Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu
yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan
sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh
Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat
Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih
khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang
”dilahirkan” di Frankfurt.
Sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab
Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam
masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx.
Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Horkheimer, Theodor
Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun
30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota
Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film,
musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi
media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan
negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan ciri
masyarakat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis.
Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri
kebudayaan”
yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis. Tokoh lain yang kemudian menjadi identik dengan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan kembali oleh Horkheimer dan Adorno, pada dekade pasca perang dunia kedua. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yang kedua adalah penerus yang membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis di zaman yang lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis dalam konteks pemikiran filsafat.
yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis. Tokoh lain yang kemudian menjadi identik dengan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan kembali oleh Horkheimer dan Adorno, pada dekade pasca perang dunia kedua. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yang kedua adalah penerus yang membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis di zaman yang lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis dalam konteks pemikiran filsafat.
MEMAHAMI
TEORI KRITIS
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer
pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali
ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi
dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan,
dan institusi politik borjuis. Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus
ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan
generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar
pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan
sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat
teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat
sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya
masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang
’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan
klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya
forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap
memertahankan kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori
kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif
dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang
secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan
terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara
bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan
untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian. Di zaman modern,
filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat sebagai
’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki
dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua,
sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak
dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis
yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim
filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi
sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari
hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal
ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung
pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains”. Teori
kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam
perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi
refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri
sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat
epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh
kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa
bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi,
sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan
jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan berusaha memahami proses dimana
teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori
kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan,
dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam
kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang
terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang
seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan
memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan
ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca
berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru.
Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari
berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika
diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini
dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan
dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam
Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang,
melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang
lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi
sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam
proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang
hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat
merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis—dalam
arti tradisional—yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada
dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.
ADORNO
DAN TEORI KRITIS
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini
dilahirkan di Frankfurt pada tahun 1903. Dia adalah seorang filosof, komposer,
penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia lima belas, Adorno mengikuti
pertemuan studi mingguan bersama Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih
berpengaruh pada perkembangan intelektualnya daripada guru-gurunya di bangku
kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt,
memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, dia
bertemu dan bersahabat dengan Max Horxheimer dan Walter Benjamin. Pada tahun
1924, Adorno menyelesaikan doktoral di bidang filsafat. Pada tahun 1927, dia
kembali ke Frankfurt, setelah sempat tinggal di Wina untuk belajar musik, dan
bergabung dengan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yang didirikan pada
tahun 1924, yang kemudian dirujuk sebagai Mazhab Frankfurt. Lembaga ini
bertujuan menggabungkan filsafat dan ilmu sosial menjadi teori sosial kritis. Sebagai
pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan meragukan apakah
pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya
terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis
memiliki kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi
asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel
dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis
Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual
muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan, karenanya, selalu membawa
benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem pemikiran Hegel, dominasi pada
wilayah materi tercermin dengan dominasi pada tataran konsep. Totaliarianisme
sistem pemikiran paralel dengan totalitarian fasisme dan totalitarianisme dalam
industri kebudayaan. Karenanya, Adorno menolak sistem Hegelian—dan pemikiran
sistematis secara umum—juga kecenderungan apapun terhadap sintesis final. Dia menekankan
hak untuk tidak sama.
Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of
Enlightenment, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana
Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari
ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi
politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan individualitas dan
masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan
penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat—dalam
konteks Weberian—dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang
muncul darinya.
Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis musik adalah awal dari refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan individu.
Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis musik adalah awal dari refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan individu.
Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah hubungan
saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat
sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam
masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai
subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” dengan
menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi
sosial dibawah ekonomi kapitalis.
HABERMAS
DAN TEORI KRITIS
Jurgen Habermas dilahirkan pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Dia
dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah direktur seminari di
Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen dan Zurich, Habermas meraih gelar
doktor di bidang filsafat dari universitas Bonn pada tahun 1954 dengan
disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der Zwiespältigkeit in
Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang kontradiksi dalam
pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi
dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut
Penelitian Sosial Frankfurt.
Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun
1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha untuk mencapai nalar
pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru
irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno mengembangkan cara
berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran
afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada
teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian
Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.
Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep
nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen
teknis dari subjek individu, dalam pengertian monad, yang kemudian memungkinkan
terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis
tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal
ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar.
Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan
emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini
adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap
alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari
struktur-struktur dominasi. Barat modern menyaksikan bahwa keinginan menguasai
alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki
penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam
kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional
untuk kehidupan bersama hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur
menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan
yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi.
Konsepsi Habermas tentang teori kritis mengalami kristalisasi
pada tahun 60-an dalam karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of
the Social Sciences dan Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, dengan mengatakan bahwa paradigma
positivistik sesuai untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol
alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih
sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu
sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis—seperti dalam ilmu alam—dan
praktis—seperti dalam ilmu budaya—seharusnya berada dibawah kepentingan
emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah,
pertama, memahami situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis dari
individu atau kelompok; kedua, memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan
situasi tersebut; dan ketiga, menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa
diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi tentang
kekuatan-kekuatan itu.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak
terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang
universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan
berkomunikasi rasional membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan
bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan
orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh
batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai
wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif.
Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika
tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan prosedur tertentu
untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur
dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling
menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara.
Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa
dunia objektif, alih-alih kesepakatan ideal, adalah penentu kebenaran. Jika
sebuah pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar, hal itu karena
pernyataan itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau dengan tepat
mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang
metafisika dan lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang praktis dan
implikasinya untuk diskursus dan tindakan keseharian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar