktif
terhadap habitat yang
akan membahayakan kelestarian produksi ikan.
3. Tidak membahayakan nelayan yang
mengoperasikan /menggunakan teknologi tersebut.
4. Menghasilkan ikan
bermutu baik dan
tidak membahayakan kesehatan konsumen.
5. Hasil tangkapan yang terbuang
(discards) sangat minim.
6. Berdampak minimum terhadap
keanekaragaman
sumberdaya hayati, tidak menangkap species yang dilindungi atau
terancam punah.
7. Diterima secara
sosial, artinya dimasyarakat nelayan
tidak menimbulkan konflik.
Kriteria untuk kegiatan penangkapan
ikan yang berkelanjutan adalah :
1.
Menerapkan TPIRL
2.
Jumlah hasil tangkapan
yang tidak melebihi
jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
3.
Menguntungkan
4.
Investasi rendah.
5.
Penggunaan bahan bakar minyak rendah
6.
Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
2.5 Model Statik Bio-ekonomi Gordon-Schaefer
Gordon (1954) diacu dalam Fauzi (2004)
menyatakan bahwa sumberdaya perikanan
pada umumnya bersifat
akses terbuka (open
access). Pada perikanan yang tidak terkontrol akan terjadi
economic overfishing, dimana faktor input dari perikanan telah digunakan
melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan.
Menurut Schaefer (1957)
diacu dalam Fauzi
(2004) perubahan cadangan
sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang
secara matematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut:
dx/dt = f (x)
= x.r (1-x/k)
...............................................................................
(1)
dimana:
x =
ukuran kelimpahan biomas ikan
k
= daya dukung alam
r
= laju pertumbuhan instrinsik
f(x)
= fungsi pertumbuhan biomas ikan
dx/dt = laju pertumbuhan biomas
Apabila sumberdaya tersebut
dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan, maka ukuran
kelimpahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan selisih
antara laju pertumbuhan
biomas dengan jumlah
biomas yang ditangkap, sehingga
secara hubungan fungsional, dinyatakan sebagai
berikut (Schaefer 1957 diacu dalam Fauzi 2004):
dx/dt = f(x) – h
........................................................................................(2)
dimana:
h = hasil tangkapan dan hasil
tangkapan, secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut
h = q.E.x
...................................................................................................(3)
dimana:
q = koefisien teknologi penangkapan
E = tingkat upaya penangkapan (effort)
Pada kondisi
keseimbangan,
perubahan kelimpahan sama
dengan nol (dx/dt=0), dengan
asumsi koefisien teknologi sama
dengan satu (q=1)
maka diperoleh hubungan antara
laju pertumbuhan biomas
dengan hasil tangkapan. Hubungan tersebut secara
matematis dinyatakan dengan menggabungkan persamaan (1) dengan
persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai berikut (Schaefer 1957
diacu dalam Fauzi 2004):
dx/dt = f(x) – h = 0
h = f(x)
q.E.x = r. x (1-x/k)
....................................................................................(4)
sehingga
hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat dinyatakan
dalam persamaan sebagai berikut:
x = k-k/r E
...............................................................................................
(5)
Menurur Schaefer (1957) diacu
dalam Fauzi (2004), dengan mensubtitusikan persamaan
(5) ke dalam
persamaan (3), maka
diperoleh fungsi produksi
lestari perikanan tangkap yang menggambarkan hubungan antar tingkat upaya (effort)
dengan hasil tangkapan
(produksi) lestarinya, sehingga
secara matematis persamaannya menjadi:
h = k.E – (k/r) E
....................................................................
.................(6)
Analisis fungsi
produksi lestari perikanan
tangkap yang dikembangkan oleh Schaefer
(Model Schaefer), hanya
dapat menentukan tingkat
pemanfaatan maksimum
secara lestari berdasarkan aspek
biologi, tetapi belum
mampu menetapkan tingkat pemanfaatan maksimum yang lestari secara
ekonomi. Untuk itu Gordon mengembangkan Model Schaefer memasukkan faktor harga
per satuan hasil tangkap dan
biaya per satuan
upaya penangkapan, maka
persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi
π = TR –TC
.............................................................................................
(7)
= p.h – c.E
dimana:
π
= keuntungan pemanfaatan sumberdaya
p
= harga rata-rata hasil tangkapan
c
= biaya penangkapan ikan per satuan upaya
h
= produksi ikan ton/th.
E
= upaya penangkapan
TR
= penerimaan total
TC
= biaya total penangkapan ikan.
Dalam kondisi open access, tingkat
keseimbangan akan tercapai pada saat penerimaan total (TR) sama dengan biaya
total (TC), dengan tingkat upaya = E-OA (Gambar 1). Menurut Gordon kondisi
tersebut disebut juga sebagai “bioeconomic equilibrium of
open access fishery”.
Pada tingkat upaya
di bawah E-OA, penerimaan total lebih besar dari
biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan lebih banyak
tertarik untuk meningkatkan upaya
panangkapan ikannya. Pada tingkat upaya di atas E-OA, biaya
total lebih besar dari penerimaan total, sehingga mendorong pelaku
perikanan untuk mengurangi
upaya, dengan demikian
hanya pada tingkat upaya E-OA, keseimbangan akan tercapai.
Berdasarkan Gambar
2, terlihat bahwa
keuntungan maksimum akan dicapai pada
tingkat upaya E-MESY, dimana jarak vertikal
antara peneriman total dan
biaya total mencapai
tingkat yang paling
tinggi. Tingkat E-MESY
disebut sebagai Maximum Economic Yield
(MEY). Apabila tingkat
upaya pada keseimbangan open
access (E-OA) dibandingkan dengan
tingkat upaya pada
saat MEY (E-MEY), ternyata tingkat upaya yang dibutuhkan pada
keseimbangan open access, jauh lebih
banyak dari pada
tingkat upaya pada
saat MEY, ini
berarti bahwa pada keseimbangan open
access telah terjadi
penggunaan sumberdaya yang
berlebihan, yang menurut Gordon disebut sebagai economic overfishing.
2.6 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Menurut Dwiponggo (1984) dalam
Parerung (1996), tingkat pemanfaatan/pengusahaan sumberdaya
perikanan dibagi menjadi
empat macam yaitu :
(1) Pengusahaan yang rendah,
dimana hasil tangkapan
hanya merupakan sebagian kecil
dari potensinya.
(2) Pengusahaan yang moderat (sedang), dimana hasil tangkapan merupakan
sebagian yang nyata dari potensi, namun penambahan upaya penangkapan masih memungkinkan.
(3) Pengusahaan yang tinggi, dimana hasil tangkapan sudah mencapai
sebesar potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah hasil tangkapan.
(4) Pengusahaan yang berlebihan
(overfishing), dimana terjadi
pengurangan dari stok ikan
karena penangkapan sehingga
hasil tangkapan per
satuan upaya penangkapan akan jauh berkurang.
Selanjutnya Purwanto (1986)
dalam Parerung (1996)
mengemukakan bahwa untuk mengusahakan agar
sumberdaya perikanan dapat
dimanfaatkan terus-menerus secara maksimal dalam waktu yang tak terbatas
maka laju kematian karena
penangkapan (tingkat pemanfaatan) perlu
dibatasi sampai pada
suatu tingkat tertentu. Induk-induk ikan
dalam jumlah tertentu
harus disisakan dan diberi kesempatan untuk berkembangbiak,
sehingga mampu menghasilkan anakan dalam jumlah cukup untuk kelestarian.
2.7
Teori Optimasi
Optimasi adalah
suatu kata kerja
yang berarti menghitung
atau mencari titik optimum.
Kata benda optimisasi
merupakan peristiwa atau
kejadian proses optimasi. Jadi
teori optimisasi adalah
mencakup studi kuantitatif
tentang titik optimum dan
cara-cara untuk mencarinya
(Haluan, 1985). Ilmu
dalam teori ini mempelajari bagaimana mendapatkan dan
menjelaskan sesuatu yang
terbaik, terjadi setelah orang dapat mengenali dan mengukur apa yang
baik dan apa yang buruk.
Optimasi adalah
suatu proses pencarian
hasil terbaik. Proses
ini dalam analisis sistem
diterapkan terhadap alternatif
yang dipertimbangkan, kemudian ari hasil
itu dipilih alternatif
yang menghasilkan keadaan
terbaik (Gaspersz, 1992). Secara
normal orang akan
mengharapkan “baik” sebanyak-banyaknya, paling banyak
atau maksimum, dan
“buruk” sedikit-dikitnya paling
sedikit atau minimum. Jadi
optimum itu sinonim dengan maksimum untuk hal yang baik, dan minimum untuk hal
yang buruk. Kata optimum telah menjadi istilah teknis yang berkaitan dengan
pengukuran kuantitatif dan
analisa matematis. Kata
“terbaik” yang sama artinya dengan optimum, lebih banyak dipergunakan
dan lebih sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Karena
optimasi mencakup usaha
untuk menemukan cara terbaik
di dalam melakukan
suatu pekerjaan, cara
terbaik di dalam memecahkan suatu
persoalan, maka aplikasinya meluas
pada hal-hal praktis dalam dunia
produksi, industri, perdagangan dan politik (Haluan, 1985).
Dalam melakukan proses optimasi maka
orang harus lebih dahulu melakukan pemilihan ukuran kuantitatif dan efektifitas
dari suatu persoalan. Untuk itu orang harus mengetahui dan menguasai sistem
yang berlaku di dalam persoalan tersebut baik dalam
persoalan fisika maupun
ekonomi. Atau untuk
mendesain, membangun, mengatur atau mengoperasikan suatu sistem fisik
atau ekonomi yang baru, maka dilakukan langkah yang sama.
2.8 Teori Pemprograman Linier (PL)
Program
linier adalah
salah satu teknik
analisis dari kelompok
teknik riset operasi yang
memakai model matematika. Tujuannya adalah
untuk mencari, memilih, dan
menentukan alternatif yang terbaik dari antara sekian alternatif layak yang
tersedia. Dikatakan linier karena peubah-peubah yang membentuk model PL
dianggap linier. Pemrograman
linier pada hakekatnya
merupakan suatu teknik perencanaan yang bersifat analitis
dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan
masalah, kemudian dipilih
mana yang terbaik
diantaranya dalam
menyusun strategi dan
langkah-langkah
kebijakan lebih lanjut
tentang alokasi sumberdaya dan
dana yang terbatas
guna mencapai tujuan
atau sasaran yang diinginkan
secara optimal (Agrawal dan Heady, 1972).
Dalam penelitian ini adalah
mengoptimalkan alokasi armada penangkapan secara bersamaan yang
dibatasi oleh berbagai
kendala dengan menggunakan model goal
programming. Menurut Stevenson (1992),
goal programming merupakan variasi
dari model linear
programming yang dapat
digunakan untuk menangani masalah yang
mempunyai banyak sasaran.
Selanjutnya Siswanto
(1993), mengatakan bahwa
dalam model goal
programming terdapat variable deviasional dalam
fungsi kendala. Variasi
tersebut berfungsi untuk
menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak
dicapai, dimana dalam proses pengolahan model
tersebut jumlah variabel
deviasional akan diminimumkan
di dalam fungsi tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar