Rabu, 14 Maret 2012

Biologi Ikan Cakalang:Katsuwonus pelamis


2  TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
         Cakalang      sering   disebut  skipjack     tuna   dengan    nama     lokal   cakalang.  Adapun   klasifikasi   cakalang   menurut   Matsumoto, et al (1984) adalah   sebagai berikut :
Phylum            : Vertebrata
Class                : Telestoi
Ordo                : Perciformes
Famili              : Scombridae
Genus              : Katsuwonus
Species            : Katsuwonus pelamis

       Cakalang      termasuk    jenis   ikan  tuna   dalam    famili   Scombridae, species  Katsuwonus       pelamis.    Collete   (1983)   menjelaskan      ciri-ciri  morfologi   cakalang yaitu   tubuh   berbentuk fusiform ,   memanjang   dan   agak   bulat,   tapis   insang   (gill rakes) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari
keras, jari-jari lemah     pada   sirip   punggung    kedua    diikuti  oleh  7-9 finlet.   Sirip  dada   pendek, terdapat dua flops  diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet . Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan          (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik   kecil.   Bagian   punggung   berwarna   biru   kehitaman (gelap) disisi   bawah  dan perut   keperakan,   dengan   4-6   buah   garis-garis   berwarna   hitam   yang  memanjang pada bagian samping badan.

Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan ruaya disekitar    pulau   maupun     jarak   jauh   dan   senang    melawan     arus,  ikan   ini  biasa bergerombol diperairan pelagis hingga kedalaman 200 m. Ikan ini mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya.

2.2  Daerah Penyebaran
Menurut Gunarso (1996), suhu yang ideal untuk ikan cakalang antara 26 0C –   32 0C,   dan   suhu   yang   ideal   untuk   melakukan   pemijahan   28 C   –   29 C   dengan salinitas 33% . Sedangkan menurut Jones dan Silas (1962) cakalang hidup pada temperature antara 16 C – 30 C dengan temperature optimum 28 C.
         Ikan cakalang menyebar luas diseluruh perairan tropis dan sub tropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik, kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dapat dibedakan      menjadi    dua   macam      yaitu  penyebaran      horizontal   atau   penyebaran menurut      letak   geografis    perairan    dan   penyebaran      vertikal   atau  penyebaran menurut   kedalaman   perairan.   Penyebaran   Tuna   dan   Cakalang   sering   mengikuti penyebaran   atau   sirkulasi   arus   garis   konvergensi   diantara   arus   dingin   dan   arus panas merupakan daerah  yang kaya   akan   organisme   dan   diduga   daerah tersebut merupakan fishing ground  yang sangat baik untuk perikanan Tuna dan Cakalang. Dalam   perikanan   Tuna   dan   Cakalang   pengetahuan   tentang   sirkulasi   arus  sangat diperlukan,   karena   kepadatan   populasi   pada   suatu   perairan   sangat   berhubungan dengan arus-arus tersebut (Nakamura, 1969)
         Penyebaran   cakalang   di   perairan   Samudra   Hindia   meliputi   daerah   tropis dan    sub   tropis,  penyebaran      cakalang    ini  terus   berlangsung     secara   teratur   di Samudra Hindia di mulai dari Pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa     Tenggara,     sebelah    selatan   Pulau    Jawa,    Sebelah    Barat    Sumatra,    Laut Andaman,       diluar   pantai   Bombay,   diluar   pantai   Ceylon,     sebelah   Barat   Hindia, Teluk Aden, Samudra Hindia yang berbatasan dengan Pantai Sobali, Pantai Timur dan selatan Afrika (Jones dan Silas, 1963).
Menurut Uktolseja et al (1989), penyebaran cakalang di perairan Indonesia meliputi     Samudra     Hindia    (perairan   Barat    Sumatra,    selatan   Jawa,   Bali,   Nusa Tenggara),   Perairan   Indonesia   bagian   Timur   (Laut   Sulawesi,   Maluku,   Arafuru, Banda,   Flores   dan   Selat   Makassar)   dan   Samudra   Fasifik   (perairan   Utara   Irian Jaya).

2.3  Daerah dan Musim Penangkapan
          Secara    garis   besarnya,    cakalang     mempunyai       daerah    penyebaran      dan  migrasi   yang   luas,   yaitu   meliputi   daerah   tropis   dan   sub   tropis   dengan   daerah penyebaran terbesar terdapat disekitar perairan khatulistiwa. Daerah penangkapan merupakan       salah   satu   faktor   penting    yang    dapat   menentukan       berhasil   atau tidaknya   suatu   operasi   penangkapan.   Dalam   hubungannya   dengan   alat   tangkap, maka     daerah    penangkapan      tersebut   haruslah    baik   dan   dapat   menguntungkan. Dalam arti ikan berlimpah, bergerombol, daerah aman, tidak jauh dari pelabuhan dan alat tangkap mudah dioperasikan. (Waluyo, 1987).
          Lebih    lanjut   Paulus    (1986),   menyatakan       bahwa    dalam     memilih     dan menentukan daerah penangkapan, harus memenuhi syarat-syarat antara lain :
1)   Kondisi daerah tersebut harus sedemikian rupa sehingga ikan dengan mudah      datang dan berkumpul.
2)   Daerahnya aman dan alat tangkap mudah dioperasikan.
3)   Daerah tersebut harus daerah yang secara ekonomis menguntungkan.
Hal ini. tentu   saja   erat   hubungannya   dengan   kondisi   oseanografi   dan   meteorologist  suatu perairan dan faktor biologi dari ikan cakalang itu sendiri.
         Musim   penangkapan   cakalang   di   perairan   Indonesia   bervariasi. Musim penangkapan cakalang di suatu perairan belum tentu sama dengan perairan yang lain.   Nikijuluw   (1986),   menyatakan   bahwa   penangkapan   cakalang   dan   tuna  di perairan    Indonesia    dapat   dilakukan     sepanjang   tahun    dan   hasil   yang   diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Bila hasil   tangkapan   lebih   banyak   dari   biasanya   disebut   musim   puncak   dan   apabila dihasilkan lebih sedikit dari biasanya disebut musim pacekli

2.4  Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
         Menurut     Ditjen   Perikanan    (1999)    pengelolaan    sumberdaya      perikanan merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 subsistem, yaitu :
1.  Subsistem eksplorasi sumberdaya perikanan.
     Diharapkan akan dapat menjawab keterbatasan informasi, yang terkait dengan besarnya     potensi   sumberdaya     perikanan    yang   tersedia   menurut    jenis  dan  penyebarannya   yang   dapat   dituangkan   dalam   bentuk   peta   penyebaran,   tata ruang   wilayah,   kawasan   konservasi   dan   besarnya   alokasi   sumberdaya  yang dapat dimanfaatkan pada periode waktu dan lokasi tertentu, Penyediaan sarana yang tercakup dalam subsistem eksplorasi diharapkan akan dapat mendukung rencana      lokasi   pemanfaatan      sumberdaya,      sejalan    dengan     penyebaran sumberdaya dan tata ruang wilayah, sehingga diperoleh suatu sistem jaringan prasarana yang memadai dan efisisen.


2.  Subsistem pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan usaha.
    Penanganan   subsistem   pemanfaatan   sumberdaya   perikanan   diharapkan   dapat mengembangkan usaha pemanfaatan sumberdaya yang produktif, mempunyai nilai tambah yang tinggi dan dapat memberikan jaminan pendapatan bagi para pelakunya, dalam rangka     peningkatan kesejahteraan. Pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan usaha dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya wilayah     yang    tersedia   dan   didasarkan    pada    partisispasi   dan   keinginan masyarakat setempat sesuai dengan permintaan pasar.

3.  Subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya.
    Penanganan        subsistem      pengawasan       dan     pengendalian      pemanfaatan sumberdaya,       diharapkan    dapat   memberikan      jaminan    bahwa    pemanfaatan sumberdaya   dilakukan   secara efisien   dan   sesuai dengan   ketentuan   yang ada. Berjalannya   subsistem   ini   akan   dapat   menekan   pemborosan   dan   kehilangan akan sumberdaya perikanan, serta diharapkan akan dapat memberikan jaminan terhadap   keberlanjutan   usaha   yang   dilakukan   oleh   pelaku   usaha,   untuk   itu diperlukan      keterpaduan     antara    lembaga     pengawasan      dan    peningkatan koordinasi antara penegak hukum.
         Menurut      Kesteven     (1973)     pengembangan        usaha    perikanan     harus mempertimbangkan aspek-aspek bio-technico-sosio-economic-approach. Oleh                                                                                        karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu :
1.  Aspek     biologi,   alat  tangkap   tersebut   tidak  merusak    atau   mengganggu kelestarian sumberdaya.
2.  Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk menangkap ikan.
3.  Aspek sosial, dapat diterima oleh masyarakat nelayan.
4.  Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan.

        Menurut   Monintja   (2000),   perlu   adanya   pertimbangan   dalam   pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan         yang  akan   digunakan    dalam   pemilihan    teknologi dapat   dikelompokkan   dalam   tiga   kelompok     yaitu   teknologi   penangkapan   ikan ramah lingkungan (TPIRL), teknologi penangkapan ikan secara teknis, ekonomis, mutu    dan   pemasaran    menguntungkan      serta  kegiatan   penangkapan    ikan   yang berkelanjutan. Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Selektivitas tinggi, artinya teknologi yang  digunakan   mampu   meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target.
2. Tidak     destruktif  terhadap   habitat  yang   akan   membahayakan       kelestarian produksi ikan.
3. Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan /menggunakan teknologi tersebut.
4. Menghasilkan       ikan   bermutu    baik   dan   tidak  membahayakan       kesehatan konsumen.
5. Hasil tangkapan yang terbuang (discards) sangat minim.
6. Berdampak      minimum     terhadap   keanekaragaman      sumberdaya     hayati,  tidak menangkap species yang dilindungi atau terancam punah.
7. Diterima     secara  sosial,  artinya  dimasyarakat    nelayan   tidak  menimbulkan konflik.

        Kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan adalah :
1.  Menerapkan TPIRL
2.  Jumlah     hasil   tangkapan    yang   tidak   melebihi    jumlah   tangkapan     yang diperbolehkan.
3.  Menguntungkan
4.  Investasi rendah.
5.  Penggunaan bahan bakar minyak rendah
6.  Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

2.5  Model Statik Bio-ekonomi Gordon-Schaefer
         Gordon (1954) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa sumberdaya perikanan   pada   umumnya   bersifat   akses   terbuka   (open   access).  Pada   perikanan yang tidak terkontrol akan terjadi economic overfishing, dimana faktor input dari perikanan telah digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan.
         Menurut Schaefer   (1957)   diacu   dalam   Fauzi   (2004)   perubahan cadangan sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang secara matematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut:
         dx/dt = f (x)
                   = x.r (1-x/k)  ............................................................................... (1)
dimana:
         x     = ukuran kelimpahan biomas ikan
         k     = daya dukung alam
         r     = laju pertumbuhan instrinsik
        f(x)   = fungsi pertumbuhan biomas ikan
         dx/dt = laju pertumbuhan biomas
         Apabila sumberdaya tersebut dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan, maka      ukuran    kelimpahan      akan    mengalami      perubahan.      Perubahan     tersebut merupakan   selisih   antara   laju  pertumbuhan  biomas   dengan   jumlah   biomas   yang ditangkap,     sehingga    secara    hubungan     fungsional,    dinyatakan     sebagai   berikut (Schaefer 1957 diacu dalam Fauzi 2004):
         dx/dt = f(x) – h  ........................................................................................(2)
dimana:
         h = hasil tangkapan dan hasil tangkapan, secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut
         h = q.E.x ...................................................................................................(3)
dimana:
         q = koefisien teknologi penangkapan
         E = tingkat upaya penangkapan (effort)
         Pada     kondisi    keseimbangan,        perubahan     kelimpahan       sama    dengan     nol (dx/dt=0),     dengan     asumsi    koefisien    teknologi     sama    dengan    satu   (q=1)    maka diperoleh     hubungan      antara   laju   pertumbuhan       biomas    dengan     hasil  tangkapan. Hubungan         tersebut    secara     matematis      dinyatakan       dengan     menggabungkan persamaan (1) dengan persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai berikut (Schaefer 1957 diacu dalam Fauzi 2004):
         dx/dt = f(x) – h = 0
              h = f(x)
         q.E.x = r. x (1-x/k) ....................................................................................(4)
sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
         x = k-k/r E ............................................................................................... (5)
         Menurur         Schaefer      (1957)      diacu     dalam      Fauzi     (2004),      dengan mensubtitusikan   persamaan   (5)   ke   dalam   persamaan   (3),   maka   diperoleh   fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang menggambarkan hubungan antar tingkat upaya    (effort)    dengan     hasil  tangkapan     (produksi)      lestarinya,   sehingga     secara matematis persamaannya menjadi:
         h = k.E – (k/r) E      .................................................................... .................(6)
         Analisis   fungsi   produksi   lestari   perikanan   tangkap   yang   dikembangkan oleh   Schaefer   (Model   Schaefer),   hanya   dapat   menentukan   tingkat   pemanfaatan maksimum         secara    lestari   berdasarkan      aspek    biologi,    tetapi   belum     mampu menetapkan tingkat pemanfaatan maksimum yang lestari secara ekonomi. Untuk itu Gordon mengembangkan Model Schaefer memasukkan faktor harga per satuan hasil    tangkap     dan    biaya    per   satuan    upaya    penangkapan,        maka    persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi
         π = TR –TC ............................................................................................. (7)
            = p.h – c.E
dimana:
       π   = keuntungan pemanfaatan sumberdaya
       p   = harga rata-rata hasil tangkapan
      c    = biaya penangkapan ikan per satuan upaya
      h    = produksi ikan ton/th.
      E    = upaya penangkapan
      TR  = penerimaan total
     TC  = biaya total penangkapan ikan.
          Dalam kondisi open access, tingkat keseimbangan akan tercapai pada saat penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), dengan tingkat upaya = E-OA (Gambar 1). Menurut Gordon kondisi tersebut disebut juga sebagai “bioeconomic equilibrium      of  open    access    fishery”.    Pada   tingkat    upaya    di  bawah    E-OA, penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan lebih    banyak    tertarik  untuk   meningkatkan       upaya   panangkapan      ikannya.    Pada tingkat upaya di atas E-OA, biaya total lebih besar dari penerimaan total, sehingga mendorong   pelaku   perikanan   untuk   mengurangi   upaya,   dengan   demikian   hanya pada tingkat upaya E-OA, keseimbangan akan tercapai.
          Berdasarkan      Gambar     2,  terlihat   bahwa    keuntungan      maksimum       akan dicapai   pada   tingkat   upaya E-MESY,   dimana jarak   vertikal   antara   peneriman   total dan    biaya   total  mencapai     tingkat   yang   paling   tinggi.  Tingkat   E-MESY    disebut sebagai       Maximum        Economic      Yield   (MEY).     Apabila     tingkat   upaya    pada keseimbangan  open   access   (E-OA)   dibandingkan   dengan   tingkat   upaya   pada   saat MEY (E-MEY), ternyata tingkat upaya yang dibutuhkan pada keseimbangan open access,   jauh   lebih   banyak   dari   pada   tingkat   upaya   pada   saat  MEY,    ini   berarti bahwa     pada   keseimbangan      open    access   telah   terjadi  penggunaan     sumberdaya yang berlebihan, yang menurut Gordon disebut sebagai economic overfishing.


2.6  Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
        Menurut       Dwiponggo        (1984)    dalam     Parerung      (1996),    tingkat pemanfaatan/pengusahaan   sumberdaya   perikanan   dibagi   menjadi   empat   macam yaitu :
    (1) Pengusahaan      yang   rendah,   dimana    hasil  tangkapan   hanya    merupakan sebagian kecil dari potensinya.
    (2) Pengusahaan yang moderat (sedang), dimana hasil tangkapan merupakan sebagian yang nyata dari potensi, namun penambahan upaya penangkapan  masih memungkinkan.
     (3) Pengusahaan yang tinggi, dimana hasil tangkapan sudah mencapai sebesar potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah hasil  tangkapan.
     (4) Pengusahaan   yang   berlebihan   (overfishing),   dimana   terjadi   pengurangan dari   stok   ikan   karena   penangkapan   sehingga   hasil   tangkapan   per   satuan upaya penangkapan akan jauh berkurang.
         Selanjutnya      Purwanto     (1986)   dalam    Parerung     (1996)   mengemukakan bahwa     untuk    mengusahakan       agar   sumberdaya     perikanan     dapat   dimanfaatkan terus-menerus secara maksimal dalam waktu yang tak terbatas maka laju kematian karena    penangkapan       (tingkat  pemanfaatan)      perlu   dibatasi  sampai    pada   suatu tingkat    tertentu.  Induk-induk     ikan  dalam    jumlah    tertentu  harus   disisakan   dan diberi kesempatan untuk berkembangbiak, sehingga mampu menghasilkan anakan dalam jumlah cukup untuk kelestarian.
2.7 Teori Optimasi
         Optimasi   adalah   suatu   kata   kerja   yang   berarti   menghitung   atau   mencari titik   optimum.   Kata   benda   optimisasi   merupakan   peristiwa   atau   kejadian   proses optimasi.    Jadi   teori   optimisasi   adalah   mencakup   studi   kuantitatif   tentang   titik optimum   dan   cara-cara   untuk   mencarinya   (Haluan,   1985).   Ilmu   dalam   teori   ini mempelajari      bagaimana      mendapatkan      dan   menjelaskan     sesuatu    yang  terbaik, terjadi setelah orang dapat mengenali dan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk.
         Optimasi   adalah   suatu   proses   pencarian   hasil   terbaik.   Proses   ini   dalam analisis   sistem   diterapkan   terhadap   alternatif   yang   dipertimbangkan,   kemudian ari   hasil  itu  dipilih  alternatif  yang   menghasilkan      keadaan    terbaik  (Gaspersz, 1992).    Secara    normal    orang   akan   mengharapkan       “baik”   sebanyak-banyaknya, paling   banyak   atau   maksimum,   dan   “buruk”   sedikit-dikitnya   paling   sedikit   atau minimum. Jadi optimum itu sinonim dengan maksimum untuk hal yang baik, dan minimum untuk hal yang buruk. Kata optimum telah menjadi istilah teknis yang berkaitan   dengan   pengukuran   kuantitatif   dan   analisa   matematis.   Kata   “terbaik” yang sama artinya dengan optimum, lebih banyak dipergunakan dan lebih sesuai dengan      kehidupan      sehari-hari.    Karena     optimasi     mencakup       usaha    untuk menemukan   cara   terbaik   di   dalam   melakukan   suatu   pekerjaan,   cara  terbaik   di dalam     memecahkan        suatu   persoalan,    maka    aplikasinya    meluas    pada   hal-hal praktis dalam dunia produksi, industri, perdagangan dan politik (Haluan, 1985).
            Dalam melakukan proses optimasi maka orang harus lebih dahulu melakukan pemilihan ukuran kuantitatif dan efektifitas dari suatu persoalan. Untuk itu orang harus mengetahui dan menguasai sistem yang berlaku di dalam persoalan tersebut baik     dalam     persoalan     fisika   maupun      ekonomi.      Atau    untuk    mendesain, membangun, mengatur atau mengoperasikan suatu sistem fisik atau ekonomi yang baru, maka dilakukan langkah yang sama.
2.8  Teori Pemprograman Linier (PL)
     Program   linier   adalah   salah   satu   teknik   analisis   dari   kelompok   teknik   riset operasi    yang    memakai     model    matematika.     Tujuannya      adalah   untuk    mencari, memilih, dan menentukan alternatif yang terbaik dari antara sekian alternatif layak yang tersedia. Dikatakan linier karena peubah-peubah yang membentuk model PL dianggap   linier.   Pemrograman   linier   pada   hakekatnya   merupakan   suatu   teknik perencanaan yang bersifat analitis dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif   pemecahan   masalah,   kemudian   dipilih   mana   yang   terbaik   diantaranya dalam     menyusun      strategi  dan   langkah-langkah      kebijakan    lebih   lanjut  tentang alokasi   sumberdaya   dan   dana   yang   terbatas   guna   mencapai   tujuan   atau   sasaran yang diinginkan secara optimal (Agrawal dan Heady, 1972).
         Dalam penelitian ini adalah mengoptimalkan alokasi armada penangkapan secara    bersamaan     yang    dibatasi   oleh  berbagai    kendala    dengan    menggunakan model      goal   programming.      Menurut       Stevenson     (1992),   goal    programming merupakan   variasi   dari  model   linear   programming  yang  dapat   digunakan   untuk menangani       masalah    yang    mempunyai       banyak    sasaran.   Selanjutnya     Siswanto (1993),    mengatakan      bahwa    dalam  model      goal  programming   terdapat   variable deviasional   dalam   fungsi   kendala.   Variasi   tersebut   berfungsi   untuk   menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai, dimana dalam     proses    pengolahan     model     tersebut   jumlah    variabel    deviasional    akan diminimumkan di dalam fungsi tujuan.

Tidak ada komentar: